Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
Nirma melepaskan pelukannya, menoleh menatap sosok yang begitu ia rindukan.
Nur Amala berdiri tanpa alas kaki, buliran air mata membasahi pipi. Tepat tiga langkah dibelakangnya, ada sosok sang suami yang menenteng sepasang sandal jepit.
Agam Siddiq kalah cepat, istrinya berlari kecil dari rumah seberang jalan, kekasih halalnya itu tidak sabaran ketika anak beranjak remaja memberitahukan tentang kedatangan Nirma.
“Masya Allah. Adek Mbak sekarang sholehah sangat.” Mala merentangkan kedua tangan, meminta Nirma untuk datang.
Nirma menyambut hangat, ia berdiri, melepaskan genggaman tangan sang ibu, bukan memeluk sang kakak, tapi dirinya berlutut, tidak mempedulikan kulitnya terkena tajamnya batu kerikil.
“Mbak!” Tangannya memeluk betis sang kakak, sama seperti perlakuan kepada ibunya. Nirma juga mencium kaki saudari kandungnya.
Amala terkejut bukan main, bersusah payah dirinya mencoba membungkuk, dikarenakan bekas operasi caesar terkadang masih terasa nyeri. “Dek jangan macam ni. Mbak tak ridho! Ayo bangun! Peluk Mbak mu yang sudah membendung rindu menggunung ini!”
“Maafkan adikmu yang tak tahu berterima kasih ini, Mbak! Nirma mohon ampun, dengan sengaja telah tega menorehkan luka begitu dalam padamu.” Nirma berlutut, wajahnya terbenam di sisi perut kakaknya.
“Tak ada yang perlu dimaafkan lagi, sebab jauh sebelum kau datang. Mbak sudah memaafkan serta melepaskan segala rasa sakit itu. Hanya satu keinginan hati ini, kembali berkumpul serta hidup rukun dengan mu dan jua keponakan ku. Sakit Dek, sangat amat tak enak hidup berjauhan dengan saudara, memendam rindu tapi sulit bertemu.” Bahunya berguncang hebat.
Nirma berdiri, memeluk sang kakak yang tingginya se telinganya. “Nirma juga sangat merindukan kalian, Mbak, Mamak, para sahabat serta suasana kampung tercinta ini. Namun, rasanya masih tak pantas hidup berdampingan lagi, diri ini merasa begitu kotor, Mbak.”
“Hei!” Mala melerai pelukan mereka, membingkai wajah sembab adiknya yang bersimbah air mata.
“Siapa kau? Sampai berani betul menilai pantas tidaknya. Kita hanya manusia biasa Dek, wajar bila sesekali berbuat salah! Asal segera menyadari dan tak lagi mengulanginya! Lihatlah dirimu sekarang! Terlihat begitu bersahaja, cantik, penampilanmu pun sangat sedap dipandang mata dengan busana tertutup sempurna. Bukankah itu semua menandakan bila kau telah berusaha keras untuk memperbaiki diri, Nirma?”
Ibunya Kamal hanya mampu mengangguk, seraya sesenggukan.
“Mbak nyaris tak mengenalimu. Begitu terkejut sekaligus terpesona. Kau Masya Allah cantiknya, Dek.” Mala berkata apa adanya, ia dan lainnya sama sekali tidak mengetahui bila Nirma telah berhijab. Dulu penampilan si bungsu tidak serapi ini dalam menutup aurat.
Selama ini, adik kandungnya itu sama sekali tidak ada mengirimkan foto ataupun memberi tahu lewat surat maupun telepon. Hanya dua lembar potret Kamal yang ia kirim ke kampung halaman.
Dua saudari itu kembali berpelukan, menangis, saling menggumamkan kata-kata sayang.
Mak Syam berjalan mendekati buah hatinya, tangannya terentang memeluk Nirma dan Mala. ‘Bapak, lihatlah putri-putri kita telah saling memaafkan. Kini mereka sudah menjadi seorang ibu Pak. Serta diri ini naik gelar dipanggil Nenek. Doakan kami ya Pak, semoga bisa kembali hidup dalam naungan atap yang sama.’
Ibu dan anak itu masih saling memeluk, melepaskan rindu yang selama ini menggerogoti hati mereka. Sampai di mana suara nyaring menarik perhatian mereka.
“Bu Bu!” Kamal berteriak memanggil ibunya, ia menggeliat dalam gendongan sang ayah.
Juragan Byakta melangkah maju mengikis jarak, begitu juga dengan Agam Siddik.
“Masya Allah. Betulkah itu Kamal, Nirma? Cucu Mamak?” Mak Syam mencoba mendekat.
Namun, Kamal yang tidak terbiasa berinteraksi dengan orang lain, menyembunyikan wajahnya pada leher sang ayah, tangannya ikut memeluk erat.
