Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Menyentuh Masa Lalu
Raska menjerit.
Tanpa pikir panjang, blazer langsung terlepas dari bahunya. Sepatunya berdecit menghantam lantai saat ia berlari.
Semua terdiam. Jantung pesta berhenti berdetak.
BYURRR!!
Raska melompat ke kolam.
Air memercik tinggi, bukan lompatan indah, bukan gaya. Murni panik. Pure ketakutan.
Bella menatap dari dalam air. Melihat arah renang Raska. Pemuda itu tidak menuju ke arahnya. Tidak menoleh. Tidak memikirkan siapa pun.
Hanya satu tujuan: Elvara.
Bella menahan napas, lalu pura-pura tenggelam. Ia menggerak-gerakkan tangan dramatis, matanya terbuka sedikit di bawah air.
“T… tolong…!”
Aktingnya sempurna. Tapi Raska tidak melihatnya. Sama sekali.
Raska menyelam lebih dalam. Tangannya akhirnya menyentuh sesuatu, rambut, kain gaun. Ia meraih tubuh Elvara dan mendorong kakinya ke dasar kolam. Dengan seluruh tenaga, ia mengangkat tubuh itu ke permukaan.
Air muncrat keras saat Raska muncul sambil menggendong Elvara ke pinggir kolam.
Tubuh Elvara berat, basah, limbung. Air menetes dari rambut dan pipinya, wajahnya pucat.
Tangan Raska tidak melepaskan.
Pesta sunyi. Semua terpaku.
Bella muncul di sisi lain kolam, terbatuk kecil… kecewa karena tidak dilihat.
Lampu pesta yang memantul di permukaan air berkedip seolah ikut panik.
“Elvara!!” suara Raska pecah. Napasnya terengah.
Asep, Vicky, dan Gayus langsung berlari. Tanpa aba-aba, Asep menahan tangan Elvara.
Vicky memegang bahu. Gayus mengangkat kakinya.
“ANGKAT BARENG!” teriak Vicky.
“TARIK! TARIK!” seru Asep.
“BERAT, WOY!” Vicky hampir terpeleset.
Gayus menggertakkan gigi. “Jangan lepas! PEGANGIN!”
Dari dalam kolam, Raska mendorong tubuh Elvara ke atas, seluruh tenaganya tercurah di sana.
Dengan perjuangan nyaris putus tenaga, akhirnya mereka berhasil mengangkat Elvara ke tepi kolam.
Tubuh gadis itu tergeletak di lantai. Rambut basah menempel di wajah. Matanya terpejam. Bibirnya pucat.
Kerumunan membisu total.
Tawa yang tadi memenuhi pesta, hilang. Musik tidak terdengar lagi. Tak satu pun berani bergerak.
Hanya suara air yang menetes dari ujung rambut Elvara.
Hening. Menyesakkan.
Raska naik ke tepi kolam, berlutut di samping Elvara. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi Elvara. Untuk pertama kalinya, pangeran sekolah itu… terlihat ketakutan seperti anak kecil yang kehilangan arah.
“Buka mata lo... .please.” Dadanya naik turun cepat. "Elvara!"
Tidak ada respon. Raska memeriksa napasnya. Panik. Kosong.
Suasana benar-benar mati.
“Astaga…” bisik Asep.
Vicky terdiam total.
Gayus menelan ludah.
Semua orang diam terpaku. Bella diam-diam naik ke tepi kolam saat melihat perhatian semua orang hanya tertuju pada Elvara.
Raska menggertakkan gigi, napasnya memburu tak beraturan.
“Jangan… pergi sekarang…”
Tangannya mencengkeram bahu Elvara, mengguncangnya, pelan tapi putus asa.
Bella berdiri tak jauh dari sana, wajahnya memucat. Detik itu, dunia seperti menyorotnya, menilai, menghakimi, mengupas setiap niat buruknya barusan.
Raska memindahkan posisinya, telapak tangannya bertumpu di tengah dada Elvara.
Satu tekanan.
Dua.
Tiga.
