[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]
Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.
Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WAKTUNYA MENGUDARA
Di puncak tertinggi Gunung Pandan yang mereka sebut Mega Dipta, ketiganya menengadah tengah menyaksikan langit yang sedang bergolak. Sosok-sosok berjubah emas itu berkilau cemerlang di tengah pekatnya malam.
"Mereka sudah siap berangkat." Cariyawarta yang bertugas memantau pun menyampaikan warta.
"Aura yang memancar dari tubuh Arka setiap menitnya semakin kuat, Bhanu Angkara dibuat semakin gelisah karenanya." Cariyapurna berbicara masih dengan kepala tengadah. Meskipun suara berat nan dalam itu terdengar sangat tenang, tetapi sebenarnya hati juga diliputi kegelisahan.
Kali ini mereka tidak diperbolehkan turun tangan untuk menolong jika perjalanan Arka dan Diyan mengalami hambatan. Tugas malam ini merupakan ujian awal untuk ketulusan hati Arka sebagai saudara Diyan, sekaligus sebagai putra Gaganantara.
Akan tetapi, jika Arka mengalami kesulitan besar dan membutuhkan pertolongan, maka pertolongan itu pun akan datang jika diminta. Pertolongan dari pihak lain selain mereka bertiga.
Arka adalah bagian terpenting dalam misi karena hanya dia yang mampu mengimbangi kekuatan Bhanu Angkara. Bila hatinya tetap teguh pada keinginan untuk melindungi Diyan, tidak menyerah pada keadaan dan berhasil sampai di tempat ini sebelum tengah malam, maka dia layak tetap mendampingi saudaranya sampai akhir. Namun, jika dia menyerah maka Bhanu Angkara akan dengan mudah merenggut keduanya dan kisah mereka akan berakhir begitu saja. Berakhir bahkan sebelum sayap-sayap Diyan terentang.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah karena memang begitulah seharusnya. Mudah-mudahan upaya kecil kita dengan membawa Diyan dalam keadaan tidur tidak sia-sia." Cariyasukma menimpali, pun masih dengan kepala tengadah.
Fungsi sebenarnya dari obat tidur yang diberikan pada Diyan adalah untuk menekan auranya yang semakin mendekati tengah malam semakin menguat supaya Bhanu Angkara tidak bisa dengan mudah mengendus pergerakan mereka malam ini.
Akan tetapi, rupanya aura dari Arka saja sudah lebih dari cukup untuk menarik perhatian makhluk yang sekarang wujudnya seperti monster api. Hal itu sesungguhnya sedikit di luar dugaan ketiga altair agung. Mereka tidak pernah memperkirakan bahwa Bhanu Angkara akan nekat menggunakan raga Mamat seutuhnya, mengingat bahwa Diyan'lah yang sangat dia inginkan.
Di sisi lain Bhanu Angkara merasakan detak jantungnya berpacu. Seluruh indranya waspada---mengikuti gelombang aura Arka yang timbul tenggelam.
Sepertinya, Arka pun sudah menyadari situasinya dan sekarang sedang berusaha menekan aura yang menguar dari dalam tubuhnya. Dalam wujud altair, dia bisa merasakan dengan jelas bahwa Bhanu Angkara sedang mengintai. Menunggu saat yang tepat untuk bergerak.
Bhanu Angkara yang sekarang wujudnya sangat mengerikan, sedang mengambang di ruang tengah rumah tua. Melalui jendela kaca yang sudah pecah, matanya terpaku menatap ke angkasa gelap gulita yang sesekali seperti menyala karena kilat menyambar-nyambar.
Srintil berdiri tidak jauh darinya. Perempuan itu terus meremas-remas jemari karena gelisah sekaligus tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi. Sementara itu, janin-janin di dalam perutnya pun tidak bisa diam. Janin hasil dari hubungan telarang antara dirinya dan Mamat, tetapi sesungguhnya Bhanu Angkara'lah yang membuahi Srintil dengan cara meminjam tubuh Mamat.
Bayi-bayi itu sudah berada di dalam rahim Srintil dalam waktu yang sangat lama. Mereka hanya akan lahir jika sang ayah membutuhkan bantuan.
"Sekarang kamu memang jauh lebih kuat karena sudah memiliki raga." Ambar yang terkulai tidak berdaya di lantai, mulai mengoceh. "Tapi, jangan berharap terlalu muluk. Walaupun ketiga altair agung itu nggak akan turun tangan, Arka bukanlah lawan yang enteng---ughf---" Kedua lutut refleks menekuk karena ulu hatinya tiba-tiba sakit bukan kepalang.
"Rupanya kamu sudah nggak sabar mau mati!" Bhanu Angkara berteriak dan hanya dengan lirikan matanya yang menyala, dia berhasil menyakiti Ambar. "Kalau bukan karena kebohonganmu, sudah sejak lama aku bisa menguasai Diyan." Dia masih saja menganggap Ambar berbohong.
"Setelah ... sayap Diyan terentang ...." Napas Ambar terengah-engah dan setelah menelan ludah dengan susah payah kembali berkata, "Kamu nggak akan punya kesempatan lagi---aaarrrggghhh!" Setelah itu, dia meraung kesakitan. Jemarinya perlahan mengepal seperti hendak meremas lantai, meninggalkan bekas cakaran di atas ubin berdebu.
