Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Jarak yang Terbentang
Sudah beberapa hari sejak Nathan memergoki Celeste memberi makan kucing dan berbicara dengan ayahnya. Tapi alih-alih mengusut lebih jauh, pikirannya justru kembali teralihkan ke seseorang lain. Clarissa.
Bukan hal baru, sebenarnya. Wanita itu seperti benang halus yang terus ada di latar belakang pikirannya, tidak mencolok, tapi tak pernah putus.
Hari ini, Clarissa sedang menyapu di taman depan ketika Nathan menghampirinya.
“Clar,” panggil Nathan, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Clarissa menoleh, masih memegang sapu.
“Ya, Tuan Nathan?”
Nathan mengernyit. “Berapa kali aku harus bilang, nggak usah pakai ‘Tuan’. Namaku Nathan.”
Clarissa menunduk, tersenyum tipis. “Maaf.”
Nathan memasukkan tangan ke saku celananya, gelisah. “Kamu sibuk malam ini?”
Clarissa menggeleng. “Belum ada jadwal, Tuan... eh, Nathan.”
“Temani aku makan malam, ya? Di luar. Ada yang pengin aku omongin.”
Clarissa terdiam sejenak. “Kalau Ibu Madeline mengizinkan...”
“Aku yang minta langsung. Ibu pasti setuju.”
Dan seperti dugaannya, Madeline langsung mengangguk begitu Nathan menyampaikan niatnya. “Bagus! Clarissa juga butuh hiburan. Dia terlalu pendiam. Ajak dia ke restoran favoritmu, ya.”
Restoran kecil di pinggir danau itu tenang dan hangat. Lilin-lilin kecil menyala di tiap meja. Angin semilir membawa aroma teh melati dari dapur.
Nathan duduk di seberang Clarissa, tapi rasanya jarak mereka seperti dua dunia.
Clarissa mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang. Wajahnya tanpa makeup, tapi bersih dan bercahaya.
“Clar,” Nathan membuka percakapan, “Aku tahu kamu orang yang sangat... tertutup. Tapi aku udah suka kamu sejak lama.”
Clarissa nyaris menjatuhkan garpu.
“Aku serius,” lanjut Nathan, menatap matanya. “Waktu kamu belajar malam-malam di dapur, waktu kamu bantu Ibu ngerapihin obat - obatannya, waktu kamu tersenyum tiap pagi... semuanya bikin aku,...ya, jatuh cinta.”
Clarissa menunduk. “Nathan...”
“Aku gak peduli kamu siapa. Kamu bukan sekadar pembantu di rumah kami. Kamu perempuan yang... yang luar biasa sabar, sederhana, dan... aku suka kamu apa adanya.”
Clarissa diam lama. Suara musik pelan di latar jadi satu-satunya yang terdengar.
Akhirnya, ia berkata pelan, “Aku... terharu, Nathan. Tapi aku nggak bisa.”
Nathan menegang. “Kenapa?”
Clarissa menghela napas. “Karena... aku cuma seorang pembantu. Statusku... bahkan aku nggak punya keluarga yang bisa dibanggakan. Aku nggak ingin orang-orang menganggapmu aneh karena memilih orang seperti aku.”
Nathan menggeleng cepat. “Aku nggak peduli omongan orang. aku mohon Clarissa tolong pertimbangkan hubungan kita”
“Tapi aku peduli,” potong Clarissa. “Aku nggak mau kamu dijatuhkan hanya karena aku.”
Matanya mulai berkaca-kaca.
Nathan menggenggam tangan Clarisa namun Clarisa menariknya kembali.
“Aku sayang kamu, Nathan. Tapi sayang kadang nggak cukup. Kadang... cinta juga harus tahu diri.”
Nathan terdiam. Kata-kata itu menyayat lebih dari yang ia duga.
Clarissa berdiri. “Terima kasih atas makan malamnya. Aku pamit duluan.”
Dan seperti itu, wanita yang ia cintai berjalan pergi, meninggalkan bayangannya bersama pantulan cahaya danau.
Di kejauhan, seseorang memperhatikan dari dalam mobil. Celeste, duduk di jok belakang, menggigit bibir.
Ia baru saja datang untuk mengantar dokumen ke Madeline, tapi malah melihat keduanya di restoran ini. Dan sekarang, Nathan duduk sendirian dengan wajah kosong, sementara Clarissa berjalan menjauh.
Celeste menunduk, menggenggam buku catatannya.
Satu langkah makin rumit. Tapi kalau dia sungguh mencintai Clarissa... aku harus bantu.