NovelToon NovelToon
About Me (Alshameyzea)

About Me (Alshameyzea)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Febby Eliyanti

Saksikan perjalanan seorang gadis yang tidak menyadari apa yang telah disiapkan takdir untuknya. Seorang gadis yang berjuang untuk memahami konsep cinta sampai dia bertemu 'dia', seorang laki-laki yang membimbingnya menuju jalan yang lebih cerah dalam hidup. Yuk rasakan suka duka perjalanan hidup gadis ini di setiap chapternya.


Happy Reading 🌷
Jangan lupa likenyaa💐💐💐
Semoga kalian betah sampai akhir kisah Alsha🌷 Aamiin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febby Eliyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29. Konflik dan Harapan

...Assalamualaikum guys!! Sebelum baca, bantu support yaa dengan follow, vote, like dan komen di setiap paragraf nya!! Karena support kalian sangat berarti bagiku💐Makasiiii!🌷...

...••••...

...🌷Happy Reading 🌷...

...•...

...•...

...•...

..."Seperti matahari terbenam yang menyalakan langit dengan warna-warna akhir, setiap pertentangan memurnikan jiwa kita dengan pelajaran berharga."...

...°°°°...

Setelah pemilihan struktur inti OSIS, semua pengurus yang baru terpilih diminta berkumpul di aula sekolah. Ruangan itu telah dipersiapkan dengan baik. Kursi-kursi berjejer rapi, sementara tirai tebal berwarna biru tua menutupi jendela, membatasi cahaya matahari yang biasanya menerangi ruangan.

Kemarin terasa seperti mimpi yang menegangkan—perdebatan sengit antara Arshaka dan Rey di ruang OSIS masih terbayang jelas di benakku. Suara mereka menggema, mengisi setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang membuat napasku terasa berat.

Arshaka dengan ketegasannya, dan Rey dengan argumennya yang tak kalah kuat, bertarung dalam kata-kata hingga akhirnya keputusan final pun dijatuhkan.

Aku terpilih menjadi sekretaris OSIS, bersama Ghisel sebagai wakil, Clara sebagai bendahara, dan Elysia sebagai wakil bendahara. Meskipun keputusan itu akhirnya diterima oleh semua pihak, perasaan tidak nyaman tetap menghantui diriku.

Aku tidak pernah bercita-cita terlibat dalam organisasi, apalagi pada tingkat yang begitu penting seperti ini. Tapi sekarang, di sinilah aku, berada di tengah semua ini, mencoba menerima kenyataan.

Saat berjalan menuju aula, langkahku terasa lebih lambat dari biasanya. Cahaya matahari pagi menembus jendela-jendela besar di koridor, menciptakan bayangan panjang di lantai.

Di depan sana, aku melihat Arshaka dan Clara berjalan berdampingan. Clara tampak berbicara dengan penuh semangat, tangannya sesekali bergerak mengikuti kata-katanya.

Namun, Arshaka hanya mendengarkan dengan wajah datar, pandangannya lurus ke depan seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang jauh di luar percakapan mereka.

Ada yang mengganggu di dalam diriku, melihat mereka begitu dekat, sesuatu yang membuat hatiku terasa berat.

Saat mereka mendekati pintu aula, tiba-tiba Kak Claudia muncul dari dalam, berjalan cepat dengan wajah yang tampak penuh urusan.

Tanpa disadari, mereka bertabrakan. Seketika suasana menjadi tegang.

"Sorry," ucap Arshaka dengan nada sopan namun datar, seperti biasa tanpa menunjukkan ekspresi emosi apapun.

Namun, yang membuatku terkejut adalah reaksi Kak Claudia. Wajahnya berubah merah, senyumnya muncul dengan cepat, dan matanya menatap Arshaka dengan pandangan yang berbeda, penuh kekaguman.

"Oh, tidak masalah," balasnya, suaranya terdengar lembut dan hangat, berbeda dari biasanya.

Clara, yang sedari tadi tampak tidak senang, segera maju sedikit, seolah ingin memisahkan mereka.

Namun, Kak Claudia seakan mengabaikannya, fokusnya tetap pada Arshaka.

"Arshaka, kan?" tanyanya dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.

Arshaka mengangguk singkat. "Iya," jawabnya.