DORONGAN demi dorongan, ritmis tapi bergetar, seperti jantung yang memaksa terus berdetak.
“Bangun…” suaranya hampir pecah.
Tidak ada respon.
Air mata mengambang di sudut matanya, menggigil.
Dan tiba-tiba, bayangan itu datang, menampar benaknya.
Tujuh tahun lalu.
Tok. Tok. Tok.
“Ma?”
Suara kecil, takut, mencari. Raska kecil berdiri di depan pintu kamar ibunya, mengetuk lebih keras.
“Ma… makan… ayo Ma…”
Pintu tidak terkunci. Ia mendorongnya.
Brak—
“Ma?”
Raska melihat tubuh ibunya tergeletak di lantai. Pucat. Tak bergerak.
“Mama!!”
Raska kecil berlari, mengguncang tubuh yang dingin.
“Bangun ma… bangun…”
Tangisnya pecah, menggema dalam ruangan kosong itu.
Kembali ke masa kini.
Raska memompa dada Elvara lebih keras, hampir kehilangan kendali.
“Vara… bangun…”
Sekali lagi.
“Bangun, Ra… please…”
Suara parau itu, memohon, retak, seperti anak kecil yang kehilangan pegangan. Raut wajahnya hancur, ketakutan yang tertanam bertahun-tahun terulang di depan mata.
Bella mundur selangkah. Tubuhnya bergetar hebat.
“A-aku… aku gak bunuh dia… 'kan? Aku cuma—aku cuma…”
Ia memeluk dirinya sendiri, wajahnya mengabur oleh panik.
Ia sibuk mencari alibi, padahal semua orang tak lagi melihatnya. Mereka hanya melihat Raska. Dan Elvara yang tak bergerak.
Air mata pertama jatuh melewati pipi Raska, tanpa ia sadar.
“Gue mohon…” bisiknya, pecah, tenggelam di antara suara air yang menetes dari rambut Elvara.
“Jangan pergi…”
Semua siswa terpaku. Napas tercekat. Tubuh-tubuh muda itu membatu.
Bella bahkan lupa bernapas. Asep lupa cara bercanda. Vicky lupa cara tersenyum. Gayus berhenti jadi sok bijak.
Tak ada suara. Tak ada tawa. Hanya ketakutan yang menggantung di udara.
Gimana kalau… beneran mati?
Raska menarik napas dalam-dalam diantara napas yang bergetar. Dadanya naik turun tak teratur. Ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya.
Ia menunduk pada Elvara. Matanya menyipit… bukan marah, tapi takut. Raska menutup hidung Elvara dengan tangannya.
Lingkaran siswa serempak membelalak.
Pangeran sekolah yang dingin… yang tak pernah mau disentuh siapapun… benarkah… dia akan—
Dan pertanyaan itu terjawab saat Raska mencondongkan tubuhnya.
Satu tarikan napas. Dalam. Penuh. Ia menempelkan bibirnya ke bibir Elvara— bukan ciuman. Bukan romantis. Bukan apa pun yang dipikirkan anak-anak remaja.
Itu perjuangan. Itu ketakutan kehilangan. Itu… putus asa.
“Vara…” suaranya pecah. “Denger gue…”
Ia kembali memberi napas buatan. Tanpa ragu. Tanpa kikuk. Tanpa malu.
“Lo…” hembusnya bergetar, “udah janji mau lihat nama kita di ranking satu…”
Dorongan CPR. Napas buatan lagi.
“…lo belum lihat…”
Dorongan lagi.
“…jadi lo gak boleh pergi…”
Sunyi.
Detik berjalan seperti abad. Elvara tetap tak bergerak. Zahra menutup mulut menahan tangis. Bella memegangi rambutnya sendiri, tubuh gemetar.
Asep terdiam tanpa kata. Vicky memalingkan wajah. Gayus menunduk seperti berdoa.
Lalu—
“UKHH—!”
Elvara tersedak keras. Dadanya terguncang. Air memuncrat keluar dari bibirnya. Tubuhnya menggeliat mencari udara.
