Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktu yang Terbatas
Andika duduk di sofa ruang tamunya. Tubuhnya terasa lemas. Penglihatannya tentang Raka masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Ia melihat dengan jelas, darah mengalir deras di lantai, napas Raka tersengal, dan sesuatu, atau seseorang, berdiri di dekatnya, tak terlihat wajahnya.
Raka yang ikut bersama nya ke apartemennya.
"Jadi, gue bakal mati seperti itu?" suara Raka memecah keheningan.
Andika mengangkat wajahnya, menatap pemuda yang duduk di seberangnya. Sejak Andika menceritakan penglihatannya, Raka tampak tenang, mungkin terlalu tenang. Tidak ada kepanikan, tidak ada ketakutan berlebihan seperti yang Andika bayangkan.
"Apakah dia tidak takut?" tanya Andika dalam hati.
"Gue nggak tahu kapan atau gimana itu bakal terjadi," Andika berusaha menjelaskan.
"Tapi yang jelas, lo dalam bahaya." lanjut Andika.
Raka menyandarkan tubuhnya ke sofa dan menarik napas panjang. Matanya menatap langit-langit seolah mencari jawaban. "Kalau gitu, bukankah kita harus cari tahu lebih dalam lagi. Mungkin ada pola tertentu dari semua penglihatan lo."
"Pola?" Andika mengernyit.
"Ya. Mungkin ada sesuatu yang memicu penglihatan itu. Apakah ada orang lain yang lo lihat mati sebelum gue?"
Andika mengangguk pelan. "Seorang pria tua, dua hari kemudian dia benar-benar meninggal. Terus ada wanita di lobi apartemen ini. Gue nggak kenal dia, tapi dua hari setelah itu, berita kematiannya muncul di media lokal."
Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Berarti, ada selang waktu antara lo lihat kejadian itu sama kematiannya beneran?"
Andika mengangguk. "Kurang lebih begitu."
"Bukankah kita bisa manfaatin ini." ucap Raka kemudian.
"Maksud lo?" tanya Andika penasaran.
"Kalau lo bisa lihat kejadian sebelum itu terjadi, berarti kita punya waktu buat mencegahnya." jawab Raka dengan percaya diri.
Andika terdiam. Jantungnya berdegup lebih kencang. Harapan itu ada, tetapi ketakutan juga menguasai pikirannya. "Gimana kalau kita tetap nggak bisa mencegahnya?"
"Kita tetap harus coba." Raka menatapnya serius.
"Gue nggak mau mati, Dik. Kalau ada kesempatan buat mengubah nasib, gue bakal lakukan apa aja." ungkap Raka.
"Semoga saja ada." ucap Andika dalam hati.
"Gue sangat berharap ada." ucap Raka dalam hati.
Andika menghela napas panjang. Raka benar. Ia tidak bisa hanya diam dan menunggu bencana itu datang.
"Siapa yang bisa bantu kita?" tanya Andika.
Raka berpikir sejenak, lalu berdiri. "Kita harus ngobrol sama orang lain. Mungkin ada penghuni yang bisa bantu."
"Siapa?" tanya Andika penasaran.
"Pak Damar. Dia petugas keamanan malam di sini, udah kerja bertahun-tahun. Kalau ada kejadian aneh atau kematian mencurigakan, dia pasti tahu." ucap Raka tegas.
"Baik. Ayo pergi." ajak Andika.
Mereka berjalan menuju pos keamanan yang terletak di belakang apartemen. Lorong menuju tempat itu sepi, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Lampu di sepanjang lorong redup, beberapa berkedip pelan seolah akan padam.
"Apakah memang harus lewat sini?" tanya Andika.
"Ya, sebentar lagi sampai." ucap Raka.
Setibanya di pos, Raka mengetuk pintu beberapa kali.
Setelah beberapa detik, pintu terbuka, dan seorang pria berkacamata dengan seragam keamanan keluar. Damar, petugas yang mereka cari.
"Wah, lo nih... Raka, kan? Ada apa?" tanya Damar sambil melirik ke arah Andika.
Raka menganggukan kepalanya.
"Ini Andika, penghuni lantai empat. Kita butuh bantuan lo. Ada sesuatu yang aneh terjadi di sini."
