NovelToon NovelToon
Bunian Cinta Yang Hilang

Bunian Cinta Yang Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Mata Batin
Popularitas:251
Nilai: 5
Nama Author: Ddie

Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."

Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia Semakin Dekat

Malam turun di Koto Tuo perlahan, seperti kabut yang tidak hanya jatuh dari langit—tapi juga merayap dari tanah. Rumah kayu keluarga Raga terasa semakin tua, semakin berat, semakin penuh bisikan yang tidak terlihat.

Angku duduk sendirian di ruang tengah, menyalakan tungku kecil. Asap tipis mengepul, bercampur bau akar-akaran yang kental. Suasana kampung sunyi—terlalu sunyi untuk ukuran Koto Tuo. Biasanya di malam begini, suara jangkrik atau ranting yang patah terdengar dari halaman. Kini tidak.

Hanya satu suara yang terkesan: Tok… tok… tok… — ketukan tongkat kayu Angku di lantai, ritmis, seakan tahu cara menakar perubahan udara—mengetes apakah orang orang bernapas di sekitarnya manusia.

Raga tidur di kamar belakang. Ayahnya duduk di beranda, menatap jalan kecil menuju hutan. Ibu Raga berzikir pelan di kamar. Semua tenang… tapi tidak aman.

Angku merapatkan sorban lusuh di bahunya. Matanya menatap gelas air putih di meja—air itu berkedut, bergetar tanpa angin. Pertanda pertama.

“Sudah dekat…” bisiknya.

Ia bangkit perlahan, memejamkan mata, mencoba mendengar lebih dalam. Usianya tua, tapi panca indra batinnya jauh lebih hidup dari orang muda. Dan ia mendengar: langkah, ringan sekali, tidak menyentuh tanah—seperti kabut sedang belajar berjalan dari arah batas kampung.

Angku membuka mata, memegang tongkat erat. “Bukan dari sini,” gumamnya. “Bukan dari dunia kita.”

Ayah Raga muncul dari beranda, wajah tegang. “Angku, ambo melihat bayangan lewat dekat batu batas,” ucapnya pelan. “Tapi… ndak berpijak.”

Laki laki tua itu memalingkan wajah ke arah jalan setapak menuju kebun gelap pekat. “Bukan makhluk sini,” desisnya. “Ini langkah orang… tapi bukan kaki manusia.”

Ayah menekur, pikiran nya penuh oleh pertanyaan, udara membeku, angin pun berhenti bertiup, daun talas di samping rumah enggan berkomentar.

Ibu Raga keluar tergesa, wajah pucat. “ Nur mendengar orang memanggil dari arah belakang dapur.”

“Siapa?”

“Tidak tahu,” bisiknya gemetar. “Tapi suaranya… seperti suara perempuan muda… memanggil nama Raga…”

Angku menghentakkan tongkat sekali, Dug. Air didalam gelas kembali bergetar.

“Dia mencari jalur masuk,” katanya serius. “Ritual kemarin memutus ikatannya. Tapi bukan menghilangkan kehadirannya. Ia tersesat di tengah dua dunia.”

Ayah menelan ludahnya yang tersesat di kerongkongan, “Arumi?”

Angku tidak menjawab. Matanya terus mengawasi batas kegelapan. Tiba-tiba, suara langkah terdengar lagi—lebih jelas, lebih berat, bukan melayang seolah seseorang berjalan tanpa tahu ia sedang masuk ke wilayah yang bukan miliknya.

“Ayah Raga menegang. “Orang kampung lain, kah?”

“Tidak,” jawab Angku lirih. “Ini bukan orang kampung.”

Langkah itu berhenti. Senyap. Lalu… Tok! Sesuatu jatuh di teras.

Ayah, pria berkopiah hitam itu mengambil lampu cempor, maju perlahan. Angku mengangkat tangan menahan, tapi terlambat. Saat lampu diarahkan ke tanah teras, mereka melihat, setangkai bunga melati, segar, baru, masih basah seperti habis dipetik.

Ibu Raga menutup mulut, tubuhnya gemetar. Melati itu… wangi. Terlalu wangi untuk malam ini.“Kalau bukan Arumi… siapa lagi?”

Angku menggeleng, wajahnya lebih gelap dari bayangan. “Bukan Arumi.”

“Lalu siapa?”

Angku menghela napas panjang—napas orang tua terlalu sering berhadapan dengan hal yang tidak mau dibicarakan. “Kita sudah memutus satu ikatan,” katanya perlahan. “Tapi ada satu jiwa lain yang kini tertarik.”

“Maksudnya… ada orang luar?”tanya ayah rintih

Ia menatap melati di teras tidak seharusnya berada di sana—lalu beralih ke arah barat, kota indah gemerlapan ratusan kilo nun jauh disana.

“Seseorang sedang mencari jalannya kemari,” ucapnya lirih. “Kota di seberang sana… seorang perempuan memanggil nama kampung ini tanpa mengerti sebabnya. Dan koto tuo sudah mulai menjawab.”

Ia mengepal tongkat. “Dia akan datang kemari, Dan… misteri ini tidak bisa lagi ditutup .”

Gonggongan anjing terdengar panjang, menyayat hati seolah menjawab kalimat angku

Ayah Raga merinding, tubuhnya menggigil “Siapa perempuan itu, Angku?”

