Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prabu Laga Winar
Setelah Mawarni mati, mendadak kabut tebal datang menyelimuti sekitar sungai. Dari balik kabut itu, muncul sosok bayangan yang mendekat, seorang pria dengan pakaian serba putih dan ikat kepala berwarna senada.
Sorot matanya penuh kebijaksanaan, lalu macan yang sudah membunuh Mawangi mendekati sosok itu dan duduk disampingnya. Wijaya Kusuma tertegun melihat penampakan didepan dirinya.
Penampakan itu terlihat tidak menakutkan dan tak terasa ada aura jahat yang menyelimutinya. Sebaliknya, Wijaya Kusuma malah merasa nyaman berada di dekat sosok itu.
"Siapa engkau wahai yang mulia," kata Wijaya Kusuma mencoba berkomunikasi.
"Aku adalah leluhurmu, Prabu Laga Winar. Aku datang untuk menyambutmu, cucuku. Engkau telah dalam perjalanan menuju Air Terjun Naga, bukan?" ucap sosok leluhur itu.
"Benar, Prabu. Aku harus menemukan air terjun itu untuk belajar ilmu kanuragan, aku ingin melindungi desa adat kita," jawab Wijaya.
"Perjalananmu tidak akan mudah, banyak rintangan yang akan menghalangi jalanmu, terutama dari kaum dedemit. Mereka sangat berbahaya bagimu, karena kamu belum bisa membedakan hawa keberadaan mereka," ucap sosok yang ada di antara kabut tebal itu.
Wijaya menatap lurus dengan tekad kuat, "aku siap menghadapi apapun, Prabu. Aku akan menerima segala resikonya," ungkap Wijaya Kusuma.
"Keberanianmu memang patut di hargai, namun semakin jauh ke dalam, sosok yang akan datang menghadangmu bukan lagi mahkluk gaib biasa mereka memiliki kekuatan yang bisa mematikan, seperti siluman ular tadi."
Macan yang berada di samping Prabu tiba-tiba mendekati Wijaya dan duduk di hadapanya, macan itu menatap Wijaya Kusuma dengan tatapan tajam.
"Macan itu adalah peliharaanku, mulai sekarang dia akan menemani perjalananmu hingga sampai di Air Terjun Naga," kata Prabu.
"Macan ini, macan sungguhan atau sosok gaib, Prabu?" Wijaya menatap macan di depannya yang tengah menjilati cakarnya.
"Macan itu...." sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, sosok leluhur itu mendadak lenyap.
Meninggalkan Wijaya yang masih diliputi banyak pertanyaan. Disaat Wijaya merasa kebingungan, dari arah kiri terdengar suara gemuruh yang sangat kuat.
"Apa itu?" tanya Wijaya, kebingungan.
Mendadak, air bah datang dengan membawa banyak potongan kayu besar. Si macam besar milik Prabu dengan sigap menyeret Wijaya Kusuma.
Wijaya Kusuma lalu berpegangan pada tubuh macan itu, hingga akhirnya dia ada di punggung si macan. Dengan cepat, macan milik prabu berlari menuju dataran yang lebih tinggi.
Untung Saja macan itu dengan sigap memindahkan Wijaya Kusuma, jika telat. Wijaya Kusuma akan terbawa air bah. Tak butuh waktu lama, sungai yang tenang dan jernih telah berubah menjadi sungai yang mengerikan.
Debit air sungai semakin membesar dan dalam memenuhi pinggiran sungai, membawa banyak batang pohon dan ranting, Wijaya duduk di tanah menyaksikan kejadian tak terduga itu.
"Kenapa medadak datang air bah seperti ini? Apakah ini hal yang wajar atau..."
Saat Wijaya Kusuma baru saja berkomentar, dari arah sungai itu muncul sosok ular raksasa yang sangat mengerikan. Si macan besar nampak menggeram ke arah sungai.
Wijaya Kusuma merasa ketakutan, karena ularnya berukuran raksasa, "ular raksasa, apakah itu sosok gaib lagi?" tanya Wijaya pada si macan besar.
Si macan besar meminta Wijaya naik lagi ke atas punggungnya, lalu mereka pergi meninggalkan sungai. Wijaya Kusuma berbisik pada macan besar yang ia tunggangi, "Macan, kalau menjauhi aliran sungai, perjalanan akan semakin jauh."
Macan besar itu sepertinya memiliki pertimbangan tersendiri, dia seolah ingin menghindari resiko dan merasa lelah setelah pertempuran dengan Mawangi, siluman ular hijau.
Wijaya akhirnya memilih diam mengikuti arahan dari si macan besar.