Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepasar
Pagi-pagi sekali, dapur sudah mulai ramai karena mereka sedang bersih-bersih dan menyiapkan “bubur pegel” atau bubur sumsum dengan kuah gula merah untuk semua saudara dan tetangga yang membantu.
Inaya yang mendengarnya terbangun dengan seluruh tubuh yang terasa pegal. Ia melihat Weko juga masih terlelap di sampingnya.
“Mau ke mana?” tanya Weko dengan suara parau.
“Mau ke kamar mandi, Mas.”
“Ikut!” Inaya menatap horor ke arah Weko.
“Bercanda, Dek!” Weko segera mengoreksi kata-katanya karena takut Inaya menganggapnya mesum.
Inaya meninggalkan kamar dan mengabaikan Weko yang tertawa. Ia masuk ke kamar mandi dan mandi. Ia keluar dengan pakaian lengkap hijab karena masih banyak orang di rumahnya.
“Manten jam segini sudah mandi, bakal hujan ini!” sindir Yuni.
“Hujan, ya Alhamdulillah.” Jawab Inaya.
“Kalau hujan kasihan yang sudah pawang.” Inaya mengabaikan Yuni dan kembali ke kamar.
Inaya sedari dulu tidak begitu ambil pusing dengan adat istiadat desa yang menurutnya masih sangat kolot. Tetapi ia tahu apa yang dimaksud oleh Yuni karena ia juga tidak tutup telinga dengan semua yang Ranti ceritakan. Hujan deras yang dimaksud Yuni tandanya pengantin sudah “jebol” atau malam pertama pengantin Perempuan sudah terlalui.
Di desanya, setiap kali akan ada hajatan akan meminta salah seorang penatua di desa untuk menangkal hujan. Selain melakukan ritual sendiri, penatua itu juga meminta sesajen disediakan di kamar pengantin, dapur, tenda, tempat menyimpan beras, dan atap rumah.
“Mas mau mandi sekarang atau nanti?” tanya Inaya.
“Nanti saja. Aku mau santai saja, boleh?”
“Iya. Aku ke dapur bantu-bantu dulu, ya?” Weko mengangguk.
“Mas mau minum kopi atau teh?” tanya Inaya sebelum keluar dari kamar.
“Kopi.”
Inaya keluar kamar dan mengambilkan kopi untuk Weko dari kopi dan teh yang sudah dibuat oleh bagian dapur.
“Na, bawa ini sekalian buat ganjal perut suamimu.” Kata Ranti yang menyerahkan sepiring kue rangin yang masih hangat.
“Iya, Bu.”
“Sebentar lagi buburnya jadi.” Inaya mengangguk, lalu mengantarkan kopi dan kue rangin untuk Weko.
Sekitar setengah 7 pagi, bubur sumsum sudah jadi dan segera dibagikan untuk para saudara dan tetangga yang membantu acara dengan harapan Lelah yang mereka rasakan selama acara bisa terobati.
Setelah semua bersih-bersih selesai, semua orang pulang ke rumah masing-masing membawa bingkisan yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Gina dan ranti sebelumnya. Tersisa keluarga Ranti yang berkumpul untuk sarapan. Selesai sarapan, Ranti mengumpulkan semua orang di ruang tamu dan menutup pintu.
Ranti mengajak mereka untuk menghitung uang hasil sumbangan agar bisa segera melunasi belanjaan. Gina dan suaminya mulai membuka dan mencatat semua sumbangan yang telah dikeluarkan dari kotak sumbangan. Inaya dan Weko juga melakukan hal yang sama agar cepat selesai.
“Totalnya 45 juta.” Kata Gina yang sudah selesai menotal semuanya.
“Kamu nanti sama Inaya ke tempatnya Pur untuk bayar kekurangan belanja. Kemarin Inaya sudah kasih DP 5 juta.” Kata Ranti.
“Iya.”
Dengan menggunakan motor suami Gina, Inaya yang memboncengkan Gina menuju rumah Pur. Mereka membayar semuanya dan kembali pulang.
Sampai di rumah, sudah ada Budhe dan para sepupu Inaya yang membahas sepasar1. Mereka mengatakan jika beberapa tetangga yang pernah membawa Ranti sepasar, ingin ikut sepasar Inaya. Ranti tidak bisa memberi keputusan, beliau bertanya kepada Inaya.
