Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mundur selangkah
Nita dengan sangat terpaksa memilih mengaku kalah dulu.
"Maafkan aku ayah, aku berjanji tidak akan lagi membuat malu ibu dan ayah." ujarnya dengan nada suara dikecilkan.
"Kenapa kecil sekali nak? Mana terdengar ayahmu." ujar bu Tere mengelus punggung Nita.
"Sudahlah, kalian berdua pulang saja dulu. Biar nanti aku pulang dengan pal Randy." pak Guntur masih marah tapi berusaha menahan emosi nya.
"Kami pulang dengan pak RT? Tapi kalian bagaimana?" tanya bu Tere bingung.
"Kamu pulang ke rumah urus Doni dan Joni, ini sudah lewat jam makan siang. Mau makan apa mereka?" terang pak Guntur.
Bu Tere menepuk keningnya. "Astaga, aku sampai lupa, anak-anak belum ada disiapkan makan siang."
"Baiklah, kami pulang dulu. Aku akan beli nasi bungkus saja. Tadi aku titip kunci pintu rumah ke bu RT, mungkin mereka di rumah bu RT." jelas bu Tere dan berpamitan dengan suaminya dan pak Randy
Nita juga menyalim tangan ayahnya dan pak Randy lalu mengikuti bu Tere keluar mencari pak RT untuk kembali pulang.
Setelah mereka bergerak keluar halaman rumah sakit barulah pak Randy mulai berbicara kepada pak Guntur.
"Maafkan aku, jika saja aku tau akan seperti ini jadinya. Mungkin, aku tidak akan memberikan Nita kepada Tere." sesal pak Randy.
"Sudahlah, apalagi yang bisa dilakukan? Dia sudah besar di keluarga kami selama ini. Mau dipulangkan pasti tidak mungkin lagi. Kau lihat kan? Tere masih melindungi dia, padahal kesalahan Nita sudah sebesar itu. Kadang aku pikir istriku ini sedikit bodoh." ujar pak Guntur hanya menatap langit-langit.
"Aku juga tidak menyangka Ema jadi senakal itu. Memang tidak salah orangtua kita bilang dulu, anak yang lahir di luar nikah, kebanyakan selalu bermasalah." pak Randy hanya tertunduk.
"Kalau menurutku, bukan hanya faktor itu saja, juga karena faktor orangtuanya. Jika orangtuanya bermasalah, kemungkinan besar anaknya juga bermasalah." timpal pak Guntur.
"Ah, sudahlah. Mau direka-reka juga toh dia sekarang bagian keluarga kami."
"Tapi aku jadi merasa tidak enak hati, dia berulah seperti ini. Aku jadi ngeri membayangkan 5 atau 6 tahun ke depan, akan seperti apa dia nanti." pak Randy menggelengkan kepalanya.
"Entahlah, hanya Tuhan yang tau. Jika dia memang menjadi ujian kami, maka akan dihadapi saja. Dari awal sebenarnya aku sudah tidak nyaman. Tapi demi Tere, aku berusaha menerima anak ini." jelas pak Guntur sembari tetap memandang langi-langit rumah sakit.
"Haya saja sekarang aku mengkhawatirkan anakku Doni dan Joni. Kalau benar aku punya masalah di jantung, aku hanya berharap diberi umur yang panjang sampai mereka menikah kelak. Masalah Nita, aku hanya akan mengikuti saja bagaimana tindak tanduk dia." pak Guntur mengeluarkan beban hatinya.
"Aku juga akan selalu menolong keluarga kalian. Sedikit banyak ini juga campur tanganku. Aku juga berharap kau cepat sehat dan tidak menjadi penyakit yang parah." jawab pak Randy memandang pak Guntur.
"Permisi"
Sebuah suara membuat mereka tersentak dan menoleh ke arah suara.
Seorang perawat melangkah mendekat untuk memeriksa infus.
"Pak, infusnya sudah mau habis. Saya panggilkan dokter untuk memeriksa kembali kondisi bapak ya." jelas sang perawat.
"Baik suster, terimakasih banyak" jawab pak Randy.
