FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Sebuah kecelakaan menewaskan seluruh keluarga Arin. Dia hidup sebatang kara dengan harta berlimpah peninggalan orangtuanya. Tapi meski begitu dia hidup dalam kesepian. Beruntungnya ada keluarga sekretaris ayahnya yang selalu ada untuknya.
"Nikahi Aku, Kak!"
"Ambillah semua milikku, lalu nikahi aku! Aku ingin jadi istrimu bukan adikmu."
Bagaimana cara Arin mendapatkan hati Nathan, laki-laki yang tidak menyukai Arin karena menganggap gadis itu merepotkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Nathan heran pada Arin, sejak tadi dia kembali dari pertemuan gadis itu jadi diam saja. Ditanya juga hanya menjawab dengan satu kata iya, tidak atau hemm saja. Apa yang terjadi pada Arin saat dia tidak ada.
"Apa kau mau jalan-jalan sebelum kita pulang?" tanya Nathan.
Arin menggeleng, dia sedang tidak mood untuk melakukan apapun. Ingin segera pulang ke rumah saja.
"Kau kenapa? Sedang marah? Apa aku sudah berbuat salah?" tanya Nathan lagi.
"Tidak, aku mengantuk," jawab Arin kembali memalingkan wajahnya.
"Kau tidak ingin bercerita? Atau mau aku cari tau sendiri?" h
"Tidak ada apapun yang perlu dicari tau, aku hanya sedang memikirkan rumah kakek. Sudah lama aku tidak kesana." Rindu yang paling menyiksa adalah rindu pada orang yang sudah tidak ada di dunia ini. Hanya bisa mendoakan sebisanya. Menjadi anak yang baik agar membuat mereka bangga.
"Kenapa tidak bilang dari tadi, kita bisa kesana sekarang kalau kau mau," saran Nathan.
"Tidak kak, kakak pasti lelah dengan kerjaan, belum lagi mengantar dan menjemputku kuliah." Menginjakkan kaki di rumah itu juga membuat Arin sedih kalau ingat bagaimana kebersamaannya dulu dengan keluarganya. Sangat hangat dan damai. Dimana Arin mendapatkan banyak cinta dari mereka. Ada adiknya juga yang masih bayi. Kalau diingat membuat Arin sedih. "Padahal mereka semua orang baik, tapi kenapa harus pergi secepat itu. Kenapa aku tidak ikut hari itu, seharusnya aku ikut agar bisa berkumpul bersama mereka." Arin memejamkan matanya, kalau tidak pasti sudah menangis sejak tadi.
Nathan tidak bisa berkata apa-apa, dia tidak tau bagaimana rasanya ditinggalkan seluruh keluarganya. Tapi merasakan bagaimana Arin sedih dan putus asa seperti itu membuatnya Nathan ikut sedih. "Doakan saja yang terbaik untuk mereka, kau masih hidup pasti karena ada sebabnya. Ada peninggalan yang harus dikelola misalnya. Perusahaan tempat bergantung banyak orang itu butuh kamu. Kalau kamu tidak ada bagaimana dengan perusahaan dan karyawannya. Mungkin saat ini mereka sudah menganggur karena perusahaan yang ditinggal mati pemiliknya itu pasti tidak akan bertahan lama."
"Ada uncle Mike yang mengurusnya, kalau ditangankulah yang mungkin bisa bangkrut."
"Tidak Arin, daddy bisa memimpin perusahaan karena ada surat kuasa darimu itupun tidak selamanya. Saat umurmu dua puluh lima tahun kau sudah harus belajar mengurus perusahaan itu."
Arin menghela nafas. Dia merasa tidak sanggup mengurus hal seperti itu. "Kakak saja yang urus, kan aku sudah bilang tidak mau," kata Arin.
"Tidak segampang itu Arin, para anggota direksi tidak mungkin membiarkan orang asing untuk memimpin perusahaan," tutur Nathan.
"Kakak bukan orang lain, kita keluarga kan." Arin gigih.
"Bagi orang lain kita ini hanya orang lain, tidak ada hubungan apapun diantara kita. Kau mengerti?" jelas Nathan.
"Kalau begitu nikahi aku saja, Kak."
Keduanya diam, apa yang Arin katakan itu serius. Bukan karena emosi atau apa. Menurutnya menikah dengan Nathan adalah solusi. Dia bisa terbebas dari perusahaan itu.
"Menikah bukan berarti semua masalah selesai Arin. Kakak juga tidak ingin menjadi bahan pembicaraan, menikahimu karena mau perusahaan itu. Kau harus mencobanya, cobalah seperti ayahmu. Kau pasti menuruni bakatnya, coba dulu."
"Apa kalau aku memimpin perusahaan itu berarti kak Nathan tidak akan menikah denganku?" tanya Arin sedikit kecewa. Lebih baik tidak punya perusahaan itu kalau boleh memilih asal Nathan menikahinya.