Kerumunan meledak.
“ALHAMDULILLAH!”
“MASIH HIDUP!”
“GILA TADI GUE UDAH PASRAH!”
Asep jatuh duduk, lemas. “Gue tadi udah nyiapin mental buat nemenin duda tanpa nikah…”
Vicky menutup wajah. “Astagaaaa gue kira kita bakal kena BAP rame-rame…”
Gayus memandang ke langit. “Terima kasih, Tuhan… sumber ilmu alam semesta tidak jadi diambil…”
Dan di tengah kekacauan itu, Raska masih berlutut di sisi Elvara. Tangan gemetar. Napas tak stabil. Matanya masih basah, memandang gadis itu seperti memandang seluruh dunia.
“Lo…” suaranya pecah, “lo bikin gue hampir mati jantungan…”
Elvara terbatuk, pelan. Pandangan kabur. Suara serak, tapi tetap dengan ketenangannya yang khas.
“…maaf.”
Raska menatapnya lama.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya… Raska tersenyum. Bukan senyum dingin pangeran sekolah. Tapi senyum seorang cowok… yang baru sadar ia hampir kehilangan sesuatu yang sangat berarti.
Dan semua orang melihatnya dengan jelas: Pangeran sekolah yang selalu tak tersentuh, nyaris hancur… karena satu gadis.
Dan gadis itu… masih hidup.
“Ambil handuk! Cepat! HAN-DUK!”
Vera berteriak sambil setengah tertawa, setengah menangis lega. “Ulang tahunku hampir jadi berita duka, sumpah… tapi malah jadi drama percintaan!”
Panik-panik bahagia.
Vicky langsung membantu Raska mendudukkan Elvara yang masih lemah.
Asep datang terbirit-birit membawa handuk. “Ini! Ini! Raskaaaa!”
Gayus mengambil blazer Raska yang tadi tergeletak begitu saja di lantai.
Raska menerima handuk.
Tanpa pikir panjang, ia mengusap lembut wajah Elvara, menyeka air yang menetes dari pelipis dan dagunya.
Lalu menggosok perlahan rambut basah gadis itu, gerakannya hati-hati seolah Elvara adalah kaca rapuh.
Elvara menatapnya datar seperti biasa… tapi di balik tatapan kosong itu, pikirannya berputar kacau.
"Kenapa dia sampai sejauh ini? Kenapa tadi ada ketakutan seperti itu di matanya?
Apa yang pernah dia alami? Luka macam apa yang dia kubur selama ini?
Dan… kenapa aku yang menyentuh sisi itu?"
Vicky datang menyampirkan handuk satunya ke bahu Raska. “Bro… lu basah kuyup, sumpah. Jangan sampai masuk angin,” gumamnya.
Raska tidak merespons. Tatapannya hanya tertuju pada satu titik: Elvara.
Kemudian, suara itu muncul. Lembut. Nyaris tak dikenali siapa pun.
“Gue antar pulang, ya.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Pak Nata mengenal Asep, Vicky, dan Gayus. Mereka bertiga tidak mengenal pak Nata, papanya Raska.
Ketika pak Nata mendatangi mereka bertiga yang sedang makan cilok di taman belakang sekolah, tak tahu Om itu siapa. Baru setelah pak Nata memperkenalkan diri - menyebut nama, mengatakan - ayahnya Raska, ketiganya langsung kaget.
Ngomong-ngomong Raska-nya kemana ini. Apa sedang duduk berdua dengan Elvara ?
Lisa ini perempuan nggak benar, melihat sejarahnya menikah dengan pak Nata.
Sebagai seorang ibu juga membawa pengaruh negatif bagi Roy, anaknya. Pantaslah Roy kelakuannya nggak benar. Turunan ibunya.
Tolong kembali Elvara.. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
ya beda donk hasil dari anak wanita tercinta..
tapi dasar kamu dan emak mu sama sama gak tahu diri...
anak pertama yang seharusnya jadi raja malah terusir dari rumah sendiri...
itu pun kamu gak tahu diri juga