Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebahagiaan di tengah duka
Terpaksa Titik merelakan Sri membawa sofa baru milik Tyas, biarlah nanti dia yang menjelaskan pada Tyas.
Sedangkan dengan Berta dia meminta ketua Rt. untuk menjadi penengah.
Sebab hutang dengan Berta bukanlah nominal yang kecil dan pasti membutuhkan tidak hanya sehari untuk mencari uang sebanyak itu.
Dia juga merasa geram pada menantunya yang seperti lepas tangan.
"Sampai hari ini total si Yanto menunggak empat hari ya Pak, plus bunganya jadi empat ratus delapan puluh ribu. Saya kasih waktu selama seminggu plus cicilannya, kalau lewat lagi maka terpaksa saya jual rumah ini, setuju pak Rt?" tanya Berta.
Meskipun dia seorang rentenir, tapi perjanjian antara dirinya dan Yanto sangat kuat, oleh sebab itu ketua Rt di tempat Titik tak bisa membantu banyak.
Setelah menemukan kesepakatan, Berta kembali berlalu meninggalkan kediaman Tyas.
Tyas masih berbaring lemas, Titik semakin khawatir dengan keadaan putri sulungnya ini. Akhirnya dia meminta tetangga untuk membawa Tyas ke klinik dekat rumah mereka.
Titik berboncengan tiga dengan tetangganya, dia harus menjaga tubuh Tyas yang sangat lemah.
Sesampainya di klinik Tyas segera di periksa karena memang tak ada pengunjung.
"Saya panggilkan Bidan ya Bu," tawar Dokter yang memeriksa Tyas.
"Bidan? Memangnya Tyas kenapa Dok?" tanya Titik heran.
"Menurut diagnosa saya, sepertinya Bu Tyas sedang mengandung, makanya lebih baik di periksa oleh Bidan ya," jelasnya.
Titik terperangah, di tengah kekacauan keluarganya tiba-tiba dia mendengar kabar putrinya hamil kembali.
"Ya Allah gusti Tyas! Kamu bilang ngga mau hamil lagi, duit dari mana kalau nanti kamu harus operasi lagi hah!" pekik Titik di ruangan Dokter.
Tyas yang lemas hanya bisa menangis, tak menyangka jika rasa kurang sehat pada tubuhnya sebab dia sedang hamil.
Titik menangis tergugu teringat dulu sang putri saat melahirkan Ziva memaksa melahirkan secara sesar karena takut melahirkan normal.
Bahkan Titik harus menjual rumahnya dengan sang suami demi menuruti keinginan Tyas.
Setelah melahirkan, Tyas berkata tak ingin lagi memiliki seorang anak, karena dulu dia juga sempat terkena baby blus.
"Sabar Bu, ini kan rezeki," ujar Dokter menenangkan.
"Tapi gimana nanti biaya lahirannya Dok, udah pasti sesar lagi, soalnya anak pertama juga sesar," jelas Titik tergugu.
"Bu, ini juga belum di tes hamil apa tidaknya ibu Tyas, kalau pun hamil, masih bisa kok melahirkan secara normal, karena kan jaraknya dengan anak pertama cukup jauh," ujar Dokter menenangkan.
Sayangnya tak ada yang merasa tenang, Tyas menyadari keteledorannya bisa berakibat fatal.
Dia memang tak memiliki uang untuk melakukan pencegahan kehamilan, seperti suntik kb tiap bulannya.
Sekarang tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima anaknya ini. Meski bayangan melahirkan nanti membuatnya takut lagi.
Titik tetap memilih untuk membebaskan Dita terlebih dahulu, nantilah dia pikirkan lagi caranya membayar hutang Yanto.
Dia masih berharap bisa memanfaatkan Dibyo dan berharap semoga suaminya itu juga bisa kembali memanfaatkan lelaki yang tengah dekat dengan Nina.
"Huh, mending tuh calonnya Nina sama si Dita aja, udah pasti masih gadis kinyis-kinyis," gumamnya.
Tyas mengurung diri di kamar setelah di pastikan tengah mengandung enam minggu.
Entah harus bahagia atau justru sedih mendengar kehamilan tak di rencanakan ini.
.
.
Dibyo kelaparan sebab lauk yang memang di sediakan untuknya justru di ambil semua oleh sang istri.
Dia tak bisa memasak, meski hanya sebungkus mie, geraknya sangat terbatas.
Terlebih lagi Nani meletakan makanan cepat saji pada lemari kabinet bagian atas di dapurnya.
Menunggu Rima pulang juga masih lama. Hendak meminta Wingsih membelikan dia lauk, tapi takut Nani curiga.
Akhirnya dia hanya bisa memakan makanan ringan yang tersedia di stoples.
.
.