Kak Claudia tersenyum semakin lebar, "Congrats, ya. Ketua OSIS baru. Gak nyangka, tapi juga gak kaget. Kamu emang pantes soalnya." ucapnya dengan nada yang hampir terdengar manis.

"Thanks, Kak. Mohon bimbingannya," balas Arshaka dengan sopan, meskipun nadanya tetap datar.

Dari tempatku berdiri, aku merasa ada sesuatu yang mengusik. Interaksi itu—begitu berbeda dari apa yang biasa kulihat dari Kak Claudia.

Ingatanku kembali ke beberapa bulan lalu, saat aku tanpa sengaja menabraknya di koridor yang sama. Wajahnya saat itu berubah dingin, dan tanpa basa-basi, dia langsung menyiramku dengan air dari botol minumnya.

Kemarahan dan penghinaan terpancar jelas dari matanya, berbeda jauh dari kelembutan yang dia tunjukkan kepada Arshaka hari ini. Kenapa Kak Claudia bisa bersikap begitu berbeda?

Apa karena Arshaka memiliki posisi penting sekarang?

Atau karena dia cowok?

Tampan?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku saat aku menarik napas dalam dan berjalan masuk ke aula, berusaha keras mengabaikan perasaan aneh yang menyesakkan dadaku.

Meski mencoba untuk tidak memikirkan semua itu, ada sesuatu di dalam diriku yang tak bisa tenang, seolah-olah situasi ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan lebih rumit yang akan segera terungkap.

Saat aku melangkah ke dalam aula, suasana terasa tegang, seolah setiap tarikan napas membawa beban yang semakin berat. Kursi-kursi berbaris rapi, menunggu para kandidat OSIS mengisinya. Aku mengambil tempat dudukku, mencoba menenangkan hati yang bergejolak.

Pikiran tentang Arshaka dan Clara, serta reaksi Kak Claudia, berputar-putar di benakku, seperti bayangan yang enggan pergi.

Aku tahu, hari ini akan panjang dan penuh tantangan, namun aku harus siap menghadapi semuanya.

Rey tiba-tiba muncul dari pintu aula, melangkah dengan santai dan memilih duduk di sebelahku. Kehadirannya membawa sedikit rasa tenang di tengah ketegangan yang menggantung di udara.

Saat Rey duduk, aku merasakan tatapan tajam yang menusuk dari arah lain. Dengan perlahan, aku menoleh dan mendapati Arshaka memandang kami. Tatapannya keras dan dingin, penuh ketidaksenangan yang sulit disembunyikan. Wajahnya yang biasanya tenang kini menegang.

Seolah ada sesuatu yang tidak ia sukai.

Arshaka duduk agak jauh, tetapi jelas bahwa ia tidak bisa mengabaikan keberadaan Rey di sampingku. Pandangannya sesaat tersentak, lalu ia berpaling, mencoba menutupi emosinya. Namun, aura ketegangan tetap menggantung di antara kami, terasa jelas di setiap gerakan yang ia lakukan.

Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan tatapan Arshaka, berusaha memusatkan perhatian pada pertemuan yang sebentar lagi akan dimulai.

Rey duduk dengan santai, seolah tak peduli dengan dinamika yang terjadi. Senyumnya yang tenang memberikan sedikit rasa lega dalam hati yang gelisah.

Tapi aku tahu, ini hanya permulaan. Kami semua sedang berada di tengah pusaran emosi yang sulit ditebak arahnya.

Pak Iwan kemudian memproyeksikan nama-nama kami di layar besar di depan aula. Nama-nama itu muncul satu per satu, seakan menegaskan tanggung jawab baru yang kini kami emban.

Arshaka sebagai ketua OSIS, Rey sebagai wakil ketua, aku sebagai sekretaris, Ghisel sebagai wakil sekretaris, Clara sebagai bendahara, dan Elysia sebagai wakil bendahara.

Nama-nama itu berkilau di layar, mengukir janji dan harapan untuk masa depan SMAN Cendana.

Aku tak bisa menahan diri untuk melirik ke arah Arshaka. Namun, seperti biasa, dia hanya menoleh ke arah lain, wajahnya tetap dingin dan tak terbaca.

Ada jarak yang terasa semakin jauh di antara kami, sebuah dinding tak terlihat yang sulit untuk dirobohkan.

