NovelToon NovelToon
THE CITY

THE CITY

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Identitas Tersembunyi / Epik Petualangan / Keluarga / Persahabatan / Angst
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Kekacauan dunia telah melanda beberapa ratus tahun yang lalu. 30 anak remaja dikumpulkan oleh pusat mereka dari lima kota yang sudah lama dibangun. Sesuatu harus segera dicari, untuk menemukan wilayah baru, nantinya bisa digunakan untuk generasi selanjutnya.

Bersama anak laki-laki muda bernama West Bromwich, dia melakukan misi tersebut. Bagaimana caranya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29

West dan Eme bergegas menjauhi area kantin, sebelum pengumuman dikumandangkan dan waktu latihan yang berlalu.

Dua anak remaja saling bersama, kecuali Erton Smith yang tak begitu menyukai kami.

Udara dingin menyambut West Bromwich selama menuruni anak-anak tangga hingga ke dasar.

Tidak lambat atau cepat, dikarenakan untuk sekarang West telah bersama Eme Sheren. Perempuan harus diutamakan, jika kau mengerti. 

Eme yang melihat sisi berlawanan dari West, membuat anak laki-laki itu berusaha mengaktifkan kembali gelang yang dipakai. "Hei, Alice. Kau ada disana?" Bisiknya mengarahkan bibir ke gelang itu. 

Tidak ada reaksi yang ditimbulkan oleh gelang, berkali-kali. Justru ketika Eme beralih melihat West, perempuan itu mengernyit kening. "Kamu... Bicara dengan siapa, West?" 

West menyampingkan kedua tangan ke belakang. "Ti-tidak... Aku tidak bicara siapa-siapa." Kepala anak itu sempat digerakkan kiri-kanan, kembali mengarahkan kepada Eme Sheren. "Kau mau bicara apa?" 

"Bagaimana rencana mu hari minggu besok, West?" 

"Hari minggu?" tanya West. "Besok ini?"

"Iya, West. Apa kamu sudah lupa kalau besok ini adalah hari minggu? Tidak ada latihan untuk hari minggu. Semoga saja mereka mengijinkan kita untuk pulang."

"Semoga saja ucapanmu benar-benar terjadi Eme," kata West. "Kau merindukan rumah?"

Eme mengangguk, wajahnya tersenyum pada anak laki-laki tadi. Seperti perilakunya dan suaranya yang lembut. West berpikir perempuan ini adalah gadis penurut, suka menolong, dan sedikit penasaran. Tapi mengapa dia tidak memiliki teman satu pun di gedung ini, dibandingkan perempuan-perempuan lainnya?

Eme terus melihat West yang melihat tangga-tangga di depan.

"Ada apa denganmu?" tanya West melihat aneh wajah perempuan tadi.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, West."

West tersontak untuk melihat Eme lagi. "Aku akan beristirahat di kamar. Semacam memulihkan tenaga."

West mengalihkan pandangan dari perempuan yang sedari tadi berbicara dengannya, kepada anak-anak tangga yang belum selesai mereka akhiri. Sampai sekarang, West belum mendengarkan ucapan lagi yang dikeluarkan dari mulut Eme Sheren. 

Anak-anak lainnya turut berdiri seakan mengawasi kami berdua, ketika dirinya telah sampai pada anak tangga terakhir dan lantai yang ditujui, yakni lantai satu. 

Canggung melirik kepada satu perempuan, West gunakan untuk melihat-lihat sekitar. Ber-iringan berjalan-jalan santai sembari menunggu pengumuman jam berlatih--seperti biasa dinyalakan dari alat pengeras suara.

"Tentang coklat tadi, terimakasih, West."

"Oh. Ya. Baiklah. Sama-sama." West mengangguk sekali, lantas mengalihkan melihat hal lain.

Ketika anak itu telah selesai berbincang dengan Eme, satu anak yang dikenali bagi West, telah sampai dan bergabung. "Aku datang." 

"Kau darimana saja?" West menyenggol pinggang anak berambut putih, sehingga membuat Erton merasa aneh.

"Kamar." Erton menyebut pendek. 

West sudah memastikan bahwa sahabatnya pasti akan berkata seperti itu. Anak yang tidak suka berbaur seperti dirinya dan suka mengurung diri di kamar, sangat membenci jika harus dipaksa mengobrol dengan anak-anak asing. Dia membencinya bahkan jika harus melakukan itu, dia akan selalu menghindar. 

"Bagaimana luka mu bisa hilang, West? Tidak mungkin dalam sehari langsung hilang tanpa jejak."

Eme yang mendengar pun, menahan tawa. Bibir seakan dimasukkan dan melirik ke arah lain. 

"Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Erton.

West mengambil alih percakapan diantara Erton dan Eme. "Kalau ku ceritakan padamu, kau tak akan pernah percaya, Er."

"Benar juga." Erton menyetujui pernyataan dari West Bromwich. 

Saat yang tepat, anak-anak lain telah berlari menuju area bulat. Tentu membuat kami bertiga keheranan karena larian mereka. Bersorak lantang, tertawa tak jelas sembari berlari, sisanya mengikuti diam, hanya suara-suara decitan sepatu boots yang dipakai. 

"Ayo pergi." West menyuruh Eme dan Erton untuk berlari mengikutinya. 

Satu arah mengarah ke area bulat, telah mengantri anak-anak yang berdiri memadati area ini. Berdiri pada lantai bulat besi seperti biasanya. Salah satu aktivitas rutin sebelum menuju ke ruang bawah tanah.

Saat ini, kami telah lengkap bertiga. Tidak seperti biasanya yang hanya berdua dengan Eme, atau berdiri sendiri. Setelah West sedikit pulih dari lukanya, sekarang kembali berlatih dengan lainnya. 

"Apa yang ingin kamu mainkan nantinya, West?" Eme bertanya ketika lantai bulat telah bergerak menurun. 

"Apa saja, Eme. Kau akan tau segera."

Erton melihat kepada kami, melalui sisi samping tubuhnya. "Kalau kalian ingin berdua, jangan disini. Ini bukan tempat pacaran."

"Kami tau, Er." 

Lantai berhasil berhenti. Berakhir mengeluarkan tiga puluh anak muda pada satu lorong panjang dengan lampu-lampu yang menempel diatas. Jalan kami begitu cepat untuk meringkas waktu. 

Sesampainya pada ruangan besar, kami semua telah berceceran untuk berlatih. Simpang siur dibuatnya mencari alat-alat yang pas. Sebagian telah terisi penuh dengan alat memanah, dan senjata laras panjang. Tersisa bagian peralatan kapak-kapak besar maupun kecil yang dipajangkan. 

"Aku akan pergi." Erton berpamit diri menuju arah lain. 

Kini tersisa West dan Eme.

West berjalan menghindari arah Erton, kepada salah satu tempat sepi yang jarang orang-orang sukai. Pada perlengkapan kapak-kapak hitam yang dipajangkan untuk menarik perhatian. Warna hitam polos pada kayu panjang sebagai pegangan. 

"Kamu yakin mau mengambil ini, West?"

"Kenapa tidak?" 

Eme terlihat membingungkan—jelas di wajahnya ketika kedua alis dipertemukan melengkung, bibirnya sengaja dikendurkan dan senyuman yang memudar.  

"Kalau kau tidak suka, kau bisa berlatih dengan alat-alat lainnya, Eme."

West membungkuk mencari pilihan dari keenam kapak yang dijejerkan, mengambil satu per satu, lalu mengayunkan sedikit untuk mengetesnya. 

Eme terdiam begitu anak laki-laki tadi seakan memutus harapannya. 

"Sampai nanti, West." Eme melihat punggung West Bromwich dan berbalik badan untuk meninggalkannya. 