Dengan tatapan mautnya, Bhanu Angkara kembali menyiksa bagian dalam tubuh Ambar hingga perempuan itu merasa lebih baik mati saja.
"Kesempatan akan ada kalau aku menciptakannya!" Dia berteriak arogan dan tawanya kian menjadi-jadi. "Aku, Bhanu Angkara yang perkasa nggak ada yang nggak mungkin bagiku! Karena akulah sejatinya angkara!" Arogansinya pun semakin menjadi-jadi.
Meskipun seluruh tubuh terasa sakit, Ambar masih tidak menyerah untuk terus memprovokasi Bhanu Angkara. Karena tujuannya adalah melemahkan kewaspadaan iblis itu.
"Dengarkan baik-baik ... apa yang ... aku katakan. Takdir ... harus digenapi ... untuk memperbaiki nasib. Pada akhirnya kamu tetap akan kalah---ughf!" Ambar kembali meringkuk menahan sakit karena Srintil tiba-tiba menendang rusuknya.
"Tutup mulut! Telingaku sakit mendengarmu ngoceh terus!" Sambil berteriak, Srintil kembali menendang kakaknya. Lagi, lagi, dan lagi hingga ....
"Cukup, Sri! Malam ini aku membutuhkannya! Aku punya rencana. Rencana yang sangat luar biasa, dengan begitu hidup peramal bodoh tidak akan sia-sia." Bhanu Angkara terbahak-bahak, puas dan bangga dengan ide brilian yang dimilikinya. "Untuk menyingkirkan peramal bodoh nggak berguna ini, aku nggak perlu mengotori tanganku." Dia kembali terbahak-bahak, suaranya sampai menggetarkan dinding. Kaca-kaca jendela rapuh yang tadinya masih bertahan pun luruh ke lantai dan hancur berantakan.
Sementara itu di kediaman Gaganantara. Setelah sekian lama, akhirnya sayap-sayap para altair itu kembali terentang. Tubuh mereka berpendar dalam balutan jubah putih nan cemerlang. Lingkar cahaya yang ada di atas kepala mereka pun tampak bercahaya dalam ruangan tanpa pencahayaan lampu ini.
Pak Satria dan Bu Harnum menatap prihatin si bungsu yang tengah tidur lelap di atas kedua tangan kakaknya.
Bu Harnum yang sekarang terlihat jauh lebih anggun dan mulia dalam jubah kebesaran makhluk Sahen Gaganantara, mengelus kepala si bungsu penuh sayang, matanya pun berkaca-kaca.
"Tanggung jawab besar ada di pundakmu, Sayang. Kami akan berusaha melakukan yang terbaik." Dia berbicara kepada Arka. Pemuda altair yang selama ini dia rawat dengan status sebagai anak itu pun mengangguk mantap.
"Apa pun yang terjadi pada kami, jangan jadikan alasan untuk menghambat perjalananmu." Pak Satria menimpali.
Penampilan Pak Satria sebagai altair akan mengingatkan siapa pun pada sosok mitologi Yunani, Dewa Zeus yang perkasa. Sangat rupawan, tinggi nan gagah, jenggot putihnya pun menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Dia menepuk bahu Arka sambil tersenyum teduh sekaligus bangga.
"Ayah, Ibu, berhati-hatilah. Aku harus segera berangkat, mereka sudah menunggu." Suara Arka serak dan bergetar karena tenggorokan terasa kering dan jantung berdetak cepat. Energi di dalam tubuhnya mengalami fluktuasi yang menyebabkan adrenaline berpacu.
Bu Harnum mengelus kedua pipi putra sulungnya, lalu mengecup berkali-kali. "Kami akan pergi lebih dulu untuk melihat keadaan. Sang Penguasa Hidup pasti bersamamu, Sayang. Jaga diri dan adikmu baik-baik. "
Arka mengangguk kecil pada kedua orang tuanya. Dia pun menatap tanpa berkedip ketika keduanya terbang ke luar lewat jendela kamar si bungsu. Sesaat kemudian dia terkesiap. Matanya melebar maksimal ketika sosok besar menyala, tiba-tiba melesat dengan kecepatan tinggi menuju ke arah kedua orangtuanya.
"Oh, Sang Yang Agung!" serunya panik.
Sangat mencemaskan mereka, Arka sampai lupa pada tugas utamanya. Dia sudah hendak menjejakkan kaki, berniat bergabung dengan Pak Satria dan Bu Harnun, tetapi ....
"Ingat tugas utamamu, Arka." Suara Cariyawarta terngiang di telinganya. "Bergegaslah. Jangan sampai terlambat!"
Untuk sesaat Arka membeku. Setelah itu, dengan berat hati dia bergegas meninggalkan kamar adiknya dan terbang ke luar melalui jendela kamarnya sendiri. Begitu dia mengangkasa, bola api sangat besar meluncur cepat ke arahnya. Arka langsung teringat pada kedua orang tuanya dan hatinya semakin dicekam risau.
Oh! Apa yang terjadi pada ayak dan ibu?!
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/