Namun, di balik semua itu, aku bertekad. Apapun yang terjadi, aku akan menjalankan tugas ini dengan sebaik mungkin.

Bersama teman-teman yang lain, kami akan bekerja keras untuk membuat sekolah ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua siswa.

Ini adalah awal dari sesuatu yang baru, dan aku harus siap menghadapinya, meski bayangan masa lalu dan perasaan yang tak menentu terus mengganggu pikiranku.

Setelah Pak Iwan membuka acara dengan suara tenang yang menggema di seluruh aula, Kak Davin, ketua OSIS lama, melangkah maju ke depan. Sosoknya tegap dan wajahnya datar, namun tatapannya menyapu seluruh ruangan dengan kesan penuh wibawa.

Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa tegas, seolah-olah ia mengukir pesan itu di udara.

"Selamat untuk para pengurus baru," ucap Kak Davin, suaranya tenang namun sarat makna.

"Kami harap kalian bisa menjalankan tugas dengan baik dan tidak hanya numpang nama saja. Pastikan setiap langkah yang kalian ambil memberikan kontribusi nyata."

Kata-katanya begitu langsung dan jujur, seakan memancarkan tekanan yang tidak terlihat namun terasa di setiap hati yang mendengarnya.

Di sampingnya, Kak Claudia, sekretaris OSIS lama, berdiri dengan sikap anggun namun penuh kewaspadaan. Suaranya lembut, tetapi membawa kesan serius yang tak bisa diabaikan. "Ya, tanggung jawab ini tidak ringan. Jangan sampai ada yang merasa terbebani karena sebenarnya tidak mengerti apa yang harus dilakukan."

Kata-kata Kak Claudia menusuk ke dalam pikiranku seperti jarum halus yang tajam. Aku menunduk, merasa tak nyaman dengan sindiran yang terselubung dalam ucapannya.

Rey, yang duduk di sebelahku, menoleh dan menyadari kegelisahanku. Senyumannya lembut dan menenangkan, seolah memberikan dukungan tanpa kata-kata. Ada kehangatan dalam senyuman itu yang berhasil meredakan sedikit ketegangan dalam diriku.

Namun, di seberang aula, Arshaka duduk dengan tenang, tapi aku bisa merasakan aura dingin yang memancar darinya. Tatapannya sesekali terarah ke arahku dan Rey, menembus kerumunan. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu jelas, seakan menegaskan bahwa kehadiran Rey di sisiku bukanlah sesuatu yang ia terima dengan mudah.

Namun aku tidak menyadarinya, terlalu larut dalam kekacauan pikiran dan ketidaknyamanan yang kurasakan.

Setelah pengarahan berakhir, Kak Davin dan Kak Claudia membuka kesempatan bagi kami untuk bertanya atau memberikan pendapat. Tapi aku memilih untuk tetap diam. Kata-kata mereka masih bergema di pikiranku, menambah beban yang sudah berat di pundakku.

Rey, yang tetap tersenyum di sebelahku, tidak mengatakan apa-apa, namun kehadirannya cukup untuk memberiku kekuatan.

Ketika aku masih duduk di kursi, tiba-tiba ponselku bergetar di atas meja. Sekilas, aku melirik ke arah layar yang menyala. Sebuah pesan muncul, "Semangat, cantik." Kata-kata itu terpampang di layar kunci.

Dari seseorang dengan nama yang sudah familiar di hatiku.

Keenan Aksara.

Senyum tipis muncul di wajahku, perlahan meredakan sedikit kekhawatiran yang menghimpit. Meskipun ucapan Kak Claudia masih menyisakan bekas tak nyaman, pesan dari Keenan membawa percikan kecil kehangatan yang menembus lapisan dingin itu.

Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan detak jantung yang tadinya tidak teratur, dan memusatkan kembali perhatianku pada tanggung jawab yang akan datang.

Di tengah semua ketidakpastian ini, aku sadar bahwa ada orang-orang yang siap mendukungku, meski perjalanan yang akan kutempuh tampak berliku dan penuh tantangan.

