Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
makam
Happy reading guys :)
•••
Waktu menunjukkan pukul 17.00. Warna biru pada langit perlahan-lahan berubah menjadi perpaduan dari warna jingga dan merah, matahari mulai turun ke ufuk barat untuk mengistirahatkan tubuhnya. Angin sepoi-sepoi hadir, membuat para burung, dan daun-daun yang gugur dari pepohonan berterbangan mengikuti arah hembusan sang angin.
Suara kendaraan bermotor dan klakson memenuhi sepanjang jalan raya, seakan para pengendara ingin segera tiba di tempat yang sedang mereka tuju.
Di antara banyaknya kendaraan bermotor yang sedang berlalu-lalang, terlihat sebuah mobil berjenis MPV berwarna hitam sedang menurunkan kecepatan, seraya menghidupkan lampu sein kanan pertanda ingin berbelok.
Galen, yang merupakan pengendara dari mobil itu melihat jalanan di depan dan belakang secara bergantian. Setelah merasa cukup aman, ia mulai membelokkan mobil ke arah kanan, memasuki sebuah gerbang tempat pemakaman umum.
Galen membuka kaca mobil, menyapa seorang security yang menjaga tempat pemakaman, seraya menjalankan mobil secara pelan menuju parkiran.
Galen memberhentikan mobil, mematikan mesin, melepaskan seatbelt yang melindungi tubuhnya.
“Akhirnya sampai juga,” gumam Galen, melihat banyaknya makam yang ada di depan.
“Cape, Yang?” tanya Livy, mengelus punggung tangan kanan Galen yang berada di atas persneling.
Galen mengalihkan pandangan ke arah Livy, lalu menunjukkan senyuman tipis. “Sedikit, tapi gak papa, yang penting kita sampai ditujuan dengan selamat. Oh, iya, ayo, turun.”
“Vanessa masih tidur, Yang,” kata Livy, melihat Vanessa yang sedang tertidur pulas di kursi belakang melalui spion tengah.
Mendengar perkataan Livy, membuat Galen sontak menoleh ke arah belakang. Ia kembali menunjukkan senyum tipis, melihat sang adik yang sedang tertidur dengan sangat pulas benar-benar membuat dirinya menjadi sangat bahagia. Bahkan, ia sampai tidak tega untuk membangunkan Vanessa dari dalam alam mimpi.
Akan tetapi, Galen berpikir. Jika dirinya tidak membangunkan Vanessa, mereka bertiga akan berada di pemakaman ini hingga malam tiba, dan menurutnya itu tidaklah sangat baik.
Galen perlahan-lahan menggerakkan tangan kanan, menepuk pelan paha kanan Vanessa seraya memanggil nama sang adik dengan suara yang lembut dan pelan.
Vanessa menggeliat saat merasakan tepukan pada paha kanannya. Ia perlahan-lahan mulai membuka mata, menguap, dan menggosok-gosok kedua matanya seraya melihat ke sekeliling.
“Kita udah sampai, Kak?” tanya Vanessa, dengan suara yang masih sangat serak.
Galen mengangguk pelan, melihat sang adik yang masih terus menggosok-gosok kedua mata. “Iya, kita udah sampai, Dek. Kamu mau turun sekarang?”
Vanessa mengangguk pelan, seraya menggaruk hidungnya yang sedikit gatal, dan merapikan beberapa helai rambut yang menutupi matanya.
“Ya, udah, ayo, turun.” Galen melihat ke arah Livy, tersenyum tipis, lalu membuka pintu dan turun dari dalam mobil.
Galen membuka pintu belakang sejenak, mengambil beberapa plastik berisikan bunga yang telah dirinya beli, kemudian berjalan memasuki area pemakaman dengan diikuti oleh Livy dan Vanessa dari belakang.
Galen, Livy, dan Vanessa berhenti berjalan, saat sampai di makam ketiga anggota keluarga mereka.
Tatapan sendu terpampang di wajah Galen, melihat ketiga batu nisan yang bertuliskan nama-nama anggota keluarga kecilnya.
“Ma, Pa, Val, Kakak datang bareng Vanessa sama Livy,” gumam Galen, melihat ketiga batu nisan itu secara bergantian.
“Kak Vale, Mama, Papa, Adek datang,” gumam Vanessa, perlahan-lahan mulai berjalan mendekati ketiga makam anggota keluarganya, lalu berjongkok di makam milik sang mama.
Livy menggenggam tangan kanan Galen saat melihat sang tunangan hanya diam seraya terus melihat ke arah ketiga batu nisan. “Sayang, ayo, kita bersihin makam mereka.”
Galen menoleh ke arah Livy, mengangguk pelan, membalas genggaman sang tunangan, membawa perempuan itu berjalan mendekati Vanessa yang sudah mulai membersihkan makam milik sang mama.
Galen berjongkok di samping kanan Vanessa, mengelus lembut puncak kepala sang adik sejenak, lalu mulai membantunya membersihkan makam sang mama.
Sepuluh menit telah berlalu, makam milik ketiga anggota keluarga Galen dan Vanessa sudah sangat bersih.
