"Pergi kamu! Jangan pernah datang ke sini lagi! Bapak dan ibuku bukanlah bapak dan ibu kamu!" usir kakak sulungku yang ucapannya bagaikan belati menusuk hati, tapi tidak berdarah.
Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Inilah kisahku. Kisah seorang gadis yang terjebak dalam konflik keluarga. Memaksa diriku yang masih kecil berpikir dewasa sebelum waktunya.
Aku berusaha menjalani hidup sebaik yang aku bisa dan melakukan apapun semampuku. Selalu berusaha berpikir positif dalam setiap masalah yang menderaku. Berjuang keras menahan semua penderitaan dalam hidupku. Berusaha tetap tegar meskipun semua yang aku hadapi tidak lah mudah.
Bagaimana caraku, menghadapi kemelut dalam keluargaku yang berpengaruh besar dalam hidupku?
Yuk, ikuti ceritaku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Pilihan
Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh nenek barusan. Aku rasanya tidak percaya mendengar kabar ini. Kenapa hari ini banyak kejutan dalam hidupku?
"Bapak dan ibu pulang?" tanyaku dengan ekspresi yang rasanya masih belum percaya dengan pendengaranku.
"Iya. Cepat temui bapak dan ibumu sana!" sahut nenek serius.
Beberapa waktu yang lalu, ibu dan bapak mengirim surat padaku dengan sejumput tanah di dalamnya. Ibu dan bapak meminta aku menyerahkan tanah itu pada Paman Toro yang ternyata adalah dukun.
Astaga.. ternyata pamanku sendiri seorang dukun. Pantas saja setiap aku mampir ke rumah Paman Toro setelah pulang sekolah, aku sering melihat paman ada tamu. Tapi aku nggak nyangka kalau ternyata tamu itu adalah orang yang ingin berdukun pada paman.
Aku memberikan tanah itu pada Paman Toro sesuai keinginan bapak dan ibu yang katanya ingin tanah itu di jampi agar cepat laku di jual. Aku tak menyangka tak lama dari itu bapak dan ibu pulang.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Karena hari sudah sore, aku mandi dulu sebelum menemui kedua orang tuaku. Aku menemui ibu dan bapak yang tinggal di rumah paman, karena sebagian tanah dan rumah paman adalah milik ibu. Kata nenek, dulu dibelinya barengan.
Sedangkan Bik Samiah? Dia datang nggak bawa apa-apa selain pakaian.
Dari rumah sampai perabotan rumah, semuanya bukan miliknya, tapi milik ibuku, paman dan Bik Mina, istri pertama paman.
"I..ibu.." panggilku pada seorang wanita paruh baya yang selama ini hanya aku kenali lewat foto.
"Kamu sudah pulang?" tanya ibuku tersenyum tipis.
"I..inggih (iya)," sahutku menggunakan bahasa Jawa halus meraih tangan ibuku, lalu mengecup punggung tangan wanita yang telah mengandung dan melahirkan aku ini. Aku mengecup punggung tangan ibu dengan takzim.
Ibu kemudian memeluk aku. Namun entah mengapa ada perasaan canggung di hatiku pada ibu kandungku sendiri. Apakah karena selama puluhan tahun baru bertemu dan jarang berinteraksi, hingga aku merasakan rasa canggung ini?
Tempat tinggal ibu dan bapak di Bengkulu masih merupakan daerah pedalaman yang ditanami kelapa, durian, manggis dan kopi, jadi tidak ada sinyal di sana. Jadi kami hanya bisa berkomunikasi lewat surat.
"Sudah pulang?" tanya seorang pria paruh baya yang aku kenali sebagai bapakku.
"Inggih, Pak," sahutku, kemudian meraih tangan bapak dan mengecup punggung tangan bapak takzim.
"In.." sapa kakakku yang tiba-tiba muncul.
"Kak.." sapaku balik tersenyum lembut.
Dua adik perempuanku yang masih kelas satu dan tiga SD nampak asing melihat aku. Sedangkan adik laki-lakiku yang nomor dua masih di Bengkulu menyelesaikan sekolah SMP.
Ibu mengajak aku duduk di teras dan mengobrol.
"Kamu sholat, nggak?" tanya ibuku.
"Sholat, Bu," sahutku.
"Ngaji, nggak?" tanya ibu lagi.
"Mboten (tidak).." sahutku tertunduk. Aku tetap menggunakan bahasa Jawa halus setiap berbicara dengan ibu dan bapak.
"Kok, nggak ngaji?" tanya ibuku lagi.
Aku tak menjawab dan hanya diam tertunduk. Bagaimana aku mau ngaji, kalau setiap sore anak-anak yang lain mengaji, aku malah belum pulang dari sawah?
"Sudah makan, belum?" tanya ibu lagi.
"Dereng (belum)," sahutku.
Pembicaraan macam apa ini? Apa begini pertanyaan dan sikap seorang ibu yang sudah puluhan tahun nggak ketemu anaknya? Aku jadi merasa canggung pada ibuku sendiri.
"Ya sudah, makan dulu sana," ucap ibu.
Aku pun pamit masuk ke dalam rumah pada ibu. Meskipun sebenarnya aku masih kenyang karena sudah makan pas di kafe di traktir oleh Zayn tadi, tapi aku sengaja mengaku belum makan agar ibu menyuruh aku makan. Tujuanku? Agar aku bisa menghindari ibu.