Setelah pengarahan dari pengurus OSIS lama selesai, kami berkumpul di ruang OSIS SMAN Cendana yang baru direnovasi. Ruangan ini terasa dingin, dengan meja panjang di tengah dan kursi-kursi yang tersusun rapi di sekelilingnya. Arshaka berdiri di depan, memimpin rapat dengan postur tegapnya dan ekspresi serius yang tidak pernah mengizinkan senyum. Suaranya tegas, memenuhi ruangan yang sunyi.

“Jadi, langkah pertama kita adalah menyusun rencana kerja selama satu tahun ke depan,” ujarnya, dengan nada yang mengandung otoritas dan kejelasan.

Aku duduk di samping Ghisel, teman sekelasku yang dikenal karena kebiasaannya membicarakan gosip namun juga karena kebaikan hatinya. Ghisel mencondongkan tubuh ke arahku, wajahnya penuh rasa ingin tahu yang tampak ceria meskipun suasana rapat terasa kaku.

“Al, coba deh liat si Clara, dia daritadi merhatiin Arshaka sambil senyum-senyum sendiri. Kayaknya bener deh apa kata anak-anak, Clara, dari kelas X, udah ngejar-ngejar Arshaka, tapi Arshaka nya gak mau,” bisiknya, suaranya lembut namun penuh semangat.

Aku hanya membalas dengan senyum kecil, mengangguk pelan, dan kembali memusatkan perhatian pada catatanku.

Rey, yang duduk di seberang meja, tampak berbeda dari biasanya. Tatapannya tidak bercanda seperti biasanya; kali ini dia serius, memperhatikan dengan perhatian yang dalam.

Sesekali, dia mengarahkan senyuman hangat ke arahku, menambah rasa nyaman di tengah ketegangan rapat.

Arshaka melirik ke arah kami sekilas, ekspresi wajahnya tetap datar namun matanya menunjukkan konsentrasi penuh.

“Alsha, pastikan semua agenda dicatat dengan detail. Rey, nanti kamu bantu koordinasi dengan ketua divisi.”

Rey mengangguk mantap, suaranya penuh kepastian. “Siap.”

Sementara itu, Clara duduk di sebelah Arshaka, tidak bisa menutupi tatapan yang penuh kekaguman terhadapnya. “Arshaka, kalau ada acara nanti, aku bisa bantu urus dana. Aku punya beberapa kontak sponsor yang bisa kita manfaatkan,” ucapnya dengan nada manis sambil memainkan rambutnya, matanya berbinar dengan harapan.

Elysia, yang duduk di sebelah Clara, ikut angkat bicara dengan semangat yang sama. “Iya, kita bisa cari sponsor yang bagus. Alsha, kamu setuju gak?”

Aku mengangguk pelan, berusaha menjaga nada suaraku tetap profesional. “Iya, kalau emang itu bisa membantu kegiatan kita.”

Aku merasakan tatapan Elysia dan Clara yang melirikku sesekali dengan ekspresi yang tidak sepenuhnya ramah. Meskipun sulit, aku berusaha tetap fokus pada catatanku, mencoba mengabaikan gangguan-gangguan kecil yang datang.

Pak Iwan berdiri di belakang meja, wajahnya penuh harapan dan keyakinan. Pandangannya menilai kami dengan cermat. “Ingat, kalian adalah contoh bagi siswa lainnya. Bekerja sama dengan baik dan selalu koordinasi satu sama lain. Alsha, Arshaka, Rey, Clara, kalian adalah inti dari organisasi ini. Pastikan semuanya berjalan dengan lancar.”

Arshaka menatap kami semua dengan tatapan serius dan penuh tanggung jawab. “Baik, Pak. Kami akan berusaha sebaik mungkin.”

Suasana ruangan menjadi lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegangan yang tak terucapkan. Di tengah semua dinamika yang ada, aku merasa berat untuk memulai tanggung jawab ini, namun tekadku untuk menjalankan amanah ini dengan baik semakin menguat.

Setelah rapat selesai, suasana di ruang OSIS perlahan kembali ke keheningan yang menyisakan rasa lelah di antara kami.

Ghisel, yang tampaknya masih penuh semangat, menarik lenganku dengan antusiasme yang menular. “Al, temenin aku ke kantin yuk! Sekalian aku mau cerita sesuatu.”

Aku menoleh dan tersenyum, merespons semangatnya. “Boleh.”

Sementara itu, Clara menghampiri Arshaka dengan senyum lebar yang tampaknya tidak sepenuhnya tulus.

