Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai tergantikan
Kata-kata itu terngiang kembali saat dia benar-benar mengakui bahwa telah terpaut oleh pesona seorang pria matang yang begitu mempesona—Aska Kendrick Rusady.
Bayangan ciuman pria tersebut masih menimbulkan sensasi yang luar biasa, menerawang kejadian tersebut membuatnya mendambakan pria itu dengan hasrat yang begitu mengejutkan. Dia akhirnya harus menyerah, terombang-ambing pada setiap hari yang menyiksa.
Dan sekarang dia benar-benar harus mengakui, bahwa mulai hari ini dia resmi menjalin hubungan terlarang dengan tetangga sekaligus bosnya.
Bahkan beberapa menit yang lalu pria tersebut baru saja menghubunginya dan mengatakan kalimat kerinduan yang entah mengapa membuatnya tersenyum geli.
Oh, ayolah. Mereka sudah dewasa, sudah di usia yang matang untuk mengatakan kalimat rayuan muda-mudi yang terdengar manis.
Kepalanya menggeleng pelan. “Ada-ada saja, ucapnya tak habis pikir.
Setiap hari mereka bertemu di kantor dan menghabiskan waktu berdua di dalam ruangan pria tersebut. Awalnya Kirana masih memiliki sikap canggung dan malu, tetapi lama-lama dia mulai terbiasa. Dan hubungannya dengan pria tersebut cukup mampu menghilangkan kesakitan yang ditorehkan sang suami.
Beberapa waktu ini Zidan tak pernah lagi datang ke rumah, setiap akhir pekan Wina selalu mengantar Rina dan Lina menemui sang ayah. Dia tak mau egois dengan memutuskan hubungan ayah dan anak tersebut.
Sikap keluarga Zidan juga membaik setelah ditegur oleh pria tersebut. Saat dia bertanya pada keduanya, mereka kompak menjawab, “Nenek dan tante sekarang baik. Nggak marah-marah lagi. Tapi tante Luna sering nyuruh ini itu, aku sama adek nggak mau.”
Dan Zidan, pria tersebut tetap menjadi pria egois yang maunya menang sendiri.
Jumat malam Kirana mengemas beberapa pakaian yang akan dibawa ke Singapura. Dia harus ikut sang bos ke sana karena ini menyangkut pekerjaan.
Saat masih berkemas, Rina datang dan menatapnya.
“Ada apa, Nak?”
“Mama enggak bakal tinggalin kami, kan?”
Kirana tertawa dan mengacak rambut putri sulungnya. “Mana mungkin tinggalin kalian. Mama ada pekerjaan empat hari di luar kota, adek sama kakak mau di rumah sini atau di rumah papa?”
“Rumah papa boleh nggak?”
“Boleh, besok sore mama yang antar ke rumah nenek.”
“Makasih, Mama.”
Sabtu sore yang ditunggu tiba. Pukul empat sore, Kirana membawa kedua anaknya ke rumah mertua. Tak lupa tas pakaian juga disiapkan karena mereka akan menginap di sini.
Saat mobilnya baru saja parkir, terlihat istri muda Zidan baru tiba dengan membawa beberapa kantong belanja. Melihat kehadirannya wanita berperut besar tersebut menatapnya tak suka, sorot matanya terlihat mengejek, tetapi karena urusannya bukan dengan wanita itu dia langsung masuk ke rumah dan mendapati Zidan duduk di ruang tamu.
Pria tersebut terkejut melihatnya. “Ada apa kamu ke sini?”
“Mau nitip jaga anak-anak. Aku ada pekerjaan keluar kota empat hari. Paling lambat hari Rabu udah pulang,” ucap Kirana tanpa basa-basi.
“Siapa yang kasih izin kamu buat ninggalin anak-anak?” tanya Zidan seolah berkata bahwa dia tak boleh pergi.
“Sebelum ini aku udah tanya anak-anak dan mereka nggak keberatan. Justru mereka minta di sini,” sahut Kirana.
“Tapi aku nggak kasih izin. Enak aja kamu tinggalin anak-anak emang kamu pikir aku babysitter?”
“Aku nggak perlu izin darimu, kamu nikah aja tanpa persetujuanku kok. Lah kamu bapaknya, lagipula ini kan rumah neneknya, jadi wajar dong aku bawa mereka ke sini.”
“Kamu—”
“Yang bukan anak, bukan pula cucu aja boleh tinggal, masa anak cucu sendiri nggak mau terima. Bukannya itu terlihat keterlaluan dan pilih kasih, ya?” potong Kirana dengan cepat.
“Ada apa ini ribut-ribut?!” Ajeng terlihat datang menghampiri ke ruang tamu. Dari sorot matanya, wanita paruh baya tersebut terlihat tak suka dengan kehadiran menantunya. “Eh ngapain kamu di sini, tumben amat.”
Kirana tersenyum lebar, menunjukkan gigi putih yang tersusun rapi.
“Aku mau nitip Rina sama Lina. Aku ada pekerjaan ke luar kota beberapa hari.”
“Cih! Sok sibuk banget,” sahut Ajeng meremehkan.
“Ya emang sibuk, Bu. Lagipula aku kesini nggak niat bertengkar, cuma mau ngomong itu aja.”
“Dasar istri durhaka, gak nurut apa kata suami. Kamu banting tulang kayak gitu biar apa, biar dipuji mandiri gitu kan. Trik murahan,” celetuk Luna yang sedari tadi hanya diam. “Suami kita itu duitnya banyak, nggak perlu kamu kerja tetep bisa menghidupi kita semua.”
Kirana menoleh, menatap datar wanita hamil tersebut. “Uang banyak karena ada usaha dan mereka nggak dateng gitu aja. Ada perjuangan, pengorbanan, bahkan peluh keringat yang banjir untuk bisa sampai di titik ini. Kamu cuma tinggal menikmati, makanya kalau ngomong sesukamu. Lagipula kamu harus tahu, omset dari bisnis sebagian adalah milikku dan anak-anak. Kamu hanya numpang, jadi tolong sadar diri dan posisi,” sahutnya tak kalah sinis.
Terlihat kedua tangan Luna mengepal, dia sedikit tersinggung dengan ucapan yang dilontarkan istri pertama suaminya.
“Kalau kamu mau dianggap nggak cuma mau harta aja, mulai semua dari nol. Jangan mau enaknya aja, temanin dia usaha. Bahkan sehari nggak makan karena nggak punya uang udah kujalani. Hidup masih numpang aja sombong banget,” lanjut Kirana semakin membuat hati Zidan terenyuh. “Bahkan dulu cacian yang kudapat lebih dari ini.”
“Banyak ngomong banget kamu, udah pergi sana.” Ajeng yang jengah dan tersudutkan mulai mengusirnya.
“Dengan senang hati, Bu. Aku cuma mau ngomong, jaga anak-anak dengan baik. Sampai pulang kulihat ada satu goresan di tubuh mereka, kalian bakal tahu akibatnya!” ancam Kirana dingin. Dia tahu setelah kedatangannya mungkin ibu mertua dan madunya akan melampiaskan kemarahan pada Rina dan Lina, oleh sebab itu dia harus memberikan ancaman lebih dulu.
Sebelum benar-benar pergi, Kirana kembali menoleh dan tersenyum sinis. “Suami itu cuma titipan, kalau nggak diambil Tuhan ya diambil pelakor. Dia aja bisa ninggalin aku hanya karena masalah sepele, jadi awas kalau dia bakal kepincut wanita lain. Wajah cantik, tubuh aduhai nggak menjamin dia bakal setia, karena tetap akan ada yang lebih muda darimu.”
To Be Continue ....