"Sama-sama pak, sebentar ya pak." jawab sang perawat dan bergerak menuju meja jaga dokter. Mereka pun kembali bersama untuk melihat kondisi pak Guntur.
"Sebentar ya pak, saya periksa dulu." ujar dokter jaga.
"Semuanya ok sih. Denyut jantung normal lagi dan kondisi bapak juga tidak merasa pusing, berdebar atau bahkan keringat dingin kan?" tanya dokter.
"Tidak ada dokter, saya malah merasa biasa-biasa saja." jawab pak Guntur.
"Baiklah, bapak bisa pulang setelah dilepas infus ini. Saran saya, sebaiknya bapak lakukan pemeriksaan lanjutan. Kemungkinan besar ada masalah di saluran pembuluh darah ke jantung. Tapi kalau belum bisa, sebaiknya bapak menjaga pola makan, jangan terlalu banyak gorengan, bersantan dan minuman alkohol. Juga jangan merokok. Usahakan istirahat yang cukup dan hindari emosi yang meledak-ledak." helas dokter panjang lebar.
"Baik dokter, kebetulan saya bukan perokok apalagi peminum. Paling makanan saja yang akan saya jaga. Terimakasih dokter atas masukan nya." jawab pak Guntur.
"Sama-sama pak. Ada yang mau ditanyakan lagi pak?" tanya dokter.
"Tidak ada dokter." jawab pak Guntur menggeleng.
"Baiklah, selesai perawat membuka infus, bapak sudah bisa pulang. Kalau begitu saya undur diri dulu ya pak. Semoga sehat selalu pak, jangan lupa kalau bisa cek lanjutan dan jaga pola makan serta istirahatnya." ucap sang dokter dan bergerak menuju ke arah perawat lain yang menunggu dokter.
"Amin, terimakasih dokter." jawab pak Randy dan pak Guntur serempak.
"Sama-sama pak" jawab sang dokter kembali sebelum berbalik dan pergi.
"Ini pak, infusnya sudah dicabut. Kasa penutup luka ini jangan dibuka dulu ya pak." ujar sang perawat yang menutup bekas jarum infus.
"Bapak sudah bisa pulang, semua administrasi sudah selesai saat bapak masuk tadi." jelas sang perawat.
"Loh, biaya infus dan perawatan ini?" tanya pak Guntur.
"Tadi sudah dibayar oleh bapak yang membawa mobil yang mengantarkan bapak ke sini tadi. " jelas perawat.
"Oh, pak RT itu." jawab pak Randy.
"Iya, sebelum ibu nya pulang, bapak itu masuk ke dalam dan membayarkan biayanya. Bahkan berpesan kalau kurang boleh hubungi dia lagi." jelas perawat.
"Astaga, aku jadi sungkan dengan pak RT. Nanti aku akan pergi berterimakasih kepada pak RT, dan mengganti uangnya." pak Guntur bergumam.
"Baguslah kalau begitu. Jadi kita bisa pulang setelah keluar dari sini. Karena radi pergi buru-buru, tidak ada yang membawa uang." ujar pak Randy cengengesan sembari menggaruk kepala nya tidak gatal.
"Iya, sekarang kita cari taxi saja. Nanti bisa dibayar setelah sampai di rumahku." usul pak Guntur.
"Ya, kalau begitu biar aku cari dulu di luar. Kamu tunggu disini saja." pak Randy takut kalau-kalau pak Guntur kembali pingsan.
"Ngga usah, aku kuat kok berdiri. Lagian disini juga sering lewat taxi, jadi pasti tidak bakalan lama." jawab pak Guntur sembari mencoba berdiri dan merasakan tidaka da masalah apa-apa.
"Ya sudah, kita pelan-pelan saja jalannya. Nda usah buru-buru." pak Randy memelankan langkah kakinya menyamakan dengan pak Guntur.
Akhirnya mereka berdiri di luar pintu rumah sakit. Ternyata cukup banyak taxi yang berjejer di parkiran rumah sakit, menunggu penumpang.
Mereka mencari taxi terdekat dan setelah nego harga, mereka langsung naik ke taxi dan taxi itu meluncur keluar dari parkiran rumah sakit menuju ke rumah pak Guntur.