“Shaka, kamu mau ikut gak? Kita bisa ngobrolin soal anggaran sambil makan di kantin.”

Arshaka, dengan ekspresi datar yang jarang berubah, menggeleng pelan. “Gue ada urusan lain. Kalian pergi aja.”

Aku bisa melihat kilatan kecewa di mata Clara, namun dia cepat menutupinya dengan senyum yang sedikit dipaksakan. “Okay.”

Arshaka beranjak pergi, langkahnya tampak sedikit tergesa-gesa.

Aku memperhatikan bagaimana dia menghindariku, merasa ada jarak yang semakin melebar di antara kami.

Ada rasa sedih yang meluap, namun aku berusaha keras untuk tidak membiarkannya menguasai pikiranku.

Ketika Rey mendekat, senyumnya yang hangat langsung menyentuh hatiku. “Lo mau ikut juga, Al? Gue traktir es krim.”

Aku tersenyum, rasa terima kasih melintas di wajahku. “Makasih, Rey, tapi aku udah ada janji sama Ghisel.”

Rey mengangguk, senyum hangatnya tetap di bibirnya. “Okay, lain kali ya.”

Dia beranjak pergi, meninggalkan aku dan Ghisel yang mulai berjalan menuju kantin. Suasana di lorong menuju kantin terasa cerah, berbeda dengan ketegangan rapat sebelumnya.

Ghisel mulai bercerita dengan semangat, suaranya mengalir penuh energi saat dia berbagi berita seru yang baru saja dia temukan.

Sementara dia berbicara, aku merasakan sedikit demi sedikit kegembiraan mengusir kesedihan yang sempat mengganggu.

Ketika kami melangkah mendekati koridor yang menghubungkan aula dengan kantin, Aline muncul di sudut pandang, langkahnya ceria seolah dia baru saja melewati pintu gerbang kebahagiaan.

“Alsha! Ghisel! Mau kemana? Kantin? Ikut dong!” serunya dengan penuh semangat.

Aku membalas dengan anggukan dan senyum, meneruskan langkah kami ke arah kantin. Setelah rapat yang melelahkan, kami bertiga memutuskan untuk istirahat dan mengisi perut.

“Kalian habis rapat?” tanya Aline dengan tatapan penasaran.

“Iya,” jawab Ghisel, nada suaranya penuh kelegaan.

Aline mengangguk, ekspresi wajahnya yang ceria membuat suasana hati sedikit lebih ringan. “Eh, eh, Lin. Ada sesuatu yang mau aku sampein. Kayaknya bakal jadi berita terhangat deh di SMANDA,” kata Ghisel dengan nada penuh misteri.

Mata Aline langsung membesar, semangatnya makin memuncak. “Apa tuh?”

“Tar lagi kalau udah sampai kantin,” jawab Ghisel, sengaja menggantungkan rasa penasaran.

Aku mengangkat alis, menyaksikan kehebohan kecil di depan mata. Dengan sedikit kekaguman, aku menggeleng pelan melihat tingkah mereka. Kami melanjutkan langkah hingga sampai di kantin, menemukan meja kosong di sudut dekat jendela.

Kami memesan makanan dan minuman sebelum duduk. Suasana kantin yang ramai mulai terasa menyenangkan.

“Ngomong-ngomong, rapatnya gimana? Seru atau bosenin?” Aline langsung membuka percakapan dengan penuh antusias.

“Seru lah, mana ada bosenin. Apalagi ketos-nya ganteng,” kata Ghisel, menggoda dengan nada nakal.

“Heh! Si ganteng itu milikku, awas aja macem-macem!” Aline membalas, nada suaranya mengancam tapi penuh canda.

Ghisel tertawa, sementara aku hanya bisa menghela napas panjang. Mulai.

“Tapi serius deh, Lin, bener kata kamu waktu itu, Arshaka emang ganteng banget cuy. Bukan cuma itu, dia juga pinter kalo disuruh ngasih ide-ide tentang program OSIS. Pantes aja Clara sampe tergila-gila gitu ke dia,” lanjut Ghisel.

“Hadeh, Clara? Sainganku,” Aline menjawab, nada suaranya penuh selidik.