Saat ini, Galen, Livy, dan Vanessa sedang menaburkan bunga dan menyiram ketiga makam itu menggunakan air bersih yang telah mereka beli.
Vanessa tersenyum manis, memegang batu nisan milik sang kakak. “Hai, kak, Adek di sini. Adek kangen banget sama kakak, kakak di sana lagi apa? Kakak di sana bahagia, kan? Tau gak, kak. Adek tadi udah masuk sekolah, loh. Di sekolah, Adek punya banyak temen, Kak. Ada Angel, Karin, dan kak Renata yang selalu ada buat Adek di saat adek senang dan Adek susah.”
Mendengar Vanessa yang sedang berbicara di makam Valeria, membuat Galen dan Livy sontak menatap ke arah gadis itu dengan mata berkaca-kaca seraya tersenyum tipis.
Galen menggigit bibir bawah, mengalihkan pandangan ke sembarang arah, tidak kuat melihat dan mendengar semua perkataan sang adik ke makam Valeria.
Livy yang menyadari itu menggenggam erat tangan kanan Galen, mengelus punggung tangan sang tunangan agar laki-laki itu bisa menjadi lebih tenang.
“Kak Vale, Adek pamit pulang dulu, ya, makasih udah mau denger dan ngobrol sama Adek. Adek sayang banget sama kakak.” Vanessa mencium batu nisan milik Valeria, tersenyum manis, bangun dari posisi jongkok, berbalik badan, dan berjalan mendekati tempat kedua kakaknya berada. “Kak Galen, Kak Livy.”
Galen dengan cepat menghapus air yang menggenang di area matanya saat mendengar namanya dipanggil oleh sang adik.
“Iya, kenapa, Dek?” tanya Galen, menatap wajah Vanessa dengan menunjukkan senyuman tipis.
“Kakak habis nangis?” Vanessa sedikit mengerutkan kening saat melihat kelopak mata bawah Galen yang masih basah.
“Nggak, kok, Dek,” jawab Galen, masih terus menunjukkan senyuman tipis seraya bangun dari posisi jongkoknya bersama dengan Livy.
“Kok, kelopak mata Kakak basah?” Vanessa menatap lekat kedua mata Galen.
Mendengar pertanyaan Vanessa, membuat Galen sontak memegang kelopak mata bawahnya yang masih basah menggunakan tangan kiri, lalu menghapusnya hingga kering. “Ah, ini, Kakak tadi kelilipan hewan, Dek.”
Vanessa mengalihkan pandangan ke arah Livy yang berdiri di samping Galen seraya memperbaiki beberapa helai rambutnya yang berantakan karena tertiup oleh angin sore.
“Kak, mata Kak Galen beneran kelilipan hewan?” tanta Vanessa, memastikan bahwa Galen tidak sedang berbohong kepadanya.
Livy diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Vanessa. Ia menoleh ke arah Galen, menatap mata sang tunangan, seakan sedang berkomunikasi melalui telepati.
“Iya, Dek. Tadi mata Galen kelilipan serangga,” jawab Livy, mengalihkan pandangan ke arah Vanessa dan menunjukkan senyuman tipis.
Vanessa hanya mengangguk-angguk kepala saat mendengar jawaban dari Livy. Ia menunduk, melihat makam sang mama yang telah bersih dan cantik.
“Dek, pulang, yuk, udah mau malam,” ajak Galen, melihat langit yang sebentar lagi akan berubah menjadi gelap.
Vanessa mengangkat kepala, melihat ke arah langit, lalu mengangguk sebagai jawaban.
Sebelum pergi meninggalkan area pemakaman, Galen dan Vanessa melihat ketiga makam anggota keluarga mereka secara bergantian, untuk berpamitan kepada ketiganya.
•••
Langit sore telah berubah menjadi gelap, cahaya matahari sudah pergi meninggalkan dunia, digantikan dengan cahaya bulan dan ribuan bintang yang bersinar di atas angkasa.
Di dalam mobil, Galen melihat jam tangan sejenak, kemudian kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan yang sedang mengalami kemacetan.
“Dek, malam ini kita makan di luar aja, ya,” saran Galen, perlahan-lahan mulai menginjak pedal gas saat mobil yang ada di depannya telah bergerak maju.
Vanessa yang sedang menopangkan dagu dan melihat indahnya langit malam melalui jendela mobil sontak mengalihkan pandangan ke arah sang kakak. “Iya, Kak.”
“Kamu mau makan apa, Dek?” tanya Galen, menambah kecepatan mobil saat sudah terbebas dari kemacetan.
Vanessa kembali melihat indahnya langit melalui jendela mobil. “Terserah aja, Kak. Adek ngikut.”
Galen mengangguk-anggukkan kepala, menoleh ke arah Livy yang sedang duduk seraya bermain handphone di kursi sampingnya. “Sayang, kalo kamu makan apa?”
Livy mematikan handphone, menaruh benda pipih itu ke dalam tas, lalu menatap ke arah Galen dengan raut wajah yang seperti sedang berpikir.
“Ayam bakar aja gimana?” sarah Livy.
Mata Galen melihat Vanessa melalui spion tengah. “Gimana, Dek, mau makan ayam bakar?”
