"Dalam Tasbihku, ku langitkan doa atas namamu, meski aku tidak tahu apakah doaku yang akan pulang sebagai pemenangnya." ~ Hawaa
Hubungan persaudaraan tak sedarah yang sudah terjalin ternyata menumbuhkan cinta diantara Adam dan Hawaa, tapi semua itu harus terhalang, saat Adam memilih menganggap Hawaa hanya sebatas saudara.
Hawaa yang telah kecewa, kembali dibuat terluka saat Adam datang mengenalkan kekasihnya, Anissa yang ingin Adam ajak serius.
"Saat kamu melangitkan doa dengan nama orang lain, kamu harus siap menerima jawaban, dari doa itu." ~ Adam
Inikah jawaban, dari Doa yang Hawaa langitkan, ataukah ada jawaban lain yang belum kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh
Adam mengejar Hawaa. Menahan tangannya agar tak melangkah lagi. Dia menggelengkan kepala tanda melarang kepergian sang wanita yang dicintainya itu.
"Jangan pergi, Hawaa!" cegah Adam.
"Aku harus pergi, Adam. Jika aku tetap bertahan, takutnya Abi yang akan pergi," balas Hawaa.
"Bibirmu itu terluka. Kita ke rumah sakit dulu. Setelah itu baru kamu ke hotel. Jangan membantah," ucap Adam.
Adam meminta supir itu untuk pergi. Membayar uangnya. Dia mengajak Hawaa masuk ke mobilnya. Melajukan menuju salah satu klinik.
Di dalam rumah, Gafi masih tampak memohon pada sang Abi. Melihat pria itu tak bergeming, dia lalu berjalan mendekati sang bunda.
"Bunda, katakan pada Abi. Jangan usir Kak Hawaa. Dia tak salah. Cinta itu tak bisa dicegah. Lagi pula kak Hawaa telah mencoba menguburnya. Kasihan, Kak Hawaa. Dia baru saja keluar dari rumah sakit. Apa Bunda tak melihat tubuhnya. Dia tak sekuat yang kita kira. Dia itu lemah, tapi berusaha kuat. Semua dilakukan agar tak mengecewakan Abi dan Bunda!" ucap Gafi.
"Bunda bisa apa, Nak?" tanya Bunda dengan suara lemah.
"Bunda bisa melakukan banyak hal. Pertama yakinkan Abi untuk mencegah kepergian kak Hawaa," jawab Gafi.
Annisa masih terdiam. Hampir tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tak pernah dia menduga jika reaksi Abi seperti ini. Mengusir anak kesayangannya. Dari dalam hatinya juga ada rasa bersalah karena mengatakan semuanya.
"Maafkan, Bunda," ucap Bunda.
Gafi lalu berdiri dan langsung berjalan masuk ke kamar. Dia merasa sangat kecewa pada orang tuanya yang tak bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Hanya mengutamakan ego sebagai orang tua.
Di ruang tamu, Haikal mencoba menenangkan dirinya. Dia menarik napas sebelum akhirnya bicara.
"Maafkan Adam dan Hawaa. Abi tidak bisa mendidik mereka. Abi gagal sebagai orang tua," ucap Haikal dengan suara pelan.
"Abi, aku juga minta maaf. Ucapanku tadi tak bermaksud membuat Abi dan Bunda marah. Aku hanya ingin mengatakan hal yang sebenarnya. Aku sudah ikhlas berpisah. Bertahan juga akan membuat kami saling menyakiti," balas Annisa.
"Annisa, Bunda juga minta maaf atas semua yang dilakukan Adam. Bunda akan datang ke rumah orang tuamu untuk meminta maaf. Bunda doakan kamu mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari putra Bunda. Terima kasih karena telah mencoba bertahan," ucap Bunda Syifa dengan lembut.
Setelah beberapa saat berbincang, Annisa pamit. Haikal masuk ke kamar begitu menantunya itu keluar dari ruang keluarga. Syifa lalu menyusul sang suami. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Solat magrib, begitu juga Haikal.
Syifa duduk di sofa yang ada di ruang keluarga setelah menunaikan kewajibannya. Haikal yang baru selesai solat mendekati sang istri. Menggenggam tangannya.
"Maafkan aku, Sayang! Aku tak bisa lagi mengontrol emosi. Aku tak bermaksud menyakiti Adam atau pun Hawaa," ucap Haikal.
"Kenapa kamu sampai mengusir Hawaa. Jika benar apa yang dikatakan Gafi, pasti saat ini dia sebenarnya belum pulih lagi. Kasihan anak itu, kamu tau dia tak bisa berpikir terlalu banyak, bisa masuk rumah sakit lagi," ucap Syifa.