“Nak ….” begitu lembut Byakta Nugraha mengusap punggung putranya. “Kenalan dulu dengan Nenek ya? Nenek loo yang sering mengirim mainan untuk Kamal. Ingat tidak dengan Ikan lele bisa jalan sendiri?”
Byakta sengaja mencoba menarik perhatian Kamal, menyebutkan salah satu mainan kesukaan bayi yang masih senantiasa memeluk lehernya.
“Kamal anak sholeh, ini Nenek Sayang.” Mak Syam mengelus lembut rambut Kamal, tapi sayang bayi itu tetap keukeuh tidak mau menoleh.
“Tak apa Buk, biasanya dia cuma sebentar malunya, nanti pasti mau didekati dan luluh,” juragan Byakta mencoba memberikan pengertian kepada Mak Syam yang terlihat jelas memendam kesedihan mendalam.
“Iya, Juragan. Saya maklum, hanya tak sabar ingin menimangnya.” Mak Syam mengangguk, lalu mundur, memberikan Kamal waktu untuk mengenal anggota keluarga ibunya.
Nirma merangkul pundak ibunya, sedangkan lengannya di peluk erat Nur Amala.
“Putramu sangat tampan, Nirma. Dia mirip sekali dengan almarhum Bapak kalian, mata, alis, bahkan rambutnya pun sama persis.” Ia usap lembut lengan putrinya, netranya masih menatap punggung Kamal yang terus diusap oleh sosok pria baik hati.
Mak Syam dan Nur Amala sudah mengenal juragan Byakta, dari pria itulah mereka bisa mulai berkomunikasi dengan Nirma yang kala itu benar-benar menutup akses untuk didekati.
Lambat laun, anak bungsu almarhum bapak Abidin kembali memiliki kepercayaan diri, mau menyambung lagi silaturahmi dengan keluarganya sendiri.
.
.
"Sebaiknya kita masuk ke dalam rumah!” Agam Siddiq berjongkok, menaruh sandal tepat di samping sang istri, meminta ibu dari anaknya itu mengenakannya.
“Juragan,” sapanya ramah, tangannya terulur ke depan yang langsung disambut hangat.
“Bang Agam.”
“Yah!” Kamal protes saat tak lagi merasakan usapan di punggungnya.
“Betul-betul anak ayah si tampan ini.” Agam menepuk lembut pundak Kamal, lalu ia menoleh ke arah Nirma, mereka saling menangkupkan tangan.
Begitupun juragan Byakta terhadap Nur Amala. Hanya menatap sekilas lalu langsung memutuskan pandangan.
“Kalian masuklah ke dalam! Mamak mau mencari tiga serangkai dulu.” Mak Syam mengedarkan pandangannya mencari keberadaan para anak tetangga.
“Siapa, Mbak?” tanya Nirma bingung.
“Teman masa remaja kita. Dulu mereka selalu mengekor kemanapun kita pergi,” ucap Mala.
“Trio Cebol?” seru Nirma.
“Nah itu mereka! Ayek! Rizal! Danang! Kesini sebentar, Nak!” Mak Syam melambaikan tangan pada tiga sosok anak laki-laki yang hanya mengenakan celana selutut tanpa atasan.
“Hikshis … Ada perlu apa, Nek?”
“Jorok betul kau!” Danang memukul bahu sang teman yang mengelap ingus di batang pohon nangka.
“Ck … kau tu angek kali jadi orang! Pantang melihat ku tenang, tak nya dirimu paham bila diri ini menangis sesenggukan melihat Kak Nirma pulang?” Ayek menatap sinis raut sahabatnya.
“Sudah! Sudah! Bila kalian telah berkicau, sampai besok pun tak akan selesai!” Mak Syam melerai.
“Bisa tak Nenek minta tolong?” begitu mendapatkan anggukan antusias. “Pergilah pasang perangkap Ikan di belakang bukit rumah Bang Agam! Kak Nirma suka sekali makan ikan sepat.”
“Baik, Nek!” serempak mereka menjawab, lalu lari tunggang langgang melaksanakan titah.
“Dhien! Tolong bantu tangkap Ayam kampung! Ayo kita masak gulai!” Mak Syam kembali meminta bantuan salah satu sahabat putrinya.
Ibu dari dua anak itu sibuk tidak menentu, ia begitu senang sampai bingung hendak melakukan apa dulu.
“Mak!” Nirma menarik tangan ibunya. “Jangan repot-repot, Nirma makan sayur bening dan sambal terasi saja sudah lebih dari cukup!”
“Kau ni apa-apaan, Nirma?!"
Semua orang menatap tidak percaya, kala Mak Syam membentak Nirma.
.
.
Bersambung.
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