"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI AMBANG BUNUH DIRI
Tidak ada jawaban. Hanya suara tetangga sebelah bertengkar—suami istri berteriak tentang uang yang tidak ada.
Lucian menutup mata.
Mungkin besok akan lebih baik. Mungkin.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu besok akan sama.
Dan lusa juga.
Dan seterusnya sampai ia kehabisan uang, diusir, dan kembali jadi gelandangan.
Atau sampai ia menyerah dan bunuh diri.
Mana yang lebih dulu?
Minggu kesembilan. Atau kesepuluh? Lucian tidak menghitung lagi.
Uang habis. Benar-benar habis. Tidak ada lagi sepeser pun.
Bu Ratna mengusirnya pagi ini—lempar tas lusuhnya ke lorong sambil berteriak, "Dasar pemalas! Pikir bisa tinggal gratis?! Pergi atau aku panggil polisi!"
Polisi. Lucian hampir tertawa. Kalau mereka tahu siapa dia—siapa dia dulu—mereka tidak akan panggil polisi. Mereka akan lari.
Tapi Lucian hanya mengambil tasnya—berisi dua potong baju lusuh dan foto Elena yang sudah kusut—dan pergi tanpa sepatah kata.
Sekarang ia berdiri di atap gedung pencakar langit di pusat kota Terra Nova. Dua puluh lantai. Cukup tinggi untuk memastikan ia mati—tidak cuma lumpuh.
Angin berhembus kencang—hampir mendorongnya. Atau mungkin itu hanya harapan Lucian.
Ia menatap ke bawah. Mobil-mobil kecil seperti semut. Orang-orang seperti titik. Tidak ada yang peduli kalau satu orang melompat dari sini. Mungkin jadi berita lokal sehari dua hari, lalu dilupakan.
Seperti Papa, Mama, Elena. Dilupakan.
Ponselnya berdering lagi.
Michael. Lagi.
Lucian menatapnya. Kenapa dia selalu tahu? Kenapa dia selalu—
Ia angkat. "Halo."
"JANGAN LAKUKAN ITU!" Michael berteriak—panik. Lucian bisa dengar suara napasnya yang tersenggal. "Aku tahu kau di gedung itu! Aku tracking GPS ponselmu! Jangan lompat!"
"Kenapa tidak?" Suara Lucian datar. Tidak ada emosi. Sudah habis semuanya. "Aku tidak punya apa-apa lagi, Michael. Tidak ada uang. Tidak ada tempat tinggal. Tidak ada tujuan. Adipati Guntur sudah mati. Keluargaku sudah mati. Aku seharusnya mati delapan tahun lalu."
"JANGAN BICARA BEGITU!"
"Kenapa? Karena kau peduli? Atau karena kau merasa bersalah?"
Keheningan.
Lalu Michael berbisik—suaranya pecah: "Karena kau satu-satunya keluarga yang aku punya. Alyssa terlalu kecil untuk mengerti. Tapi kau... kau mengerti aku. Kau satu-satunya orang yang tahu rasanya kehilangan segalanya."
Lucian menutup mata. Sial. Kenapa dia harus bilang begitu?
"Kembali saja, Alex—Lucian. Kumohon. Kembali dan kita mulai lagi. Kita berdua. Kita bisa bangun sesuatu yang lebih baik—"
"Dengan membunuh orang?"
"Dengan membunuh orang yang pantas mati!"
"SIAPA YANG MEMUTUSKAN SIAPA YANG PANTAS MATI?!" Lucian berteriak—suaranya hilang tertiup angin. "Aku? Kau? Kita pembunuh, Michael! Kita bukan hakim! Kita bukan Tuhan!"
"Aku tahu! Aku tahu kita bukan! Tapi di dunia ini—di dunia yang korup ini—kadang pembunuh adalah satu-satunya keadilan yang ada!"
Lucian tertawa—tawa pahit yang terdengar seperti tangis. "Keadilan. Kau masih percaya itu?"
"Aku tidak tahu lagi apa yang aku percaya. Yang aku tahu—aku tidak mau kehilangan kau juga."
Lucian menatap kaki nya—sepatu lusuh yang solnya sudah nyaris copot. Satu langkah. Satu langkah dan semua berakhir.
Tidak ada lagi mimpi buruk. Tidak ada lagi Elena menanyakan kenapa kakaknya jadi pembunuh. Tidak ada lagi rasa bersalah. Tidak ada lagi—
"Selama kamu masih bernafas, kamu masih punya kesempatan jadi lebih baik."
Suara Papa.
Kata-kata Papa malam sebelum pembantaian—malam saat Papa cerita kenapa ia jadi jurnalis, kenapa ia mau ungkap korupsi meski tahu itu berbahaya.
"Kesempatan jadi lebih baik."
Lucian membuka mata.
Air matanya jatuh—entah karena angin atau karena ia masih punya air mata yang tersisa.
"Michael," bisiknya. "Aku... aku tidak akan lompat. Hari ini."
Helaan napas lega di seberang sana. "Terima kasih Tuhan. Terima—"
"Tapi aku tidak akan kembali juga. Aku harus coba. Aku harus coba jadi orang yang Papa bangga."
"Alex—"
"Selamat tinggal, Michael. Jangan tracking aku lagi. Kumohon."
Lucian matikan telepon. Lalu ia buang ponsel itu dari atap gedung—melemparnya sekuat tenaga, menonton nya jatuh, jatuh, jatuh sampai menghilang.
Sekarang benar-benar sendirian.
Ia mundur dari tepi gedung, duduk di lantai beton, memeluk lututnya.
Oke. Aku tidak bunuh diri hari ini. Tapi besok? Lusa?
Aku tidak tahu. Aku tidak tahu lagi.
Yang ia tahu—matahari terbenam, dan ia harus cari tempat untuk tidur malam ini.
Lucian turun dari gedung lewat tangga darurat—lift butuh kartu akses. Ia keluar ke jalanan—malam sudah gelap, lampu jalan menyala, orang-orang pulang kerja dengan wajah lelah tapi setidaknya mereka punya rumah.
Lucian berjalan tanpa tujuan.
Kakinya membawanya ke gang-gang gelap—tempat di mana orang seperti dia belong.
Dan di sanalah ia mendengar jeritan.