"Entahlah. Aku juga menyesal mengatakan semua itu. Semoga Hawaa masih mau kembali. Aku sangat kecewa setelah mengetahui kebenarannya. Jika benar mereka saling mencintai kenapa tak jujur dari awal. Kenapa harus mengorbankan satu hati," ujar Haikal.
"Sebesar apa pun rasa kecewamu, seharusnya tidak sampai mengusir Hawaa. Dia anak gadis, kemana harus pulang, jika tidak ke rumah orang tuanya," balas Syifa.
Abi Haikal terdiam mendengar ucapan sang istri. Dia menyesal atas semua ucapannya. Namun, untuk menarik ucapannya seketika itu juga seperti yang di minta Gafi, sebagai orang tua dia merasa gengsi.
"Kita makan ya. Nanti bisa bicarakan ini lagi. Aku minta waktu dulu. Aku pasti akan membawa Adam dan Hawaa kembali. Kita akan coba cari jalan keluarnya," ucap Abi Haikal.
"Aku tak lapar ...."
"Kamu harus tetap makan. Jika kamu sakit, bagaimana kita akan mencari Hawaa?" tanya Haikal dengan suara lembut. Berusaha membujuk istrinya.
Syifa dengan terpaksa akhirnya berdiri dan berjalan menuju meja makan. Setengah jam menunggu tak ada tampak Gafi keluar dari kamar. Akhirnya Haikal meminta bibi memanggil Gafi.
"Maaf, Pak. Den Gafi-nya tak mau makan. Katanya masih kenyang. Makannya nanti saja karena harus menyelesaikan tugas sekolah!" ucap Bibi setelah memanggil Gafi.
"Terima kasih, Bi," balas Syifa.
Haikal lalu berdiri dari duduknya. Hal itu membuat Syifa jadi bertanya.
"Mas mau kemana?" tanya Syifa.
"Aku mau panggil Gafi. Dia tak boleh bertindak sesuka hatinya. Ini rumah bukan hotel. Memiliki aturan!" ucap Haikal.
"Biarkan saja, Mas. Nanti kamu bisa emosi dan aku takutnya keluar kata atau tindakan yang akan melukai perasaan Gafi. Dia masih anak-anak. Nanti kalau lapar pasti akan makan juga," ujar Syifa.
Haikal lalu duduk kembali. Keduanya lalu menyantap hidangan yang tersedia. Tapi sepertinya tak ada selera. Sehingga hanya makan sedikit saja.
Di jalan menuju klinik, tiba-tiba Hawaa memegang kepalanya dan dia merintih. Hal itu membuat Adam jadi kuatir. Dia lalu menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi.
"Hawaa, kamu kenapa?" tanya Adam dengan penuh kuatir.
"Kepalaku ... Kepalaku sakit sekali. Aku mau mati saja, Dam!" ucap Hawaa sambil merintih menahan sakit.
"Kamu bicara apa, Hawaa. Kita ke rumah sakit saja. Kamu coba tahan ya," ucap Adam.
Baru saja Adam akan menjalankan mobilnya, terdengar Hawaa sedikit berteriak. Pria itu lalu mengurungkan niatnya yang akan melajukan mobil.
"Sakit, Dam. Sakit banget. Aku mau mati saja, Dam. Aku tak tahan!" ucap Hawaa.
Hawaa menarik jilbab yang menutup kepalanya hingga terlepas. Dia lalu menarik rambutnya dengan keras. Hal itu makin membuat Adam sangat kuatir.
"Hawaa, jangan sakiti dirimu. Jika memang itu sangat menyakitkan, cakar aja tubuhku untuk menahannya," ucap Adam. Dia memeluk tubuh kurus wanita itu.
"Adam, kenapa harus aku yang diberikan cobaan ini? Aku tak sanggup. Aku lelah. Kenapa mama lama sekali menjemputku. Aku lelah ...!" ucap Hawaa sebelum akhirnya jatuh pingsan.
"Hawaa ... bangun! Kamu tak boleh pergi. Aku janji akan membahagiakan kamu. Jangan tinggalkan aku. Bangun," ucap Adam sambil mengguncang pelan tubuh gadis itu secara pelan. Melihat tubuh tak bergerak, akhirnya Adam memutuskan untuk kembali menjalankan mobil menuju rumah sakit.
"Ya, Allah. Jika aku boleh meminta, jangan Kau beri cobaan lagi pada Hawaa-ku. Aku rela menanggung semuanya. Tolong sembuhkan semua penyakit yang dia rasakan," ucap Adam dalam hati sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi.
...----------------...