Setelah memberikan uang pada Dibyo kemarin, Budi semakin gencar mendekati Nina.
Seperti siang ini saat keduanya sedang makan siang, Budi segera melamar Nina.
"Nin menikahlah denganku," ucapnya mantap sambil menyerahkan kotak beludru berisikan cincin di hadapan Nina.
Nina tentu saja terkejut, dia belum lama mengenal Budi dan sekarang Budi dengan berani melamarnya, meski terkesan mendadak.
"Mas Budi ..." lirihnya.
Nina tentu saja belum siap, di tambah pendekatan Budi dengan putrinya bisa di katakan tak ada kemajuan.
Nina tak mau memaksa Rima untuk mau menerima Budi, jika anaknya masih belum mau membuka hati pada orang lain, maka tentu dia tak bisa menerima lamaran orang begitu saja.
"Maaf mas, aku ..."
"Ayolah Nina, kita ini duda dan janda, ngga mungkin aku ajak kamu pacaran, aku serius dengan kamu," potong Budi.
Inilah salah satu sifat yang kurang di sukai Nina dari Budi. Sedikit demi sedikit sifat lelaki ini menampakkan sisi yang lainnya.
Sisi yang belum pernah Nina lihat sebelumnya, yaitu sifat semaunya sendiri dan pemaksa.
Meski begitu Nina tak mau menuntut terlalu banyak, dia tau tak ada orang yang sempurna, sikap seperti itu tak membuat Nina menutup mata pada sifat Budi yang lainnya.
Yaitu sifat perhatian dan selalu ringan tangan, mau membantunya.
"Kita belum terlalu dekat Mas, terlebih lagi aku belum mengenal keluargamu, apa mereka mau menerimaku dan Rima nantinya? Aku juga ngga bisa maksa Rima untuk mau segera menerima kamu," jelasnya lemah.
"Jadi karena Rima? Aku yakin anak kamu pasti senang dengan berita ini. Dia udah lama kehilangan sosok seorang ayah, aku yakin dia merindukan perhatian seorang ayah, aku akan mengisi kekosongan itu Nina," janji Budi.
"Gimana kalau aku ajak kamu sama Rima ke rumah sekarang? Kukenalkan sama bapak ibuku,?" ajaknya semangat.
"Ta-tapi mas, Rima sedang sibuk dengan tugas sekolahnya. Mas tau sendiri kan, dia sudah di kelas akhir, jadi banyak tugasnya," tolak Nina berharap Budi mau mengerti.
"Sebentar aja Nin, aku ngga sabar ingin mengenalkan kamu sama bapak dan ibuku," paksanya.
Nina hanya bisa mendesah, lagi-lagi Budi selalu melakukan semaunya sendiri tanpa mau mendengarkan pendapatnya.
Sore harinya, Nina pulang dalam keadaan lesu. Dia menilai jika Rima seperti kurang menyukai Budi, di lihat dari sikap Rima yang lebih memilih tak banyak berbicara dengan Budi.
Hal pertama yang dilihat Nina saat pulang adalah putrinya yang sibuk berkutat dengan buku di ruang keluarga.
Putri tunggalnya itu tak terpengaruh dengan suara televisi yang di tonton kakeknya.
"Rim," panggil Nina lembut seraya duduk di sofa.
Rima sendiri duduk di bawah dan menengadah menatap sang ibu.
"Iya Bu? Sebentar ya Rima ambilkan minum," sergah Rima lantas bangkit menuju dapur untuk mengambil minuman sang ibu.
Seperti itulah Rima biasa menyambut Nina yang telah lelah bekerja demi menghidupinya.
"Kamu ngga bawa makanan Nin?" ujar Dibyo.
Padahal baru saja dia makan dua bungkus mie goreng buatan Rima, tapi tak lama perutnya kembali keroncongan.
Nina mengernyitkan dahi, dua hari belakangan ini kenapa bapak dan putrinya seperti selalu kekurangan makanan.
"Nina udah buatkan bapak dua ayam goreng apa masih kurang?" jawab Nina.
"Bapak kan udah minta kamu masak yang banyak, akhir-akhir ini bapak sering kelaparan," dusta Dibyo.
Nina hanya mengangguk menjawab permintaan sang ayah, dia lalu kembali menatap Rima.
"Ibu minta maaf kalau ibu akan mengganggu waktu belajar kamu lagi sayang," ujar Nina perlahan.
Keduanya duduk di sofa, Rima juga penasaran dengan permintaan ibunya kali ini.
"Memang ada apa Bu?"
"Ibu mau ajak kamu ke rumah om Budi, mau kan? Kali ini aja, ibu janji besok ibu ngga akan ganggu kamu lagi," pinta Nina penuh harap.
.
.
.
Tbc