Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Kemanakah Indy dan Rio tidak datang tepat waktu? mari kita lihat beberapa jam yang lalu.
Hal tidak terduga bisa terjadi kapan saja. Seperti sekarang misalnya, tamu bulanan Indy datang dan ia tidak mendapat pembalut di tempat persediaan. Perut dan pinggangnya sekongkol membentuk sensasi rasa yang tidak nyaman, membuat ia enggan melakukan aktivitas meski sekedar membeli pembalut. Dalam rangka ingin mendapatkan barang yang dia butuhkan segera, Indy memiliki niat untuk meminta bantuan kepada Rio.
Dia menelpon cowok itu.
"Yo, aku minta tolong beliin yang punya sayap tapi tidak bisa terbang. Cepetan ya, di tunggu."
Rio dibalik teleponnya sedang berfikir keras, "A-pa kak?"
"Itu, hng.. apa ya?" Indy merasa malu mengatakannya secara gamblang. Dia juga ikut berfikir keras, kata-kata apa yang sekiranya dia pakai agar pacar kecilnya mengerti.
"Pembalut ya?" akhirnya Rio mengerti sebelum Indy menjelaskan lebih lanjut.
"Iya itu."
"Oke, tungguin ya. Aku otw beli."
Sambungan telepon lalu terputus.
Di luar, hujan sedang turun membasahi bumi. Selepas telepon berakhir, Rio langsung tancap gas menerobos hantaman air yang turun dari langit. Ia menggunakan jas hujan plastik ala kadarnya saking terburu-burunya. Tidak pakai lama Rio pun sampai di sebuah minimarket terdekat.
Disana ia melihat rak pembalut berjejer dari berbagai merek, jenis, dan ukuran. Rio kebingungan mau beli yang mana. Dia berdiri beberapa detik hanya untuk menjatuhkan pilihan.
"Yang ini saja." Tunjuk salah satu konsumen lain.
"Ah iya, terimakasih." Kebetulan yang ditunjuk orang itu sesuai dengan kriteria--yang ada sayapnya. Rio kemudian menoleh.
"Sama-sama Nak" Jawab orang itu yang tak lain adalah Rosmalina. Untuk beberapa saat Rio belum tersadar. Pemuda itu pamit menuju kasir, meninggalkan Rosma yang mematung memandangi punggung Rio dengan tatapan nelangsa.
Rosma turut ke kasir dan ikut mengantri di sana. Di belakang Rio, wanita itu memperhatikan putranya menyembunyikan pembalut demi menghindari tatapan skeptis dari orang-orang yang tak paham. Tetapi sejurus kemudian Rio dapat membalikkan keadaan. Pemuda itu lantas keluar dari antrian lalu mengambil coklat serta camilan lainya yang dapat meningkatkan mood.
Para wanita yang melihatnya langsung paham. Mereka lantas cengar-cengir sendiri, kemudian mengidamkan sosok pasangan seperti Rio.
Sementara orang yang telah melahirkannya, hanya bisa memperhatikan dari kejauhan. Rio telah selesai membayar belanjaan kemudian membalikan badan hanya untuk bertembung pandang dengan Rosmalina.
Barulah Rio mengenali wanita tersebut pada pertemuan kedua ini.
"Ibu?"
Mendengar Rio berkata begitu, Rosmalina kemudian tergagap. Beliau segera pergi, khawatir orang-orang suaminya tahu lalu mempersulit keadaan. Nanti jika sudah waktunya, Rosma akan merengkuh Rio ke dalam pelukan. Entah itu kapan, yang pasti bukan lah saat ini.
...*****...
"Taruh aja di kasur. Terimakasih ya." Ucap Indy di sambungan telepon. Ia sedang berada di kamar mandi.
"Sudah aku taruh di sana. Aku pergi dulu, kalau butuh apa-apa bilang ke aku ya, jangan bilang ke orang lain."
"Iya Rio."
"Kamu jangan minum es buat sementara waktu sampai aku bilang boleh."
"Iya sayang, iya.."
Di kata sayang, Rio baru diam tak banyak bicara. Pemuda itu sibuk senyam-senyum sendiri.
