Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Dua Pernyataan
“Apakah semua yang dikatakannya benar?” tanya Martin akhirnya, matanya lurus menatap Naila.
Naila menghela napas panjang. “Saya tidak tahu Bapak mengenal Kak Vini juga. Dan waktu pertama kali Bapak membawa saya ke rumah, ada Bu Inge di sana, istri Pak Nugraha, kan?"
Ia menunduk sejenak sebelum melanjutkan, “Sebelumnya, Pak Nugraha memang mengajak saya tinggal di rumahnya. Saat itu, saya baru sampai di kota ini dan semua milik saya dirampok seseorang. Saya tidak tak menceritakan karena saya pikir hubungan kalian tidak terlalu dekat. Jadi, saya rasa itu bukan hal yang penting untuk dibuka kembali."
Martin hening sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Ya, ayah Vini berteman baik dengan almarhum papaku. Hanya sebatas itu.”
Naila mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya campur aduk antara lega, bingung, sekaligus penasaran. “Ya, aku baru tahu ternyata kalian cukup dekat."
Martin menoleh ke jendela, seolah merangkai kalimat dalam pikirannya. “Vini anak dari rekan lama keluarga kami. Waktu kecil dia sering main ke rumah.”
“Lalu, kenapa Kak Vini bicara seolah-olah kalian—” Naila menggigit bibirnya, tak berani melanjutkan.
Martin menjawab pelan, “Sejak aku menikah dengan Rianti, kami nyaris tak berhubungan lagi. Tapi setelah Rianti meninggal… dia sering datang kembali ke sini.”
Naila diam. Ada rasa yang tak bisa ia jelaskan. Entah ada perasaan aneh menyelimuti dirinya, tetapi sanggup disampaikan.
Martin kembali bertanya, “Tadi kamu bilang, kamu pernah kabur dari pernikahan?”
Naila menunduk. “Orang tua saya memaksa saya menikah, Pak. Padahal, saya ingin kuliah. Saya bahkan tidak tahu siapa pria itu, dan saya tidak suka. Saya tahu semuanya terdengar klise, tapi percaya atau tidak, saya kembalikan lagi pada Bapak."
Martin melangkah mendekat. Suaranya lebih lembut. “Aku percaya padamu, Naila. Tapi bagaimana dengan orang tuamu?”
“Mamaaa…”
Terdengar suara serak kecil dari atas brangkar. Naila dan Martin langsung menoleh.
“Mama…” Rindu menggumam pelan dalam tidurnya.
Naila buru-buru menghampiri dan mengusap lembut rambut anak itu. Rindu masih tertidur, wajahnya pucat, tapi air matanya mengalir.
“Mama… jangan pelgi. Mama…”
Suara lirih itu menampar hati Naila. Ia menggenggam tangan mungil itu erat. Hatinya tercabik. Sekilas, ia melirik jam. Sudah hampir waktu masuk kampus.
“Rindu, Kakak pergi dulu sebentar, ya. Kakak janji akan pulang cepat. Nanti kita main lagi, ya?” Ia mengecup kening Rindu, meski hatinya sungguh terasa berat untuk pergi.
Kakinya pun melangkah menuju pintu yang masih tertutup. Ia benar-benar tak menyangka, ternyata seperti ini rasanya menjalani dua tugas sekaligus, dan ia mulai merasa goyah.
Martin masih berdiri diam. Matanya tak lepas dari punggung Naila yang terus melangkah keluar ruangan. Namun langkah itu terhenti ketika suara Martin menahannya dengan lirih, “Naila…”
Gadis itu berbalik pelan. “Ya, Pak?”
Martin berjalan mendekat, kali ini tanpa ragu. “Aku tahu kamu punya mimpi. Aku tahu kamu ingin kuliah, dan aku tak akan menghalangi itu semua. Tapi Rindu… anak ini terus memanggilmu ‘Mama’ bahkan dalam sakitnya ini."
"Aku, sebagai ayahnya merasa tersiksa karena ini."
Naila terdiam. Tenggorokannya tercekat.