Damar mengangkat alis, tapi membiarkan mereka masuk ke pos kecil itu. Ruangan itu sempit dan dipenuhi layar CCTV yang menampilkan berbagai sudut apartemen.
"Jadi, ada yang aneh?" Damar menatap mereka berdua dengan curiga.
Andika menelan ludah, lalu menceritakan semuanya, penglihatan yang ia alami, kematian yang terjadi setelahnya, dan yang terbaru, penglihatannya tentang Raka. Wajah Damar berubah serius saat mendengar cerita itu.
"Gue nggak tahu harus percaya atau nggak," katanya akhirnya.
"Tapi beberapa bulan terakhir, memang ada kejadian aneh di apartemen ini. Bukan cuma kematian, tapi juga laporan dari penghuni yang ngaku lihat sosok aneh berkeliaran di lorong atau balkon mereka."
"Sosok aneh?" Raka menajamkan telinganya.
"Ya, bayangan hitam tanpa wajah," jawab Damar pelan. "Biasanya muncul di lantai tiga dan empat."
Andika merasakan bulu kuduknya meremang. "Gue juga lihat sosok itu... dalam penglihatan gue. Dia selalu ada di dekat orang yang bakal mati."
Mereka bertiga terdiam. Hanya suara dengungan AC di ruangan kecil itu yang terdengar.
"Lo tau nggak, Andika?" Damar akhirnya membuka suara lagi.
"Sebelum lo pindah ke lantai empat, ada penghuni sebelumnya yang..."
Damar terhenti saat suara ketukan terdengar dari jendela pos keamanan. Ketukan yang keras dan mendadak.
Raka dan Andika tersentak. Damar langsung berdiri dan mengintip ke luar jendela, tapi lorong luar kosong.
"Nggak ada siapa-siapa," gumamnya.
"Gue rasa kita harus balik ke apartemen sekarang," kata Raka dengan nada gelisah.
Saat mereka berjalan kembali ke dalam gedung, Andika merasakan sesuatu yang janggal. Udara di koridor terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu-lampu berkedip pelan.
Mereka naik lift bersama-sama, dan tepat saat pintu hampir tertutup, seorang wanita masuk.
Wajahnya terlihat pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia berdiri di samping Andika, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Andika menoleh sekilas ke arahnya, dan langsung menyesalinya.
penglihatan itu datang tanpa peringatan.
Wanita itu… akan mati.
Ia melihatnya jatuh dari balkon lantai empat. Matanya kosong, tubuhnya membentur tanah dengan suara yang mengerikan. Darah merembes dari kepala dan mulutnya.
Andika tersentak, tangannya mencengkeram besi pegangan lift.
"Lo nggak apa-apa?" bisik Raka.
Wanita itu menoleh ke arah mereka dan tersenyum kecil.
"Gue nggak apa-apa," jawab Andika, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu… waktu wanita itu hampir habis.
Dan itu berarti, mereka tidak punya banyak waktu untuk menghentikannya.
Andika menelan ludah. "Lo tahu siapa dia?" tanyanya pelan pada Raka.
Raka mengintip wajah wanita itu sekilas, lalu menggeleng. "Nggak yakin. Mungkin penghuni baru."
Andika menatap layar di lift, angka 4 menyala merah. Pintu terbuka, dan wanita itu melangkah keluar lebih dulu. Ia berjalan menuju lorong apartemen dengan langkah lambat.
"Dia tinggal di lantai yang sama sama lo, Dik," gumam Raka.
Andika mengepalkan tangannya. "Kita harus cari tahu siapa dia."
Raka melirik ke arah wanita itu, yang kini sudah memasukkan kunci ke pintu apartemennya. "Dan lebih penting lagi... kita harus cari cara supaya dia nggak jatuh dari balkon."
Andika mengangguk. "Kita harus buru-buru. Waktu kita terbatas."
Namun, di dalam hatinya, ia bertanya-tanya.
Siapa sosok bayangan hitam yang selalu muncul di penglihatannya?
Dan yang lebih penting...
Apa dia bisa menghentikan kematian yang sudah terlihat jelas di depan matanya?
ke unit lantai 7