Setelah selesai dengan segala urusan, pasangan Indy Rio hendak menepati janji pada Handi untuk menemaninya bertemu dengan Juni. Satu jam cukup untuk perjalanan meskipun jalanan padat merayap. Rio menyetir mobil kali ini karena tidak memungkinkan Indy untuk berkendara.
Di dalam perjalanan, Rio menyadari ada satu mobil mengikuti mereka. Ia tidak bisa menambah kecepatan lagi karena jalanan yang cukup ramai. Yang dilakukan Rio adalah mengambil celah dari setiap ruang yang tercipta untuk dia masuki. Belum tentu mobil dibelakangnya mendapat kesempatan yang sama.
"Yo, ada apa?"
"Ada yang ngikutin kita kak." Indy langsung menoleh ke belakang, memperhatikan apa yang di bilang Rio.
"Hah, kenapa kemana-mana aku jadi tidak aman? rasanya aku ingin mencekik Junifer agar semuanya kembali damai. Rio, hati-hati ya. Jangan sampai kenapa-kenapa pada kamu. Aku nggak sanggup kalau kamu sampai kenapa-kenapa."
"Aku juga tidak akan membiarkan kamu kenapa-kenapa." Rio menanggapi tanpa menoleh. Matanya fokus ke depan, ke belakang sebentar, lalu ke depan lagi. Dia mencari akal.
Bertemu jalan lengang, Rio memacu kecepatan.
"Kak, pegangan yang kuat."
"Iya." Indy manut seraya menutup kedua matanya. Dia takut akan kecepatan.
Saling kejar-kejaran pun terjadi. Bertemu celah untuk kabur, Rio memanfaatkan itu dengan baik. Ia membanting setir, berbelok tajam ke kiri masuk ke dalam jalanan tikus. Beruntungnya, ia menemukan kembali lajur ke kiri dan kanan yang membingungkan sehingga ia dengan cepat membanting setir ke kiri lagi, menyebabkan penguntit kehilangan jejaknya.
Indy memegangi dada, memeriksa jantungnya.
"Astagaa Rio, apa itu tadi?! aku hampir dibuat jantungan."
"Maaf. Aku cuma berusaha menghindari kejarannya. Kamu baik-baik aja kan?"
"Aku baik-baik saja Rio. Tapi rasanya detakan jantungku terasa begitu cepat." Tanpa Indy pernah tahu, bersamaan dia memegangi dadanya, Handi juga melakukan hal yang sama.
Jalan yang ditempuh menjadi sepuluh menit lebih lambat akibat menghindari dugaan penyerangan yang dilakukan oleh Junifer.
Begitulah ceritanya mereka bisa telat datang.
Dan sekarang, keduanya berada di rumah sakit menemani Handi. Ayahnya Indy mengalami kelumpuhan serta tidak mampu berbicara.
Juni menangisi keadaannya, namun mata lelaki paruh baya itu selalu tertuju pada Rio. Seperti ingin berbicara tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Tangannya masih sulit sekali untuk digerakkan.
Sementara Indy, dia semena-mena menarik paksa Juni keluar dari ruang tersebut karena sudah muak pada perempuan itu.
"Pergi lo dari sini!"
"Nona Rhinzy, Pak Handi sudah membuat pernyataan jika dia sepenuhnya melimpahkan segala kepengurusan di saat situasi yang tidak memadai seperti sakit, berada di luar negeri ataupun lainnya kepada Nyonya Junifer. Jadi beliau tidak bisa pergi dari sini."
"Saya anaknya! kau punya bukti apa sehingga bisa berbicara seperti begitu? saya lebih berhak atas keadaan ayah saya, bukan wanita jadi-jadian ini!"
"Perlihatkan padanya." Titah Juni kepada sang pengacara. Yang diperintahkan segera mencari berkas di dalam tas.
Di cari-cari sampai ke seluk beluk, tidak ada tanda-tanda berkas ada di dalam. Juni dan pengacaranya tidak pernah tahu bahwa berkas yang baru saja di tanda tangani Handi secara terpaksa sudah di gondol Rio.
.
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