Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 UNIVERSE ARUNIKA-Mereka Yang Tak Pernah Diminta Untuk Datang
POV RAKA
Sejak suara itu menyebut kami “penjaga pintu”, suasana di apartemen berubah.
Ini bukan rasa diawasi.
Ini rasa ditunggu.
Seolah ada sesuatu… atau banyak sesuatu… sabar menunggu kami melakukan kesalahan pertama.
Hari pertama setelah itu kami tidur bergantian.
Hari kedua — kami bertiga terjaga sampai mata merah.
Hari ketiga…
Gelang biru tiba–tiba berdengung sendiri di lantai — seperti tubuh yang punya jantung.
Ukirannya bergerak lagi.
Bukan huruf.
Bukan kalimat.
Koordinat.
Lintang Barat: 108.17
Bujur Selatan: –7.18
Ketinggian: 2.437
Gunung Arunika.
Tapi bukan di jalur pendakian.
Titik di sisi timur — zona yang bahkan pemandu lokal tidak izinkan untuk dimasuki.
Sari langsung meneguk ludah.
“Kalau kita ke sana… kita bener–bener masuk ke wilayah yang nggak ada manusia pulang.”
Aku mengangguk.
“Kalau kita nggak ke sana… pendaki yang datang nanti nggak punya kesempatan.”
Kayla memegang kepalanya, suara pecah: “Kenapa orang yang nyaris mati justru yang harus nyelametin orang lain? Kita baru sembuh!”
Aku ingin bilang “kita boleh menghindar”… tapi aku tidak bisa berbohong pada mereka.
“Arunika nggak milih korban karena orang kuat.
Arunika milih karena orang rapuh mudah mengorbankan dirinya.
Kalau kita nggak mau siklus itu berulang, kita harus berhenti jadi orang rapuh.”
Kalimat itu mengguncang seluruh ruangan.
Kayla akhirnya bangkit berdiri perlahan. “Kalau kita pergi ke sana… kita nggak boleh bawa rasa bersalah.
Karena rasa bersalah itu pintu.”
Sari menatap kami satu per satu.
“Dan kita nggak boleh ‘menyelamatkan’ orang karena kita mau jadi pahlawan…
Tapi karena kita nggak mau dunia kehilangan orang tanpa alasan.”
Kami saling menatap — bukan untuk memastikan siapa yang berani… tetapi memastikan tidak ada yang mengorbankan diri demi yang lain.
Untuk pertama kalinya, perjalanan ini tidak punya tumbal.
Kami siap berangkat.
MALAM SEBELUM KEPERGIANNYA
Kami sepakat tidur dua jam agar tubuh tidak roboh saat naik gunung.
Aku tidak bisa tidur.
Aku duduk di lantai dekat kasur, menatap jendela.
Tirai merespons angin malam — pelan.
Dan refleksi kaca memperlihatkan aku… dan seseorang berdiri tepat di belakangku.
Tinggi.
Kurus.
Kepala menunduk.
Aku tidak menoleh.
“Apa kau ingin aku gagal?” tanyaku pelan.
Tidak ada jawaban.
Akupun bertanya lagi:
“Kalau aku gagal… apa kamu bisa tenang?”
Refleksi pelan–pelan mengangkat kepalanya.
Tidak ada wajah.
Hanya rongga hitam — seperti kepala seseorang yang kehilangan identitas setelah kematian.
Lalu suara perempuan terdengar — bukan dari tubuh itu, tapi dari seluruh ruangan:
“Kami ingin digantikan… bukan diselamatkan.”
Aku hampir muntah.
Arunika tidak lapar jiwa.
Arunika lapar pengorbanan.
Manusia yang mati dan tidak diterima pulang… ingin ada yang menggantikan mereka, agar “ketidakadilan” mereka selesai.
Aku mengucapkan satu kalimat yang bahkan membuat tubuhku sendiri gemetar:
“Kami tidak datang untuk menggantikan kalian.
Kami datang untuk memutus rantai kalian.”
Bayangan itu merasuki ruangan dengan suara ratusan:
“Kalau rantai diputus… kami lenyap.”
Aku berdiri, menahan napas, memaksakan diriku bicara:
“Kalian tidak hilang karena tidak diganti.
