HIJRAH ITU CINTA

Ibunya Ghibran menatap ke arah Annisa, masih menunggu jawaban dari ponakannya itu. Wanita itu tampak gugup.

"Tidak ada, Bu. Pasti Annisa salah bicara," jawab Ghibran.

Ikhbar hanya bisa terdiam mendengar ucapan sang istri. Padahal sudah sering dia ingatkan pada Annisa, untuk jangan lagi mengungkit masa lalunya dengan Aisha. Bukankah dia telah menerimanya. Seharusnya ikhlas dan tidak lagi mengingat-ingat semua. Bukankah dia telah bertanya sebelum menikah, apakah sang istri mau menerima dia dengan semua masa lalunya, tapi tetap saja diungkit.

"Maaf, Tante. Aku bawa Aqila main dulu," ucap Ikhbar mengalihkan pembicaraan.

"Tidak ada yang pergi sebelum menjelaskan semua. Ibu sudah curiga sejak kehadiran Aisha, kamu, Ikhbar dan Annisa tampak kurang nyaman jika kalian berkumpul. Pasti ada yang disembunyikan. Sekarang kamu ceritakan semuanya Annisa. Kamu juga Ghibran. Jangan sampai ibu tahu dari orang lain. Jujur lebih baik walau itu menyakitkan," ucap Ibunya Ghibran.

"Hanya masa lalu biasa, Bu. Aisha pernah pacaran sebelum menikah denganku. Tidak ada salahnya. Yang terpenting dia telah berubah," jawab Ghibran.

"Yakin hanya masa lalu biasa? Annisa, kamu yang memulai, dan Tante minta jelaskan semuanya. Sebelum Tante cari tahu sendiri," ucap Ibunya Ghibran dengan sedikit emosi.

"Jangan paksa aku, Tante. Nanti Mas Ikhbar dan Kak Ghibran bisa marah. Lagi pula ini menyangkut rumah tanggaku. Aku tadi keceplosan. Maaf Mas, maaf Kak," ucap Annisa dengan terbata karena menahan tangis.

"Kamu tahu'kan, Annisa. Kita diminta menjaga aib kita dan orang lain. Dalam surah Al-Hujurat ayat 12 dijelaskan bahwa menggunjing satu sama lain sama halnya dengan memakan daging bangkai dari saudaranya sendiri. Membicarakan seseorang merupakan perbuatan tercela dan tidak terpuji. Barang siapa membuka aib saudaranya, niscaya Allah akan membuka aibnya dan siapa yang dibuka Allah akan aibnya, niscaya Allah akan menunjukkan aibnya, meskipun dirahasiakan di lubang kendaraan." (HR. Tirmidzi)," ucap Ikhbar dengan penuh penekanan.

"Maaf, aku tidak bermaksud membuka aib Aisha. Aku hanya ingin mengatakan jika dia beruntung mendapatkan Kak Ghibran. Selama ini aku tidak pernah mengatakan apa pun itu pada Tante," ucap Annisa mencoba membela diri.

Ghibran duduk kembali di samping sang ibu. Menatap tajam ke arah Annisa. Wanita itu menjadi sedikit gemetar. Mungkin sudah saatnya sang ibu mengetahui semuanya. Saatnya jujur.

Ghibran lalu mengatakan semua tentang masa lalu Ikhbar dan Aisha. Tampak sekali jika pria itu tidak nyaman. Annisa sang istri masih menangis terisak. Dia takut suaminya akan marah dan meninggalkan dirinya.

"Jadi ini masalahnya. Kenapa kamu tidak pernah cerita? Kamu tahu Ghibran, masa lalu Aisha itu berkaitan dengan iparmu. Seharusnya kamu berpikir jauh sebelum menikahi Aisha. Kita ini keluarga. Pantas saja Annisa tidak nyaman jika ada Aisha dan suaminya. Menikah itu seumur hidup, bukan sebentar. Apa kamu sudah pikirkan kedepannya?" tanya Ibu Ghibran.

"Bu, itu hanya masa lalu. Aku yakin Aisha tidak memiliki perasaan apa pun ada Ikhbar," jawab Ghibran.

"Bagaimana dengan Ikhbar, apa kamu tidak memiliki perasaan apa pun pada Aisha? Bagaimana bisa kamu melakukan dosa besar itu. Apa kamu tidak pernah ingat hari akhir?" tanya Ibunya Ghibran.

Ikhbar menarik napas dalam. Dia sebenarnya sudah tidak ingin mengatakan semua ini. Tapi istrinya selalu saja mengungkit.

"Maaf, Tante. Jika ditanya apakah aku masih memiliki rasa cinta pada Aisha, jujur masih. Karena hubungan kami berakhir tanpa kata pisah. Belum ada penyelesaian. Tapi hanya rasa cinta, bukan untuk memiliki. Aku tidak mungkin merusak rumah tangga saudara sendiri. Lagi pula, sebelum menikah, aku telah berterus terang dengan Annisa, dan dia menerimanya. Aku heran, kenapa sekarang dia jadi suka mengungkitnya lagi!" ucap Ikhbar dengan penuh penekanan.

"Jangan kamu salahkan Annisa. Itu hanya karena rasa cintanya padamu. Dia takut kehilangan kamu. Bukannya dia mengungkit, hanya ingin jujur. Jika dia tidak mengatakan, apakah kamu dan Ghibran akan jujur dengan Tante. Sebaiknya kamu biarkan saja Aisha pergi. Bukan kamu yang mengusir," ucap Ibunya Ghibran.

"Bu, Aisha itu sedang hamil anakku. Aku takut terjadi sesuatu dengannya," jawab Ghibran.

Ibu tampak menarik napas dalam sebelum bicara. Dipandanginya sang anak. Beruntung saat ini ayahnya Ghibran sedang tidak ada di rumah, sehingga ibunya bisa mengeluarkan pendapatnya. Ibunya Ghibran selalu bertentangan dengan suaminya dalam berpendapat.

"Istri yang keluar rumah tanpa izin suami itu haram dan berdosa besar. Salah satu alasan mengapa hukum istri meninggalkan suami haram karena istri yang pergi meninggalkan suami akan lebih memudahkan terjadinya perceraian. Maka dari itu sangat dilarang untuk seorang istri pergi meninggalkan rumahnya. Sedangkan perceraian adalah hal yang sangat diinginkan oleh setan," ucap Ibunya Ghibran.

"Apa yang dikatakan Annisa ada benarnya, seharusnya dia bisa legowo atas pekerjaan kamu, sedangkan kamu mau menerima semua masa lalunya yang kelam," ucap Ibu lagi.

Ghibran mengusap wajahnya kasar. Dia sangat mencintai Aisha. Tidak ingin berpisah lagi. Apa lagi mengingat ada anaknya di rahim sang istri. Mungkin ini saatnya dia harus jujur.

"Bu, Aisha itu pergi dari rumah karena salahku. Aku semalaman meninggalkan dia tanpa kabar. Dan ibu tahu aku kemana? Aku pergi ke tempat anakku," ucap Ghibran.

Ibunya Ghibran, Annisa dan Ikhbar terkejut mendengar ucapan Ghibran. Mereka saling pandang dan seolah bertanya, apa maksud dari ucapan pria itu.

...----------------...