“Dia tak pernah memanggil siapa pun seperti itu semenjak Rianti pergi,” lanjut Martin pelan. “Aku tidak pernah berpikir akan menikah lagi. Tapi hari ini, aku semakin sadar, aku tak bisa terus membiarkan kamu menggantung anakku seperti itu."
Naila mengerjapkan matanya, mencoba memahami setiap kalimat yang terucap oleh pria dewasa di hadapannya ini.
Martin menatapnya dengan tenang, tapi dalam sorot matanya tersimpan banyak hal yang tak terucap. “Sepertinya, pernikahan ini kita percepat saja. Agar anakku benar-benar bisa leluasa memanggilmu dengan 'Mama!' Hari ini, kita harus menikah!"
Naila membeku di tempat. Matanya membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Hari ini? Sa-saya belum siap, Pak. Ta-tapi pernikahan aku—"
“Aku tahu ini sulit. Ini demi Rindu, demi Reivan yang benar-benar sangat membutuhkan kamu. Dan seperti janjiku, masa depanmu tak akan kuhalangi.” Martin menjawab dengan datar.
“Ini akan kita rahasiakan. Semua akan tetap berjalan. Kuliahmu, cita-citamu… Aku tidak akan mencampuri apa pun itu."
Naila menggigit bibirnya, dadanya sesak. Antara takut, bingung, dan kacau.
“Aku lakukan ini karena aku percaya, kamu satu-satunya yang bisa menghidupkan rumah kami setelah keperdian mama mereka.”
Air mata mengambang di pelupuk Naila.
Martin menambahkan, “Aku akan urus semuanya. Kamu hanya perlu mengangguk.”
Lama Naila terdiam bergejolak di dalam. Ingatan akan lari dari pernikahan kembali muncul dalam ingatan. Impiannya menjadi seorang jaksa seakan menjadi biram dan hitam.
"Mamaa ...."
Suara kecil itu kembali terdengar. Naila memeluk dirinya sendiri dengan linangan air mata ia menganggukan kepala seakan dunia tak memberinya pilihan.
...****************...
Naila kembali duduk di antara mahasiswa baru lainnya. Di hadapan mereka, tengah berkumpul jajaran dosen yang akan menjadi tim pengajar jurusan mereka. Di sana, ia melihat sosok yang dengan seketika membangkitkan ingatan kala ia susah dulu.
"Pak Nugraha?"
Akhirnya Naila bertemu dengan pria yang menolongnya dulu. Mereka berbincang beberapa saat dan saling bertukar kontak.
Seperti biasa, Pak Nugraha masih ramah seperti terakhir kali berjumpa dengannya.
"Nanti kalau ada masalah, segera hubungi saya. Jangan kamu pendam sendiri. Anggap saya sebagai keluargamu di antara orang-orang asing di sekelilingmu," ucap Pak Nugraha bersahaja.
"Baik, terima kasih, Pak." Naila menganggukan kepalanya dengan hormat.
Acara penutupan ospek pun usai dan Naila diajak kawan-kawan barunya untuk menikmati masa ini dengan jalan-jalan di mall.
'Tapi, aku sudah berjanji untuk segera kembali pada Rindu,' Naila bergejolak di dalam batin.
"Ayo, Nai ... Kenapa bengong gitu? Jarang-jarang lho, kita bisa kayak gini. Tak terima alasan tak punya duit bagi anak yang dapat beasiswa," ucap Azwa sedikit melonjak merangkul lengan Naila seolah menyeret gadis itu mengikutinya.
Para mahasiswa baru itu terlihat ceria seakan lepas dari beban. Saat ini sedang berkeliling sebuah pusat perbelanjaan yang kebetulan berada tak jauh dari kampus.
Tak lama, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponsel Naila. Ternyata, dari Marvel yang mengirimkan gambar berbentuk hati.
"Woi, Om-Om tampan ini hanya mau bilang, I love you. Kamu gak usah kuliah aja lah. Nikah yuk. Ga kuat kayaknya nungguin kamu tamat."