Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8 pulang ke rumah
Azizah berjalan perlahan di lorong apartemen mewah itu. Udara dingin dari pendingin ruangan menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Perutnya yang semakin membesar membuat langkahnya sedikit lambat, dan di sampingnya, Susi, bidan pribadi yang disediakan Cindy, setia menemani. Apartemen ini begitu sunyi, hanya ada dua unit di lantai ini, semuanya kelas tertinggi. Tempat yang begitu jauh dari kehidupannya yang dulu.
Saat ia melangkah lebih jauh, matanya menangkap sosok pria yang berjalan dari arah berlawanan. Azizah menahan napas, jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak.
"Romi..." gumamnya tanpa sadar.
Pria itu, yang dulu begitu ia kenal, kini tampak berbeda. Rambutnya tertata rapi, wajahnya dingin, dan sorot matanya tajam seperti pisau. Tak ada lagi tawa pecicilan, tak ada lagi suara gaduhnya yang dulu memenuhi sekolah mereka. Dulu, Romi selalu jadi pusat perhatian—si bengal yang sulit diatur, si pemberontak yang hanya tunduk pada Azizah seorang. Dan kini, pria itu berdiri di hadapannya, dalam jas mahal yang menggambarkan statusnya kini: seseorang yang berkuasa.
Namun, tatapan Romi kepadanya bukan tatapan seorang teman lama yang rindu. Itu tatapan penuh kekecewaan, kemarahan, dan luka yang belum sembuh.
"Romi," sapa Azizah dengan suara bergetar.
Romi hanya menatapnya. Tak ada senyum, tak ada keramahan, hanya kehampaan dan sisa luka yang belum hilang. David, asisten Romi yang selalu mengikutinya, bahkan tampak kaget. Romi bukan tipe yang suka berbasa-basi. Biasanya, jawaban yang keluar dari mulutnya hanya "ya" atau "tidak". Tapi kali ini, ia tetap diam, seolah sedang mempertimbangkan apakah Azizah pantas untuk mendapatkan jawabannya.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Azizah, mencoba mencari celah dalam kebekuan itu.
"Ya," jawab Romi singkat, tapi tajam.
Azizah menggigit bibirnya. Ia tak tahu harus berkata apa. Dulu, Romi selalu mendekatinya dengan wajah penuh harapan, penuh impian, penuh keyakinan bahwa mereka bisa bersama. Tapi ia menolak. Karena apa? Karena ia memilih seseorang yang ia anggap lebih baik, lebih sempurna—Raka.
"Kenapa kamu di sini? Suami kamu sengaja mendekatkan rumahmu dengan rumahku?" Romi menyindir, nada suaranya begitu dingin, menusuk hingga ke tulang.
Azizah menggeleng cepat. "Enggak, ini rumah Cindy. Aku sementara tinggal di sini."
Romi tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. Itu tawa getir, tawa yang penuh kepahitan. "Oh, jadi ini rumah Cindy. Kenapa? Kamu ribut sama suamimu?"
Azizah menunduk, tidak ingin menjawab. Tapi keheningannya adalah jawaban bagi Romi.
"Sudah kuduga," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Azizah.
David, yang melihat perubahan sikap Romi, semakin heran. Bosnya ini jarang berbicara banyak. Biasanya, ia tak peduli dengan siapapun. Tapi hari ini berbeda. Azizah adalah pengecualian.
"Aku harus pergi," kata Romi akhirnya. "Semoga beruntung dengan hidupmu."
Azizah menatap punggung Romi yang menjauh. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa ia juga tersakiti. Bahwa kehidupannya dengan Raka tidak seperti yang ia bayangkan. Bahwa semua impian tentang lelaki baik yang setia dan penuh cinta itu ternyata hanyalah omong kosong belaka.
Tapi lidahnya kelu. Dan Romi sudah pergi.
Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menekan begitu kuat hingga napasnya sulit dihela. Azizah meremas jemarinya sendiri, kuku-kukunya hampir mencakar kulit telapak tangannya. Ia berusaha menahan gelombang emosi yang tiba-tiba melonjak tanpa aba-aba.
Ia pikir, selama ini, ia sudah berdamai dengan masa lalu. Ia pikir, perasaan yang dulu pernah ada telah terkubur bersama dengan keputusannya untuk menikah dengan Raka. Tapi pertemuan tadi mengungkap kenyataan lain—bahwa mungkin, ia telah menyia-nyiakan satu-satunya pria yang benar-benar mencintainya apa adanya.
Dan yang lebih menyakitkan, Romi tahu itu.
Tatapan dingin Romi menusuk, penuh luka yang tak terucapkan. Tidak ada lagi lelaki usil yang dulu sering menggodanya dengan lelucon konyol. Tidak ada lagi senyum ceria yang selalu hadir di setiap pertemuan mereka dulu. Yang tersisa hanya sosok asing dengan pandangan penuh dendam dan kepahitan.
Azizah menggigit bibirnya. Ia tidak sanggup berada di sini lebih lama lagi.
"Susi, tolong pesankan taksi online," suaranya terdengar gemetar, seperti berusaha keras menahan sesuatu yang hendak pecah dari dalam dirinya.
Susi menoleh dengan alis berkerut. "Mau ke mana, Nyonya?"
Azizah menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Ke rumah Pratama."
"Lalu bagaimana dengan Nyonya Cindy?" tanya Susi lagi, ragu-ragu.
Azizah menatap lurus ke depan. "Biar itu urusan saya. Kamu ikut dengan saya, ya. Aku sudah nyaman dengan kamu."
Susi terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Baik, Nyonya."
Azizah tak ingin lagi tinggal di apartemen Cindy. Ia tak sanggup menghadapi bayang-bayang Romi yang begitu dekat. Melihatnya saja sudah cukup untuk membuatnya dilanda perasaan bersalah yang mencekik. Tatapan itu, sikap dingin itu, semuanya membuat Azizah merasa seperti seorang pengkhianat.
Ketika taksi online datang, ia masuk dengan tergesa. Ia bahkan tak membawa baju atau barang apa pun. Tak masalah. Di rumah Pratama, masih banyak bajunya. Yang lebih penting, ia ingin segera pergi dari tempat ini.
Mobil melaju, dan tanpa sadar, pikirannya kembali ke masa lalu.
—
“Ibu… aku pulang,” suara Azizah lirih, hampir seperti bisikan. Matanya memerah, dadanya bergetar. “Aku terima jika Ibu memarahiku lagi. Aku terima jika Ibu ingin menamparku. Aku sadar… aku bodoh, aku ceroboh. Ibu… aku sayang Ibu. Hanya maaf Ibu yang aku butuhkan, Bu.”
Viona menatap putrinya dengan mata yang penuh luka. “Dia bukan laki-laki baik, Azizah.”
Azizah mendongak, rahangnya mengeras. “Ibu tahu apa tentang laki-laki baik?”
“Azizah, jaga ucapanmu,” tegur Jayadi Pratama, ayahnya, dengan nada peringatan.
Azizah menarik napas tajam. “Pah, Mah, aku mau menikah dengan Mas Raka. Mas Raka orang baik, Pah.”
Viona menggeleng pelan, matanya sendu. “Azizah, kamu baru mengenalnya. Ibu tidak suka dia. Dia penuh dengan kepalsuan.”
Azizah mendengus. “Stop, Bu! Diizinkan atau tidak, aku tetap akan menikah dengan Mas Raka.”
“Dengarkan kata Ibu, Azizah. Kamu baru mengenal laki-laki itu. Kamu tidak tahu siapa keluarganya.”
“Aku tahu keluarganya! Dia berasal dari keluarga miskin, kan? Itu alasan sebenarnya, kan, Bu?” Azizah mengangkat dagunya, menantang. “Karena Mas Raka miskin, Ibu tidak setuju, kan?”