Ia memejamkan mata sejenak, lalu berkata, “Yang menjemput bukan hanya Arumi, yang datang orang asing tidak mengerti mengapa ia dipanggil.Dan ketika ia menyentuh batas kampung ini… semua yang sudah terputus akan terhubung kembali.”

\=\=

Angin malam Koto Tuo bergerak aneh. Bukan dingin gunung yang biasa, bukan hawa lembab dari sawah yang sedang bernafas. Ada rasa seperti… listrik halus mengalir di antara batang-batang bambu.

Angku duduk di beranda rumah papan tua itu, tongkatnya bersandar di lutut, matanya menatap gelap Bukit Tambun Tulang—tempat yang tidak pernah benar-benar diam. Di belakangnya, lampu minyak menyala temaram. Ayah Raga mondar-mandir gelisah.

“Datuak… kenapa tadi mendadak meminta ambo mematikan radio? Baru hidup dua menit lalu.”

Angku tidak menjawab menarik napas panjang, dada renta itu naik turun berat. “Orang asing itu… semakin dekat,” gumamnya.

Ayah tercekat menelan ludah. “Siapa? Aru—”

“Sst!” Angku mengetuk lantai dengan tongkat. Tok! “Jangan sebut namanya sembarangan. Dia sudah terpaku di batasnya. Kita yang memutus.”

Pria berkopiah lusuh itu mengangguk pelan, tapi raut wajahnya tegang. “Kalau begitu… siapa yang Angku maksud?”

Angku membuang pandangannya ke pepohonan hitam pekat. Bulan tertutup mendung tipis, dan gemerisik di hutan seakan menahan napas. “Gelombang itu datang dari jauh,” katanya pelan. “Bukan dari dia, bukan dari makhluk yang menuntut Raga.”

Kemudian ia memejam mata. Keningnya mengerut dalam. “Seseorang… sedang mencari anak itu.”

Ayah merasakan bulu kuduknya berdiri “Nadira?”

Laki laki tua itu membuka mata, tatapannya tajam, menusuk—bukan tatapan pengasih biasa." Sutan kenal dia?” tanyanya datar.

“Temannya Raga di Jakarta… sama satu kantor. Raga pernah menceritakan dulu, tapi mana mungkin dia berhubungan dengan—”

“Bukan masalah siapa dia,” potong Angku cepat. “Masalahnya… dia melihat tempat ini.”

Ayah Raga mundur setengah langkah. “Melihat? Tapi dia tidak pernah datang…”

“Tapi pikirannya sudah sampai duluan,” bisik Angku.

Angin bertiup pelan, membawa aroma yang tidak seharusnya ada—bau melati putih yang menusuk halus

Sutan Ismail mengusap wajahnya yang berkerut “Angku… bukankah doa pemutus sudah selesai? Bukankah garis itu sudah ditutup?”

Angku mengetuk tongkatnya lagi, kali ini lebih keras. TOK! “Pemutus hanya memutus ikatan Raga dengan makhluk turunan darahnya. Bukan menutup seluruh jalur spiritual leluhur.”

Kemudian ia menatap pekat ke arah jalan tanah kecil yang menuju kampung. “Perempuan itu… dia membuka jalur lain.”

“Jadi, Nadira membangunkan—”

“Tidak membangunkan,” Angku menggeleng perlahan. “Dia menyambungkan sesuatu yang sedang mencari jawaban.”

Hening sesaat. Suara burung hantu memecah malam.

“Kalau begitu… apa yang akan terjadi kalau dia benar-benar datang ke sini?”

Angku tidak menjawab cepat mengembuskan napas panjang, seolah mengusir bayangan masa lalu. “Jika dia menginjakkan kaki di Koto Tuo…” Ia menatap ke arah sawah, matanya menerawang jauh. “Batas yang kita tutup akan terbuka kembali. Tapi bukan untuk Arumi.”

“Bukan Arumi? Lalu siapa?”

Angku menatapnya dengan mata tua mengerti terlalu banyak. “Kalian pikir Arumi satu-satunya yang mengikuti keluarga ini ?”

Angin mengayun daun bambu, gemerisik bisikan panjang. “Seseorang lain… yang lebih tua, lebih dalam… sudah menunggu sejak zaman Tuanku Haji Rusdi.”

“T-tunggu… berarti Nadira—”

“—akan menariknya.” Angku berdiri, perlahan tapi tegas. “Tapi belum terlambat. Kita harus bersiap sebelum perempuan itu tiba.”

Ayah menatap jalan gelap di luar beranda.

Dan saat itu juga…Dari kejauhan terdengar suara — pelan, sangat pelan — langkah kaki perempuan diatas tanah, padahal tidak ada seorang pun yang terlihat.

Tap… tap… tap…

Angku menutup mata. “Gelombangnya sudah sampai…” “Dia semakin dekat.”

 

1
ayi🐣
semangat thor ayo lanjut/Awkward//Scream/
Ddie
Dapat kah cinta menyatu dalam wujud dimensi Roh ? Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Novel ini mencoba mengangkat dimensi ' Bunian' jiwa yang tersimpan dalam batas nalar, '
Rakka
Hebat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!