Tiba-tiba, Ghisel mengeluarkan cermin kecil dari sakunya dan menyodorkannya ke arah Aline. Aline terkejut, matanya membesar.

“Heh, kamu mau ngapain?” tanya Aline, bingung melihat cermin di depan wajahnya.

“Ngaca dulu sebelum ngomong,” kata Ghisel sambil tertawa, diikuti oleh tawaku yang tak tertahan.

Aline melotot, lalu mengerucutkan bibirnya, membuat Ghisel tertawa lebih keras.

“Clara aja yang kayak gitu gak dilirik sama Arshaka,” ucap Ghisel, tanpa mempedulikan ekspresi Aline.

“Heh! Maksud kamu apa, Sel? Aku lebih cantik ya dari Clara, enak aja!” Aline tidak terima, lalu menatapku dengan penuh harapan. “Ya kan, Al?” tanyanya, dan aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum melihat kekonyolan mereka.

“Clara itu kan anak kepsek kita. Masa gak dilirik sama Arshaka, padahal banyak cowok yang rela antri buat dia,” tambah Ghisel dengan nada mengejek.

“Tahu gak, kenapa Clara dicuekin sama Arshaka?” tanya Aline dengan nada berbisik penuh misteri.

“Kenapa?” Ghisel, yang penasaran, minta penjelasan.

“Karena dia mau jaga hati buat aku,” jawab Aline sambil tertawa terbahak-bahak.

Ghisel langsung menepuk lengan Aline, “Aduduh, sakit!” teriak Aline, mengeluh.

“Aku udah serius dengerin, malah bercanda,” kata Ghisel sambil melotot, sementara Aline hanya cengengesan dengan senyum lebar.

“Eh, tapi Clara gak bikin ulah kan pas rapat?” tanya Aline lagi, mengubah topik dengan cepat.

“Ya begitulah, always caper di depan Arshaka,” jawab Ghisel.

“Untung si ganteng itu gak baperan,” kata Aline dengan nada puas.

Aku duduk diam, mendengarkan semua obrolan mereka.

Tentang Arshaka—cowok yang saat ini berusaha menjauh dariku.

Tiba-tiba, ponselku bergetar di meja, memecah alur percakapan yang penuh canda di sekitar kami. Aku mengangkatnya dan melihat pesan baru dari Keenan Aksara yang muncul di layar.

Keenan Aksara: Lagi di kantin?

Sambil mendengarkan tawa Ghisel dan Aline yang terus berbicara tentang Arshaka, aku membalas pesan tersebut dengan tenang.

Alsha: Iya, kok tau?

Keenan Aksara: Arah jam 9.

Aku menoleh ke arah kantin dan melihat Keenan berdiri di tengah kerumunan teman-temannya. Dia memandangku dari jauh dengan senyum tipis yang penuh makna. Aku membalas senyumannya dengan lembut, merasakan hangatnya perhatian yang tak terucapkan.

Alsha: Ngapain berdiri di situ?

Keenan Aksara: Lagi merhatiin sesuatu

Alsha: Apa?

Keenan Aksara: Masa depanku

Alsha: Hah?

Keenan Aksara: Kamu.

Aku menggelengkan kepala, geli dengan pesan darinya. Belum sempat menoleh lagi, Keenan sudah berdiri di samping meja kami.

"Boleh pinjem Alsha bentar?" tanya Keenan dengan nada santai namun penuh keyakinan. Obrolan Aline dan Ghisel langsung terhenti. Mereka menatap Keenan dengan mata penuh penasaran. Aku terkejut, menatap Keenan dengan kening berkerut, bertanya-tanya, pinjem?

Namun, saat itu juga seseorang muncul di belakang meja kami.

"Gak boleh, dia dipanggil Pak Iwan," katanya dengan nada tegas. Semua mata menoleh ke arahnya, sedikit terkejut dengan kehadirannya yang juga tiba-tiba. Arshaka.

Aku langsung memandang Keenan. Matanya tajam, menatap Arshaka dengan tajamnya, membuat ketegangan terasa memuncak.

Arshaka membalas tatapan itu dengan serius, dan suasana di sekitar kami terasa menegang. Aku tidak bisa mengabaikan kenangan lama—momen ketika Keenan dan Arshaka bertengkar di taman belakang sekolah beberapa waktu lalu.