Kenapa aku ingin menghindari ibuku? Jujur, aku merasa kecewa dengan respon bapak dan ibu saat pertama kali bertemu denganku. Aku merasa asing dengan orang tuaku sendiri. Aku tidak menemukan kasih sayang yang selama ini aku rindu dari kedua orang tuaku.
Aku sama sekali tidak merasakan kerinduan dari tatapan mata ataupun gestur tubuh mereka. Sama sekali tidak ada kalimat atau satu katapun yang menggambarkan ibu dan bapak merindukan aku.
Bahkan saat aku di peluk ibu tadi, aku sama sekali tidak merasakan hangatnya pelukan kasih seorang ibu seperti yang dulu pernah aku rasakan saat dulu Bik Mina memelukku. Bahkan sikap bapak padaku lebih seperti orang asing.
Apa benar, kehadiranku memang tidak diinginkan kedua orang tuaku? Salahkah jika aku berpikiran demikian setelah pertemuan kami ini? Aku merasa mereka biasa saja saat bertemu dengan aku.
Apa aku kecewa karena itu? Apa aku terlalu berharap mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku yang selama puluhan tahun ini tidak aku dapatkan dari merek?
Apakah salah jika aku berharap ibu dan bapak mengatakan kalau mereka begitu merindukan aku dan meminta maaf karena selama sepuluh tahun lebih tidak bisa mengunjungi aku dan tidak bisa memberikan nafkah padaku? Apakah aku terlalu berlebihan jika aku mengharapkan semua itu?
*
Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasanya. Namun aku pulang sekolah lebih awal karena ada rapat guru mendadak. Namun baru saja aku memarkirkan sepedaku, aku mendengar suara nenekku bicara.
"Separuh rumah dan tanah ini adalah milik Sawitri. Jadi kamu harus membiarkan adik kamu tinggal di sini, Pri," ucap nenek yang terdengar olehku.
"Kalau mau tinggal di sini, ya, silahkan?" sahut pamanku, tapi terdengar tidak ikhlas.
"In, kamu sudah pulang?" tanya Kak Lena, kakak kandungku.
"Iya, Kak. Tadi ada rapat mendadak, jadi semua siswa dipulangkan," sahutku jujur.
"Ganti baju, gih! Temani kakak ke pasar untuk membeli beberapa barang," pinta kakakku.
"Iya, Kak," sahutku yang merasa senang karena sikap kakak terasa lebih hangat dibanding kedua orang tuaku dan juga kedua adikku. Mungkin karena kedua adikku masih kecil dan kami baru bertemu, jadi kami merasa canggung.
Aku dan kakak membeli beberapa barang keperluan kakak. Setelah pulang, kakak masuk ke rumah yang ditinggali bersama paman, sedangkan aku masuk ke rumah nenek.
Aku ke sawah membantu nenek menanam sayuran. Nenek pulang duluan, karena katanya mau pup. Sekitar satu jam kemudian aku pun pulang. Namun ada hal yang aku dengar dan membuat aku terkejut.
"Indah itu anak kandungku, kenapa di akte Indah nama bapak dan ibunya nama kakak dan Kak Mina? Lah, kok, bisa-bisanya kakak mendaftarkan Indah sebagai anak kandung kakak tanpa meminta persetujuan dari aku?" tanya ibu terdengar emosi.
Sungguh, aku tidak tahu kalau Paman Supri mengadopsi aku tanpa persetujuan dari kedua orang tuaku.
"Lah, kamu juga nggak ngurus Indah, kok. Kamu pergi merantau juga nggak ngirim uang buat Indah," kilah paman.
"Memang kami hanya bisa mengirim sedikit uang untuk Indah, karena keadaan kami di Bengkulu juga sulit. Tapi tetap saja tidak benar kalau kakak mendaftarkan Indah sebagai anak kandung kakak tanpa persetujuan dari aku dan suamiku," tandas ibuku.
"Memang berapa uang yang sudah kamu kirim sama Indah? Biar aku ganti," ucap paman dengan suara agak tinggi.
"Nggak perlu," tukas ibuku.
"Ngasih nafkah buat Indah saja nggak bisa masih mau marah karena aku mendaftarkan Indah sebagai anak kandungku," ujar paman terdengar meremehkan ibu.
"Pokoknya aku akan tetap mengambil Indah, karena dia adalah anakku," ucap ibu tegas.
Ibu dan bapak sebagai orang tuaku tidak memberikan nafkah yang seharusnya padaku. Paman sendiri mendaftar aku sebagai anak, tapi juga tidak menafkahi aku seperti yang seharusnya.
Lalu siapa yang benar diantara mereka berdua? Paman atau ibu dan bapakku? Menurut aku tidak ada yang benar. Mereka sama-sama tidak bertanggung jawab. Karena ujung-ujungnya aku dirawat dan dibesarkan oleh nenekku.
"Sudah! Sudah! Nggak usah ribut karena berebut Indah. Nanti aku tanya sama anaknya, dia mau pilih tinggal sama siapa," ujar nenek menengahi.
Sekarang aku harus pilih tinggal sama siapa? Sama kedua orang tuaku yang rasanya seperti orang asing? Atau tinggal bersama pamanku yang hanya memanfaatkan tenagaku karena hasutan bibi?
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
trus kabarbindah yg dijodohkan dan udah nikah bagaimana ??
apa akan di lanjutkan di cerita indah yg sudah dewasa nanti ??
terimakasih author.ditunggu karya berikutnya