“Bagaimana, Na? Apakah bisa?”
“Mas Weko katanya di sana tidak ada acara, Bu. Kalau misalnya keluarga mau ikut, mereka hanya akan menyambut kita saja.”
“Ini pada mau ikut.”
“Tidak apa-apa, Bu. Nanti saya kabari Ibu biar menyiapkan semuanya. Kira-kira berapa banyak?” Weko menyela karena melihat kesulitan di wajah Inaya.
“Sekitar40 orang.”
“Siap, Bu. Nanti saya sampaikan kepada Ibu.”
“Iya.”
Saat semua orang sudah sepakat, mereka mengatakan akan kembali 2 hari sebelum sepasar untuk menyiapkan barang bawaan.
“Mas, kenapa Mas menyanggupinya?” tanya Inaya saat mereka hanya berdua di kamar.
“Tidak masalah, Dek. Aku akan mengikuti tradisi yang ada.”
“Kamu sudah mengeluarkan banyak uang untuk acara kemarin mas. Lagi pula mereka hanya akan melihat rumahmu, Mas. Mereka hanya ingin memastikan apakah kamu itu kaya atau tidak!”
“Kenapa kamu berkata seperti itu? Bukankah mereka keluargamu?”
“Aku sudah mengatakannya sejak awal, Mas. Keluargaku tidak ada yang bisa disebut keluarga. Mereka hanya keluarga saat senang, tetapi saat susah mereka hanya akan menertawakan.” Weko melihat Inaya dalam diam.
“Aku tidak mau mereka membandingkanmu dengan orang lain, Mas.” Weko memeluk Inaya.
“Iya. Sekali ini saja, Dek.” Inaya menganggukkan kepalanya di pelukan Weko.
Beberapa hari kemudian, rumah Inaya kembali ramai dengan orang-orang yang membantu membuat jajanan yang akan dibawa saat sepasar.
Di hari H, semuanya sudah siap. Dengan menyewa 2 bus dan 4 mobil rombongan Inaya menuju rumah Weko. Semua orang disambut keluarga Weko dengan senyuman. Seperti saat menerima balasan lamaran, semua orang duduk di kursi dengan tenda yang didirikan di jalanan depan rumah Weko.
Acara dimulai dengan pihak Inaya menyerahkan Inaya sebagai menantu keluarga Weko dan diterima oleh pihak keluarga Weko. Setelah serah terima selesai, acara dilanjutkan makan-makan dan berbincang.
Sejam kemudian, semua orang berpamitan dan meninggalkan Inaya bersama Weko. Inaya sedikit tidak rela, tetapi Ranti mengatakan jika dirinya masih bisa mengunjungi mereka kapanpun karena ini hanyalah simbolis jika Inaya selanjutnya akan berbakti kepada suami dan keluarganya.
“Jangan sedih! Besok kamu bisa pulang kalau kangen.” Kata Weko memeluk bahu Inaya yang menyaksikan kepergian rombongan keluarganya.
“Tidak apa, Mas. Aku hanya perlu adaptasi.”
“Tenang saja! Ayo masuk ke dalam rumah!”
Weko membawa Inaya masuk ke dalam rumah dengan membawa tas dan koper yang berisi pakaian Inaya. Inaya yang baru kali ini masuk ke dalam rumah Weko, baru tahu jika sebenarnya rumah yang ada di depan rumah Sintya adalah rumah orang tua Weko yang disekat menjadi 2 rumah. Dan rumah Weko, memiliki teras yang menghadap ke arah jalan yang ada di sebelah kanan rumah orang tuanya.
Sengaja Weko mengajak Inaya masuk dari rumah orang tuanya karena ada pintu akses di ruang Tengah rumah orang tuanya. Saat masuk di rumah Weko sendiri, Weko memberitahu Inaya jika hanya ada satu kamar dan dapur karena ia jarang di rumah.
Jika Inaya mau, Weko akan merenovasi rumahnya karena masih ada tanah tersisa di samping mereka. Weko menyuruh Inaya beristirahat di kamar, sedangkan dirinya pamit karena ada yang harus ia urus.
.
.
.
.
.
Sepasar1: tradisi dalam pernikahan ada Jawa yang merujuk pada acara yang dilakukan setelah akad atau resepsi, yaitu pada hari ke-5 setelah pernikahan. (5 hari pasar, Pon, Wage, Legi, Kliwon, Pahing)