Pertengkaran itu tidak memiliki alasan yang jelas, namun ketegangan di antara mereka tampak begitu dalam.

Aku menatap Keenan, matanya tajam menembus Arshaka, sedangkan Arshaka membalas dengan tatapan serupa. Ketegangan di sekitar kami meningkat, membangun suasana yang kaku.

Kenangan lama segera menghantui pikiranku—momen ketika Keenan dan Arshaka bertengkar di taman belakang sekolah beberapa waktu lalu.

Tanpa alasan yang jelas, pertengkaran itu menunjukkan betapa dalamnya konflik di antara mereka.

Ghisel dan Aline, yang sebelumnya tenggelam dalam obrolan, kini terdiam, jelas sekali terkejut, karena daritadi mereka ngomongin soal laki-laki ini. Arshaka.

"Ini terkait OSIS. Lo harus ke ruang guru segera," lanjut Arshaka dengan nada tegas.

Aku mengangguk, menoleh kembali ke arah Keenan. Aku memberikan senyum tipis penuh arti, dan dia membalasnya dengan anggukan lembut. Tanpa banyak bicara, aku langsung pergi meninggalkan mereka, sambil mengetik pesan singkat di ponselku.

Alsha: Jangan marah..

Keenan Aksara: Okay, cantik.

Setelah membaca balasan dari Keenan, aku memasukkan ponsel ke dalam saku dan melanjutkan langkah menuju ruang guru.

Saat aku sampai di depan ruang guru, mataku terus mencari sosok Pak Iwan di antara deretan meja dan kursi di dalam ruang itu, namun dia tidak tampak.

Pikiranku berlarian, cemas akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba, langkah Bu Sri menghentikan pencarianku. Ia mendekat dengan senyum lembutnya.

“Cari siapa, Alsha?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.

“Pak Iwan,” jawabku sambil mengarahkan pandangan ke sekeliling lagi.

Bu Sri menoleh ke arah jam tangannya, tampak memeriksa waktu sejenak. “Pak Iwan sedang dinas luar. Ada apa?”

"Eh?" Aku terkejut mendengar jawaban Bu Sri, "Oh, mungkin lain waktu bisa bertemu dengan pak Iwan, terimakasih Bu." jawabku, mencoba tersenyum meski terasa canggung.

Bu Sri mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang guru. Aku berdiri sejenak, berencana untuk kembali ke kantin. Namun, saat aku membalikkan badan, aku terkejut melihat Sosok yang berdiri tepat di belakangku.

“Ada yang perlu gue omongin sama lo,” ucapnya dengan nada datar namun tegas, Suaranya menggetarkan udara di sekitarnya, menambah ketegangan yang sudah ada. Aku merasa jantungku berdegup kencang, siap menghadapi apa pun yang akan dikatakan selanjutnya.

Shaka.

...BERSAMBUNG...

#alshameyzea

#alsha

#keenan

#aboutme

#fiksiremaja

#arshaka

#rey

------

Assalamualaikum guys!! Bantu support yaa dengan follow, vote, dan komen di setiap bab nya!! Makasiiii!🌷💖

Mari kepoin cerita kami juga di ig: @_flowvtry @febbyantii._

Salam kenal dan selamat membacaa. Semoga betah sampai akhir kisah Alsha! Aamiin.💖

Komen sebanyak-banyaknya disini 👉🏻 👉🏻 👉🏻

Eh? Kalian mau kasih saran dan kritikan? Boleh banget, disini yaaa👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻

Thanks udah mau bacaa bab iniii sampe akhir💐

1
Sodiri Dirin
jujursi ceritanya bikin binggung tp bagus 🤔
_flowvtry: Makasii kaaa🥹🥹🥹🌷
total 1 replies
Sodiri Dirin
up tor jangan lama2,,sejujurnya aku ngrasa binggung sama ceritanya kaya GK nyambung lompat2 GK jelas tp seneng aja bacanya 🤗
_flowvtry: makasii kaaa, update terbaru ada di aplikasi wp kaa🙏🏻😭
total 1 replies
lilyflwrsss_
kerennnn bangett, alurnya bener-bener ga ketebak.
jd pengen baca terus menerus.
ditunggu updatenya kaak
_flowvtry: makasiiii kaaaa huhuu🥹🥹❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!