West mengabaikan tentangnya, dikarenakan anak itu masih saja sibuk mencoba kapak-kapak. Ketika dia telah memastikan dua kapak dengan pilihan terbaiknya, perempuan tadi telah pergi tanpa jejak. 

"Kemana perempuan itu?"

West mencoba mencari keberadaan perempuan tadi. Pada matanya yang terpasang, West hanya melihat orang-orang yang berdiri berlatih.

Sampai puncaknya, West tetap tak menemukan. Alhasil, dirinya berjalan menuju satu ruangan terisolasi dari area-area lain. Tentu, pada bagian atas sebelum memasuki ruangan, terdapat papan bergambar kapak.

Di dalam ruangan, telah terisi setidaknya dua orang dari enam tempat yang telah disediakan. Bersamaan papan kotak berkayu di kejauhan sebagai target lemparan. Bukan papan target seperti papan panahan. 

Dua orang tadi telah memulai latihan secara bergantian. Pada tangan-tangan mereka, telah membawa masing-masing dua kapak.

West menyusul bergabung seperti dua anak remaja—berdiri agak menjauh, karena West tak mengenali siapa saja mereka.

West mengeratkan pegangan kayu sebelum anak itu melemparkan. Bersamaan embusan napas  yang dikeluarkan pendek melalui mulut kecilnya.

Bola matanya yang awalnya dibawah, sekarang berada tepat pada target yang jauh darinya.

Mulutnya dirapatkan diam. Kecuali matanya bergerak-gerak antara kapak dan target.

"Baiklah, ayo West." Embusan napas keluar pendek.

West mengayunkan satu kapak ukuran sedang. Anak itu melempar kapak dari jauh, dan mengenai bagian luar dari target yang disediakan. Sesuai pada getaran tangan yang menyambar sampai ke seluruh kapak yang dipegang sebelum dilepaskan. 

West mencoba mengulang lagi dengan kapak berukuran sedang, seperti kapak sebelumnya. Hanya saja, gerakannya agak berbeda. Tangan kiri diayunkan ke depan untuk mengetahui seberapa kemungkinan kapak itu sukses menancap ke tengah. Sedangkan tangan kanannya mulai mengangkat kapak.

Sampai akhirnya, kapak terakhir itu dileparkan. Kapak menancap pada bagian luar lingkaran namun masih pada satu papan kayu berjerami.

West mengelus wajah dan tangan-tangan yang berkeringat, dengan ujung baju hitamnya. Beralih arah menuju depan untuk mengambil lagi dua kapak tadi. Satu tangan berhasil menarik paksa.

"Sepertinya kamu belum selesai dengan latihan membidikmu, West." Satu suara mengetahui gerak-gerik West Bromwich.

West menoleh kepada sumber suara. "Micha?"

Micha datang percaya diri. "Kalau kamu tidak bisa melepaskan apapun yang telah terjadi tentang masa lalumu, maka kamu tidak bisa fokus untuk sekedar membidik dengan kapak itu, West." Micha membantu mengeluarkan kapak yang menancap, lalu diberikan ke tangan kanan anak laki-laki.

"Kau mau apa datang lagi?" West mengarahkan pandangan tajam kepada Micha. Satu robot perempuan milik pusat kota Valcon.

"Mengawasi anak-anak disini. Terutama kamu, West."

"Benarkah?"

"Benar, West. Saya datang untuk melihat potensi bakat-bakat disini. Apakah kamu ingin mengajukan komplain, West?"

"Tidak. Sebaliknya kau akhir-akhir ini selalu datang berkunjung kepadaku dibandingkan anak-anak yang lain. Kau mau apa sebenarnya, huh? Berbohong dengan menutupi sebagai mentor latihan?"

"Tidak, West."

"Lalu?" tanya West penasaran.

Micha melanjutkan. "Aku suka denganmu, West."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!