Viona menghela napas panjang. “Azizah, ini bukan soal miskin atau kaya.”
“Lalu kenapa Ibu tidak setuju?” suara Azizah meninggi, matanya berkilat marah.
“Karena dia tidak sebaik yang kamu kira.”
Azizah mengepalkan tangannya. “Bodo amat! Pokoknya Azizah mau menikah dengan Mas Raka!”
Dan dengan penuh emosi, ia berlari ke kamarnya, lalu—
Brukk!
Pintu ditutup dengan keras, menggema di seluruh ruangan.
—
“Bu, kita sudah sampai.”
Suara Susi membuyarkan lamunan Azizah. Ia tersentak, sadar bahwa mobil telah berhenti di depan rumah Pratama. Dadanya masih naik turun, terpengaruh oleh kenangan yang seakan baru saja terjadi.
Ia menatap rumah besar itu. Dulu, tempat ini terasa seperti penjara baginya.
Tapi kini… mungkin di sinilah tempat terbaik baginya untuk kembali.
Seorang security bergegas keluar dari posnya, wajahnya penuh kewaspadaan. Ia menatap tajam ke arah taksi online yang berhenti di depan gerbang megah keluarga Pratama. Dengan langkah sigap, ia mendekat, bersiap mengusir kendaraan asing yang berani masuk tanpa izin.
"Pak, ini area pribadi! Tidak boleh sembarangan masuk!" bentaknya.
Sopir taksi langsung panik. Jantungnya berdegup kencang. Sial, kenapa tadi ia mau saja menerima orderan ke tempat semewah ini? Dia melirik penumpangnya melalui kaca spion, berharap mendapat jawaban. Namun, sebelum ia sempat berbicara, kaca jendela belakang perlahan turun.
Security yang semula garang mendadak terdiam. Wajahnya berubah pucat. Sejurus kemudian, ia langsung berdiri tegak, memberi hormat dengan penuh hormat. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan kembali ke posnya. Beberapa detik kemudian, gerbang raksasa itu terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk menuju rumah besar bak istana.
Sopir taksi menelan ludah. Matanya membulat. Astaga… siapa sebenarnya wanita yang duduk di belakang mobilnya?
Azizah melangkah keluar dari mobil, tetapi tubuhnya terasa berat. Seluruh persiapan mental yang ia buat di sepanjang perjalanan hancur berantakan begitu ia berdiri di depan rumah mewah ini. Tiba-tiba, dadanya terasa sesak. Tangannya menggigil, bukan karena udara dingin, tapi karena ketakutan yang merayap perlahan.
Susi hendak membukakan pintu untuknya, tetapi Azizah mengangkat tangan, menghentikannya. Tidak, ia harus melakukan ini sendiri. Dengan napas tertahan, ia mengulurkan tangan ke handle pintu besar yang berdiri kokoh di hadapannya. Jari-jarinya dingin. Ia menekan pegangan itu perlahan, dan pintu mulai terbuka.
Cahaya dari dalam rumah menyilaukan matanya. Lalu—
"Ngapain kamu pulang? Pergi sana!"
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Azizah.
Kepalanya menoleh ke samping karena kerasnya pukulan itu. Matanya melebar, tetapi bukan hanya karena rasa sakit, melainkan karena keterkejutan yang lebih besar.
Tapi… tunggu.
Ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang salah.
Bukan tamparan.
Pelukan.
Pelukan erat yang membuat tubuhnya membeku di tempat.
"Sayang… kamu pulang."
Suara lembut itu—bukan bentakan. Sentuhan hangat itu—bukan hukuman.
"Ibu kangen sama kamu."
Azizah terdiam. Dadanya bergemuruh. Matanya panas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba melonjak. Ini… ini di luar perkiraannya.
Tidak ada teriakan. Tidak ada makian. Tidak ada pengusiran.
Hanya sebuah pelukan erat dan suara penuh kasih.
Dan yang lebih mengejutkan, tidak ada kebohongan di dalamnya.