Aisyah, seorang istri yang selalu hidup dalam tekanan dari mertuanya, kini menghadapi tuduhan lebih menyakitkan—ia disebut mandul dan dianggap tak bisa memiliki keturunan.
mampukah aisyah menghadapi ini semua..?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prettyaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Toko bunga
Di Toko Bunga Aisyah
Aisyah tengah sibuk menata bunga di etalase tokonya ketika lonceng pintu berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk. Ia menoleh dan mendapati ibu Farhan berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Ibu?" Aisyah tersenyum sopan, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit gugup. Kedatangan ibu Farhan tidak pernah membawa kabar baik.
Ibu Farhan melangkah masuk dengan anggun, matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Aisyah. "Sepertinya kau benar-benar sibuk dengan toko ini, ya?" Nada suaranya terdengar sinis, membuat Aisyah sedikit menegang.
"Ya, Bu. Alhamdulillah, pesanan semakin banyak. Saya bersyukur bisa mengurus ini sendiri," jawab Aisyah, berusaha tetap ramah.
Ibu Farhan mendekat, tangannya menyentuh kelopak bunga mawar yang segar. "Bunga-bunga yang indah… Tapi apakah kau tahu, Aisyah? Seindah apa pun bunga, kalau tidak bisa berbuah, pada akhirnya ia akan layu dan dilupakan."
Aisyah terdiam, memahami arah pembicaraan ini. "Bu… jika ibu datang untuk membahas masalah itu lagi, saya harap kita bisa bicara dengan baik."
Ibu Farhan menatapnya tajam. "Baik? Lima tahun berlalu dan kau masih tidak bisa memberi keturunan untuk keluarga kami. Aku sudah cukup bersabar, Aisyah. Kau tidak berpikir bahwa Farhan pantas mendapatkan yang lebih baik?"
Aisyah menelan ludah, berusaha menahan gejolak di hatinya. "Ibu, saya dan Farhan sudah berusaha. Kami baru saja melakukan pemeriksaan dan hasilnya normal. Hanya Allah yang tahu kapan kami akan diberi keturunan."
Ibu Farhan menghela napas dramatis. "Ah, alasan yang sama lagi. Doa dan kesabaran. Tapi sampai kapan, Aisyah? Sementara Farhan semakin bertambah usia? Apa kau tidak berpikir bahwa waktu terus berjalan?"
Aisyah mengepalkan tangannya di balik meja, menahan perasaan yang bercampur aduk. "Saya mencintai Farhan, Bu. Dan saya yakin Farhan juga mencintai saya. Kami berdua percaya bahwa anak adalah rezeki dari Allah."
Ibu Farhan menyipitkan matanya. "Cinta saja tidak cukup dalam pernikahan, Aisyah. Seorang istri harus bisa memberikan keturunan, bukan hanya sibuk mengurus toko bunga."
Aisyah menatap ibu mertuanya dengan penuh tekad. "Saya mungkin belum bisa memberi ibu cucu sekarang, tapi saya adalah istri Farhan. Saya akan terus berjuang untuk mempertahankan pernikahan ini."
Ibu Farhan mendengus kecil. "Kita lihat saja sampai kapan kau bisa bertahan."
Setelah mengatakan itu, ibu Farhan berbalik dan melangkah keluar dari toko, meninggalkan Aisyah yang berdiri di tempatnya dengan perasaan campur aduk.
Ia tahu, ini belum selesai. Dan hatinya semakin resah…
Setelah kepergian ibu Farhan, Aisyah mencoba mengalihkan pikirannya dengan kembali bekerja. Ia merapikan rangkaian bunga yang belum selesai, menyusun pesanan pelanggan satu per satu. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata ibu Farhan yang menusuk hatinya.
Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan dirinya. “Aku harus tetap fokus. Aku tidak boleh goyah,” gumamnya pelan.
Namun, tangannya sedikit gemetar saat merangkai bunga. Entah kenapa, hari ini terasa lebih berat dari biasanya. Seolah semua beban yang selama ini ia tahan mulai menghimpit dadanya.
Tiba-tiba, lonceng pintu berbunyi lagi. Seorang pelanggan masuk, seorang wanita muda yang tampak bersemangat. "Kak Aisyah, pesanan buket yang kemarin sudah siap?" tanyanya ramah.
Aisyah tersenyum, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Oh, iya! Tunggu sebentar ya." Dengan cepat, ia mengambil buket yang sudah disiapkan sebelumnya dan menyerahkannya.
Wanita itu tersenyum puas. "Seperti biasa, bunga dari toko Kak Aisyah selalu indah. Semoga bisnisnya makin sukses ya!" katanya sebelum pergi.
Aisyah mengangguk, mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke meja kerjanya. Pujian tadi seharusnya membuatnya senang, tapi pikirannya tetap dipenuhi keraguan.
Apakah dirinya benar-benar cukup?
Apakah Farhan akan tetap bertahan bersamanya?
Apakah pernikahannya bisa terus berjalan seperti ini?
Ia menghela napas berat, memejamkan mata sejenak. "Ya Allah, kuatkan hatiku…" bisiknya.
Namun, di sisi lain, ia tahu… ini baru permulaan dari masalah yang lebih besar.