Vanessa hanya mengangguk pelan sebagai jawaban tanpa mengalihkan pandangan dari indahnya langit pada malam ini.
“Oke. Jadi, malam ini kita makan ayam bakar.”
Setelah mengatakan itu, Galen kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan, seraya melihat kiri dan kanan untuk mencari warung atau restoran yang menjual hidangan ayam bakar.
Tidak ingin membuat Galen kesusahan, Livy juga ikut membantu sang tunangan dengan melihat berbagai rekomendasi tempat makan di daerah tempat mereka sekarang berada melalui internet.
Tangan kanan Livy terus men-scroll laman internet, sampai pada akhirnya ia menemukan beberapa tempat makan yang memiliki rating tinggi.
Livy tersenyum tipis, dengan segera memberi tau Galen tentang apa yang sudah dirinya temukan.
Galen melihat ke dalam handphone milik Livy sembari tetap fokus melihat jalanan di depan. Ia menyuruh sang tunangan untuk memilih salah satu tempat yang akan mereka singgahi untuk melaksanakan makan malam.
Mendengar perintah dari Galen, Livy mengangguk pelan, melihat beberapa lokasi tempat makan yang telah dirinya temukan. Hingga pada akhirnya, ia memilih sebuah warung yang lokasinya hanya berjarak sekitar 2 Km dari tempat mereka sekarang berada.
Livy kembali memberitahu Galen, lalu mulai membimbing sang tunangan ke arah tempat warung yang telah dirinya temukan.
Sepuluh menit telah berlalu, Galen memberhentikan mobil di parkiran sebuah warung makan yang terlihat cukup ramai.
“Lumayan rame, ya,” ujar Galen, mematikan mesin mobil seraya melihat ke arah warung makan.
“Iya. Soalnya katanya enak banget, Yang, ayam bakarnya, di google aja ratingnya 4,7,” sahut Livy, ikut melihat ke arah warung makan.
Mendengar perkataan Livy, Galen mengangguk-anggukkan kepala, lalu menoleh ke arah belakang, melihat sang adik yang masih terus melihat ke arah langit.
“Dek, kita udah sampai,” kata Galen.
Vanessa hanya diam, tidak menjawab perkataan Galen. Bahkan, ia pun tidak menoleh ke arah sang kakak, dan terus melihat ke arah langit.
Saat ini, di dalam otak Vanessa hanya ada sebuah kalimat yang terus menerus datang dan membuat gadis itu mau tidak mau harus berpikir cukup keras guna menemukan jawabannya.
Akan tetapi, semakin Vanessa berusaha menemukan jawaban dari kalimat itu, maka semakin ia tidak menemukannya.
Galen menepuk pelan paha Vanessa saat sang adik tidak merespons semua perkataan yang dirinya lontarkan.
“Dek, Dek, kamu kenapa?” tanya Galen, di sela tepukannya pada paha Vanessa.
Merasakan tepukan pada pahanya, membuat Vanessa sontak terperanjat dengan kedua mata melebar sempurna. Vanessa menoleh ke arah depan, dan langsung mendapati tatapan penuh kekhawatiran dari kedua kakak yang dirinya sayangi.
“Kenapa, Kak?” tanya Vanessa, dengan sangat polos.
“Kakak yang harusnya nanya gitu, kamu kenapa ngelamun? Lagi ada masalah, kah?” Galen menatap lekat wajah sang adik.
Vanessa menggelengkan kepala. “Gak ada masalah, kok, Kak. Adek cuma kepikiran soal beberapa PR yang Adek dapat tadi di sekolah.”
“PR apa, Dek? Biar nanti Kakak bantu ngerjain?” tanya Livy, seraya menggaruk pipi kanannya yang sedikit gatal.
“PR biologi sama fisika, Kak. Tapi, gak papa, Kakak gak usah bantuin, Adek bisa, kok.” Vanessa melihat sebuah warung makan yang ada di depan mobil. “Kita udah sampai, ya, Kak?”
Galen mengangguk. “Iya, kita udah sampai. Kenapa? Kamu udah laper?”
Vanessa dengan cepat menganggukkan kepala seraya mengusap lembut perutnya. “Iya, Kak. Ayo, kita makan.”
Melihat Vanessa yang masih terus mengusap perut, membuat Livy menggelengkan kepala pelan seraya terkekeh kecil, merasa sangat lucu dengan tingkah dari sang calon adik ipar.
“Ya, udah. Ayo, kita turun, Dek,” ajak Livy, di sela kekehannya.
Vanessa kembali mengangguk dengan sangat antusias, melepaskan seatbelt yang melindungi tubuhnya, membuka pintu, lalu turun dari dalam mobil.
Saat Vanessa baru saja menginjakkan kaki di tanah, terdengar suara teriakan seorang perempuan yang sedang meminta tolong.
Mendengar teriakan itu, Vanessa sontak menoleh ke arah sumber suara. Ia melebarkan kedua mata, melihat seorang gadis yang dirinya kenali sedang terlibat dalam sebuah perkelahian dengan beberapa orang preman.
To be continued :)
sering sering bikin novel kek gini ya thor😁😁