Kalian hilang karena kalian tidak pulang.”
Keheningan tiba–tiba.
Bayangan itu memudar perlahan… bukan marah… tapi takut.
Karena inilah kebenaran yang paling tidak ingin entitas itu dengar:
Ada jalan pulang tanpa korban.
Mereka hanya tidak pernah menemukan — atau tidak pernah berani mencarinya.
Bayangan itu hancur seperti abu disedot ke udara…
dan kamar menjadi normal kembali.
Kayla dan Sari datang tergesa karena mendengar suara.
“Apa yang terjadi?”
“Ada yang masuk?!”
Aku menggeleng.
“Bukan musuh.
Lebih kayak… peringatan.”
Sari menarik napas panjang. “Berarti kita semakin dekat ke inti Arunika.”
Aku membalas: “Dan semakin dekat ke inti… semakin entitas yang belum pulang akan mencoba membuat kita membuka pintu yang salah.”
Kayla meraih tangan kami berdua.
“Kalau kita ke sana… kita tiga orang.
Bukan satu orang menyelamatkan dua orang.
Bukan dua orang menyelamatkan satu orang.”
Aku mengangguk.
“Dan kalau salah satu dari kita mulai mengorbankan diri… dua yang lain bantu dia ingat.”
Sari tersenyum kecil.
Kali ini… bukan senyum keberanian palsu.
Senyum orang yang tahu akan mati kalau salah… tapi pergi tetap bersama.
PERJALANAN DIMULAI
06:03.
Kami tiba di kaki gunung — jalur timur, jalur terlarang.
Tidak ada pemandu.
Tidak ada pos resmi.
Tidak ada pendaki lain.
Tidak ada suara burung.
Tidak ada serangga.
Hening seperti kuburan.
Gelang biru menunjuk jalur ke kanan — jalur tanpa papan petunjuk.
Dan begitu kami melangkah masuk ke hutan…
hantu tidak menunggu lama.
Kayla berhenti duluan.
Di pepohonan, banyak orang berdiri membelakangi kami, tubuhnya diam, rapat seperti patung.
Mereka tidak bergerak.
Tidak bernapas.
Tidak menoleh.
Tapi begitu kami berjalan melewati barisan pertama…
semua kepala mereka berputar ke arah kami pada saat yang sama.
Leher berputar bukan seperti manusia —
tetapi seperti serangga yang mendeteksi suara.
Sari menggeser posisinya di tengah, Kayla di kiri, aku di kanan — formasi otomatis dari trauma lama.
Tapi kami tidak lari.
Ketika mereka membuka mulut… suara mereka bukan teriakan.
Bukan ancaman.
Mereka merintih seperti anak kecil yang meminta tolong:
“Kami ingin pulang…
tapi kami tidak tahu jalan pulang…”
Kayla mulai menangis.
Sari mematung.
Aku menggigit pipi sampai terasa darah — agar tetap sadar.
Aku bicara, meski suaraku gemetar:
“Kami ke sini bukan untuk mengikuti kalian.
Kami ke sini untuk menemukan pintu pulang — bukan pintu korban.”
Seisi hutan menjerit — bukan suara manusia, bukan suara makhluk.
Suara putus asa.
Tubuh–tubuh itu pecah seperti lumpur hidup, menyebar ke tanah dan masuk ke dalam akar pepohonan, menyisakan bau tanah mayat dan kabut dingin.
Dan tepat setelah semuanya hancur…
gelang di tangan Sari menyala.
Ukirannya berubah:
DALAM 24 JAM, SESEORANG AKAN MENCOBA MENGORBANKAN DIRI.
Kayla tercekik napas.
Sari menggenggam pisau.
Aku memejamkan mata.
Bukan ancaman dari gunung.
Ancaman dari hati manusia sendiri.
Dan saat aku membuka mata, aku berkata:
“Kita bukan cuma harus hadapi hantu.
Kita harus saling melindungi dari diri kita sendiri.”
Karena di dalam Arunika…
setiap orang yang mencintai seseorang
selalu berada satu langkah dari menjadi korban — atau tumbal.
Dan perjalanan kami baru saja dimulai.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor