Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu
...Asta...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Ciuman...
Cewek yang udah gue cari sejak malam itu sekarang ada di pelukan gue.
Bibirnya menyentuh bibir gue pelan, seperti kita lagi mencari ritme yang pas buat berdua. Bukan ciuman yang panas atau yang bikin kehabisan napas. Ini lebih ke ciuman lembut, penuh rasa penasaran, seperti lagi merasakan sesuatu yang baru. Dan gue suka, karena bisa merasakan tiap gesekan kecil, kehangatan napasnya. Hujan di luar langsung gue lupain.
Selma menjajah semua indera gue. Gue geser tangan ke pinggangnya, tarik dia makin dekat. Dia usap leher gue pelan, kepalanya sedikit miring, dan ciuman kita makin intens. Napas gue mulai berat, badan gue makin sadar sama tiap sentuhannya, dada kami, aroma tubuhnya, dan cara lidah kami bersentuhan.
Dia keluarkan napas pendek sebelum akhirnya menjauh. Mata kami bertemu, dan gue terjebak di sana beberapa detik.
"Ini tadi..." dia mulai ngomong, tapi berhenti, terus melewati lidahnya di bibir.
Gue juga nggak tahu harus bilang apa. Dengan dia sedekat ini, tiap detail wajahnya kelihatan jelas, termasuk keraguan yang bisa dibaca dari ekspresinya. Ini pertama kalinya?
Gue lihat sisi rapuhnya Selma, dan itu... indah.
Dia menurunkan pandangannya ke tangan gue yang masih melingkar di pinggangnya. Gue buru-buru melepaskan.
"Maaf."
"Lo nggak perlu minta maaf." Dia geser sedikit, bikin jarak di antara kami lebih lebar. "Kayaknya... gue harus pergi."
Apa?
"Di luar masih hujan."
Dia berdiri.
”Gak apa-apa, gue bukan gula yang bakal larut kena air."
"Selma..."
Dia mulai jalan ke pintu, dan gue langsung menyusulnya, buru-buru.
"Tunggu." Gue halangi jalannya, jantung gue masih ngebut gara-gara ciuman tadi. "Gue ngelakuin sesuatu yang salah?"
"Enggak, tentu aja enggak, Asta. Ciumannya... luar biasa. Cuma..."
Gue nunggu, tapi dia gak lanjut.
"Selma..." Gue maju selangkah, dan dia melewati lidahnya di bibir. Matanya jatuh ke mulut gue. "Kenapa?"
Dia keluarkan napas berat, ragu sebentar, terus tiba-tiba tarik gue ke dalam pelukannya. Bibirnya nabrak bibir gue. Gue kaget, tapi langsung bales ciumannya.
"Masalahnya... kalau gue tetap di sini..." bisiknya di antara napas kami. "Kalau gue terus nyium lo, gue bakal pengin lebih... Asta, jauh lebih dari ini."
Gue memutarkan badannya dan sandari dia ke dinding.
"Dan itu masalah?"
Dia angguk, gigit bibir gue pelan. "Iya."
"Kenapa?"
Tangan gue otomatis jalan, mengelus lekuk tubuhnya sampai akhirnya menggenggam bokongnya, meremasnya dengan hasrat. Gue gak tahu gimana bisa sampai di titik ini, tapi cara dia bertingkah seperti kita lagi melakukan sesuatu yang terlarang.
Selma nyosor gue dengan lebih ganas dari sebelumnya, bikin napas gue berantakan. Tangannya nyelonong masuk ke dalam kemeja gue, menyentuh perut gue dan bikin badan gue langsung tegang. Tanpa sadar, gue udah mulai gerak ikuti ritme yang makin kencang di antara kita.
"Asta…" suara lirihnya menyusup ke kuping gue, bikin kepala gue makin muter. Gue balut lehernya, sementara tangan gue ngelantur, mencari pegangan di tubuhnya.
Selma memutar badan, punggungnya nempel ke dada gue, gerakannya makin bikin gue kehilangan akal. Tangan gue menjelajah dadanya, bikin dia makin ngos-ngosan. Dia gigit bibir, nahan suara yang nyaris lolos.
Gue bisa lihat semuanya dari posisi ini, bagaimana tubuhnya merespons, bagaimana dia mengikuti tiap sentuhan gue, dan gimana gue sendiri makin susah nahan diri. Gue tahu dia udah nyaris kehilangan kendali, dan gue juga sama.
Dia nyium gue pelan, bibirnya turun ke leher gue, terus ke kuping, bikin napas gue nggak beraturan. Tangan gue makin aktif, merasakan tiap gerakan kecil yang dia buat. Suaranya lirih, makin sering, sementara gue kasih sentuhan lebih dalam, mencari titik paling sensitifnya. Dia menggigit bibirnya, badannya sedikit gemetar, lalu akhirnya lepas dengan tarikan napas berat.
Gue bahkan belum sempat bilang apa-apa waktu dia berbalik, langsung nyium gue dengan penuh semangat. Tangannya cekatan, membuka kancing celana gue.
“Selma…” Gue nahan napas waktu dia mulai.
Gue refleks bersandar ke tembok, kaki gue melemas. Semua terjadi lebih cepat dari yang gue duga. Tatapan kita bertemu sebentar, dan itu udah cukup buat bikin semuanya meledak dalam sekejap.
Gue berusaha kasih peringatan, tapi dia tetap lanjut. Napas gue berat, tangan gue mengepal, dan akhirnya semuanya selesai dalam satu tarikan napas panjang.
Suasana jadi sunyi, cuma suara napas kita yang terdengar. Selma berdiri lagi, merapikan dirinya, sementara gue buru-buru benarkan celana. Tapi sebelum gue sempat beres, pintu apartemen tiba-tiba terbuka.
Gue langsung kaku di tempat.
Vey masuk, sambil bersiul pelan, terus tiba-tiba diam pas lihat kita. Dia mengerjap sekali, lalu buru-buru buang muka.
“Eh… nggak tahu kalau ada tamu,” katanya pelan.
Selma cuma berdehem, merapikan rambutnya, sementara gue masih berusaha bernapas normal lagi.
"Eh, gue cabut duluan!" Dia lari ke pintu sebelum gue sempat nahan, terus langsung pergi.
Vey masih berdiri di situ, memperhatikan gue beberapa detik sebelum jalan ke kamar Dino. Gue cuma bisa diam, otak masih memproses apa yang baru saja terjadi. Jari-jari gue masih merasakan sisa kelembapan dari Selma. Gue elus dada, buang napas pelan.
Ini gila, sih.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