Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kapok Karena Rendang
Karena tak menemukan camilan ringan yang bisa diberikan untuk Zayyan, Aira justru malah makan malam sendiri. Ia duduk di meja makan, menyendok nasi hangat dan menikmati rendang buatan Mama. Awalnya hanya satu suap, lalu satu lagi. Satu lagi sampai akhirnya dia lupa diri.
Lidahnya dimanjakan oleh rasa gurih dan pedas yang meresap sempurna. Tubuhnya seperti mendapat pelukan hangat dari makanan itu.
Namun, kenikmatan malam itu berbalik jadi petaka di pagi hari. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan suaminya, (Zayyan tidak ke masjid karena letaknya cukup jauh dari perumahan) Aira tiba-tiba merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya.
"Aneh," gumamnya pelan.
Sebuah sensasi panas menjalar di dada, seperti terbakar dari dalam. Dalam hitungan detik, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Membasahi leher, punggung, hingga pelipisnya. Nafasnya mulai terengah.
"Hah..."
"Hah..."
"Aira, kamu kenapa?!" Zayyan langsung memegangi bahunya, wajahnya tegang. Napas istrinya mulai pendek-pendek, dan tubuhnya gemetar.
Aira melirih, "Kak... tolong aku..." Telapak tangannya terasa dingin seperti es dan mati rasa. Disusul dengan rasa kebas di telapak kaki. Ia memegang dadanya. Sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit dari dalam.
"Nafasku... berat... Aku-- aku nggak bisa ngendaliin, Kak... AGHH!! Tolongin!!"
Panik. Zayyan langsung mendekap tubuhnya. Segera membopongnya ke dapur dan buru-buru mengambilkan segelas air hangat. Tapi bahkan setelah itu, kondisi Aira tak membaik. Malah bertambah buruk. Perut bagian atasnya terasa seperti ditusuk-tusuk, dan rasa panas di dada menjalar ke punggung.
Jam terus bergulir. Sudah hampir setengah jam, namun Aira masih meringkuk di sofa, tubuhnya semakin lemas. “Kak... aku nggak kuat. Aku nggak bisa ngendaliin napasku. Kayak ada yang nyangkut di sini. Aku mau pingsan!"
Aira ingin menangis. Dalam kepalanya, semuanya mulai kabur. Ia sadar ini pasti karena rendang semalam. Lidahnya mungkin bahagia, tapi lambungnya tidak. Asam lambungnya kambuh. Dan kali ini, jauh lebih parah dari biasanya.
"KAAKK!!"
Zayyan tak tahan lagi. Wajahnya pucat dan panik. “Kita ke dokter sekarang juga.”
Ia segera membantu Aira, menggendongnya ke mobil. Tak peduli matahari belum tinggi, tak peduli rambutnya belum disisir rapi, yang penting nyawa istrinya aman.
Sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit, Zayyan menggenggam tangan Aira erat. “Tahan ya, sayang. Sebentar lagi sampai. Tarik napas pelan-pelan.”
Aira mengangguk lemah, masih bisa mendengar suara Zayyan yang terus membisikkan doa dan menenangkannya. Aira hanya bisa memejamkan mata, sesekali merintih pelan sambil memegangi perutnya.
Sesampainya di Rumah Sakit, Zayyan langsung berlari ke IGD. “Istri saya sesak napas. Tolong cepat selamatkan dia!"
Beberapa petugas segera membantu membawa Aira masuk ke ruang pemeriksaan. Seorang dokter dengan wajah tenang memeriksa tekanan darah, detak jantung, dan kondisi perut Aira.
“Sepertinya ini serangan GERD, asam lambungnya naik cukup tinggi,” jelas dokter itu. “Bisa jadi karena makanan yang terlalu berlemak atau pedas semalam. Perutnya jadi dipenuhi asam. Kita akan beri suntikan penenang lambung dan infus elektrolit.”
Zayyan mengangguk cepat, meskipun wajahnya masih penuh kekhawatiran. Ia duduk di sisi ranjang, mengelus rambut Aira yang kini mulai sedikit tenang setelah disuntik dan berbaring dengan infus di lengan.
“Maaf ya, Kak...” bisik Aira lemah. “Aku terlalu nikmatin rendangnya Mama.”
Zayyan tersenyum pahit. "Aku akan omelin rendangnya Mama. Tapi kamu... kamu cuma satu. Aku cemas banget, tau. Jangan ceroboh lagi ya."
Ia mengecup pelipis istrinya dengan lembut. Dalam hatinya, ia bersumpah akan lebih menjaga apa pun yang masuk ke perut Aira mulai hari ini.