"Kau masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan, apa kau tidak memikirkan para karyawan yang bergantung pada perusahaan ayahmu. Mereka butuh kamu, Arin. Berusaha menjadi pemimpin yang tangguh untuk mereka."
"Sebaiknya, setelah lulus S1 ini kau belajarlah ke luar negeri agar para anggota direksi tidak meremehkanmu."
Arin tidak suka mendengarnya. Dia merasa Nathan sedang mengusirnya. Mungkin memang dia sangat merepotkan sampai pria itu mengusirnya. "Aku tidak mau jauh dari kakak, apa Kakak tega membiarkan ku tinggal sendirian di luar negeri." Arin sedih dan murung wajahnya.
"Itu demi kebaikanmu, kau akan mengerti kelak. Aku akan sering berkunjung."
Nathan sudah memikirkannya dan juga sudah membicarakan hal itu dengan Daddynya. Bisa saja mereka menikah tapi tetap saja Arin harus mengambil alih perusahaan. Nathan dan Mike bisa membantu dari belakang tapi tetap Arin sendiri harus punya pondasi. Belum lagi menghadapi orang-orang yang mungkin tidak ingin Arin hidup.
"Apa aku terlalu merepotkan sampai kakak mengusirku ke luar negeri? Atau kakak menyukai seseorang agar aku tidak menggangu hubungan kakak. Tidak apa kalau kakak menyukai orang lain, aku tidak mengapa asal bisa di dekat kakak setiap saat." Arin menangis, rasanya sangat sedih diusir orang yang ia anggap keluarga sendiri.
"Pikirkanlah, masih banyak waktu sebelum itu tiba." Gadis itu pasti butuh waktu untuk memikirkan hal besar itu. Nathan juga harus mempersiapkan segala termasuk mencari pengawal yang terlatih yang bisa menjaga Arin tapi tidak membuat risih gadis itu. Cukup mengawasi dari jauh tapi selalu siaga.
Mobil yang mereka tumpangi sampai di rumah. Arin langsung turun tanpa bicara sepatah katapun. Masih kesal sepertinya.
"Kau akan mengerti nanti, Arin."
Didalam rumah ternyata ada Oma Wina datang. Beliau adalah ibunya Febby yang tinggal dengan suaminya, baru pulang dari luar negeri. Dan banyak membawa oleh-oleh untuk cucunya.
"Assalamu'alaikum." Arin masuk lebih dulu.
"Wa'alaikumsalam,"
"Sayang kau sudah pulang, sini Salim dulu sama Oma." Febby menyuruh Arin untuk menyalami ibunya.
"Oma, apa kabar?" tanya Arin.
"Baik," jawab Oma singkat.
Tak lama Nathan juga masuk. Wina langsung berdiri dan menyambut cucunya tercinta. "Nathan, cucu Oma."
"Oma ...," pekik Nathan yang terkejut sekaligus senang melihat Omanya.
"Sayang kau sudah sangat tinggi sekarang, dan sangat tampan. Apa kabar cucu Oma?" Memeluk Nathan erat. Meninggalkan Arin begitu saja.
Gadis itu mengerti, tidak tau kenapa setiap mereka bertemu sikap Wina selalu seperti itu. Apa mungkin karena dia tinggal disini dan jadi beban.
"Jangan marah pada Oma ya sayang. Maafkan sikap Oma," lirih Febby merasa bersalah karena perbuatan ibunya yang tidak bisa melupakan masa lalu. Padahal orang tua Arin sudah tidak ada, tidak bisakah Wina bersimpati sedikit pada gadis malang itu.
"Tidak apa aunty, Arin mengerti. Aku ke kamar dulu, mau sholat ashar." Lebih baik pergi saja, jangan mengganggu acara reuni keluarga.
"Istirahatlah nak, kau pasti lelah," Ujar Febby.
"Makasih aunty." Arin pergi ke kamarnya.
"Aku baik-baik saja Oma. Kenapa oma semakin terlihat muda sekarang, apa jangan-jangan Oma operasi plastik di luar negeri?" tanya Nathan bercanda.
"Mana mungkin Oma melakukan hal itu, ini karena kulit Oma yang memang terawat, kencang dan awet muda. Tidak seperti Mommy mu." Mereka tertawa bersama.
Sampai Nathan tidak melihat gadis itu lagi.
"Kau mencari Arin, dia ke kamarnya," ujar Febby pada putranya. Lalu dia menatap ibunya yang tadi katanya berjanji akan bersikap lebih baik pada Arin. "Mamah kan sudah berjanji tadi, kenapa masih bersikap seperti itu pada Arin," protes Febby pada mamahnya.
"Ohh, maaf. Ini karena umur jadi mamah lupa. Sepertinya mamah sudah mulai pikun," pura-pura lupa, memegangi kepalanya dan duduk di sofa.