Ketika suasana rumah sakit mulai tenang, sekitar pukul delapan pagi, Zayyan menerima telepon. Ia sempat beranjak dari sisi ranjang Aira, tapi tangan istrinya menahan pergelangan lengannya.
“Kak, jangan bilang ke Mama. Aku takut Mama marah. Sebenarnya, rendang itu buat Kamu. Tapi aku malah yang kegoda duluan,” Aira berbisik lemah.
Zayyan tersenyum kecil, “Tenang saja, ini bukan Mama. Ini Paman Tukimo,” katanya pelan sambil mengangkat telepon.
Di ujung sana, suara Paman Tukimo terdengar mencari-cari Zayyan, heran kenapa ponakannya belum juga muncul di bengkel produksi pagi ini.
“Maaf, Paman. Aira baru saja dirawat di rumah sakit,” jelas Zayyan. “Aku temani dia dulu, nanti siang kalau sempat aku ke sana.”
Paman Tukimo tidak marah, justru terdengar prihatin dan berjanji akan menjenguk Aira sore nanti.
Setelah menutup telepon, Zayyan kembali menatap Aira. “Aku urus administrasi dulu ya, Aiku.”
Aira mengangguk pelan.
Zayyan keluar dari ruang pasien. Ketika sedang berjalan di lorong, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Harry yang baru keluar dari ruang pasien sebelah. Langkah Harry tergesa, tas selempangnya bergoyang-goyang mengikuti ayunan tubuhnya. Ada ekspresi khawatir di wajahnya.
Dahi Zayyan berkerut. “Bukankah itu…?”
Rasa penasaran menyusup diam-diam. Matanya melirik papan nama kecil di depan pintu ruang sebelah. Ada empat nama pasien tercantum di sana. Tapi satu nama menarik perhatiannya:
...Kasandra Kinanthi – Usia: 47 tahun 5 bulan 10 hari | Penjaga pasien: Harry Rafardhan...
"Jadi... ibunya dirawat di sini?" pikir Zayyan, mendadak terdiam beberapa detik.
Sementara itu, jauh dari rumah sakit. Di rumah Bapak Dikromo terdengar suara seorang wanita bernada tinggi.
“Zayyan kae piye to, jare. Masih penganten anyar kok wis kakean gaya. Milih tinggal neng omahe dewe, ra gelem kumpul kene,” gerutu Ibu Sukamti, tangannya sibuk melipat pakaian, tapi wajahnya terlihat kesal.
Bapak Dikromo hanya mendesah pelan, “Makanya, buk. Jadi wong ki ojok nesu wae. Kakean omel marai bocah loro (dua) kuwi malah ora kerasan.”
“Lah pie maneh to, pak! Bocah kae ki nek tak delok mung marai atiku panas. Wajahé kuwi lho, ngelingké masa lalu sing nyesek.”
Namun ekspresinya berubah, suara gerutunya melembut saat berkata, “Tapi ya wis, kebayar. Bocah kae saiki wis sukses. Iso ngucuri aku duit saben wulan. Lumayan buat beli beras sama bedak.”
Bapak Dikromo mendongak pelan, menatap istrinya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Astaghfirullaahaladzim, buk... Buk..."
“Kok astaghfirullaah? Kui to salahmu juga, pak. Nek dulu sampean setia, aku ora kudu ngadepi semua iki!”
Bapak Dikromo terdiam. Sorot matanya meredup. Diam-diam, dia tahu, luka di hati Sukamti belum pernah benar-benar sembuh. Dan Zayyan, mungkin memang tak pernah diterima sepenuhnya. Tapi dia juga anaknya -darah dagingnya-
Sore harinya, seperti janjinya di telepon, Paman Tukimo benar-benar datang menjenguk Zayyan dan Aira di rumah sakit. Ia melangkah masuk ke lobi dengan langkah santai. Matanya yang sudah tak setajam dulu masih bisa menangkap detail-detail kecil di sekitarnya.
Saat ia melewati lorong menuju lift, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok seorang wanita di kursi roda, didorong oleh seorang pemuda yang mengenakan jaket hitam. Gerakan mereka pelan dan hati-hati.
Tukimo berhenti. Dadanya berdesir. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya.
Wajah wanita itu...
Kecantikan di masa lalu terlihat tak pernah pudar. Namun kini terlihat pucat, dan tampak rapuh. Tubuh kurusnya pun seperti dulu, tapi kini terlihat makin ringkih, seolah tubuh itu telah lama berperang dengan rasa sakit yang tak kasat mata.
Tukimo, benar-benar tercekat, "Kui lak… Kasandra Kinanthi to?"
😢💔😔