Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 2
"Ningsih, boleh ibu masuk, nak?" Bu Yati mengetuk pintu kamar Ningsih dengan perasaan bergemuruh, sedih dengan nasib anak pertamanya itu. Tak menyangka jika Ningsih telah bersuamikan laki laki kejam seperti Wandi. Meskipun bu Yati tau, kalau Wandi bukanlah laki laki yang baik, karena selama menjadi menantunya, Wandi tidak pernah sama sekali mau berbicara dengannya. Namun tak disangka jika perlakuannya pada Ningsih lebih buruk dari yang disangka.
"Masuk saja, Bu. Pintunya tidak dikunci kok." Sambut Ningsih yang langsung mengusap air matanya. Berusaha tetap bersikap baik baik saja dihadapan ibunya.
"Kamu gak papa, nak? Cerita sama ibu, jangan dipendam sendirian. Jaga pikiran dan hatimu agar tetap waras, nak." Bu Yati memeluk tubuh kurus anaknya. Ada getaran yang sulit dijelaskan di dalam hatinya kini.
"Ningsih baik baik saja kok, Bu. Ibu tidak usah hawatir begitu." Sahut Ningsih mengulas senyuman tipis. Sekuat hati menahan rasa perih yang begitu menyakitkan di dalam hatinya.
"Ibu sudah tau, Salwa barusan cerita. Jangan diam saja, nak. Jika memang sudah gak sanggup lebih baik pisah saja. Laki laki tak punya hati begitu tidak pantas untuk kamu pertahankan. Dia sudah begitu merendahkan harga dirimu sebagai seorang perempuan. Ibu tidak terima, meskipun kita ini orang miskin. Jangan diam saja jika ada yang bersikap dzalim. Kita berhak membela diri." Sahut Bu Yati panjang lebar. Mereka sejenak saling beradu tatap, airmata tak bisa lagi dibendung. Ibu dan anak saling tersedu. Sama sama merasakan sakit luar biasa di dalam hatinya.
"Tapi bagaimana dengan Salwa, Bu?
Ningsih tidak tega jika harus mengorbankan Salwa. Dan Ningsih juga belum cukup punya uang untuk membayar biaya pengadilan nantinya." Balas Ningsih sesak. Nasibnya kini benar benar diuji.
"Insyaallah, Salwa akan mengerti suatu saat nanti. Untuk biaya perceraian kita akan cari sama sama. Ibu punya tabungan meskipun hanya sedikit. Yang penting kamu bebas dari laki laki jahat seperti Wandi." Sahut Bu Yati dengan suara bergetar.
"Maafin Ningsih, Bu. Maafin sudah merepotkan ibu." Isak Ningsih yang tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menunjukkan kesedihannya.
"Kamu anak ibu, sampai kapanpun kamu adalah tanggung jawab ibumu ini. Sekarang siapkan dirimu untuk menjalani kehidupan yang baru. Apa kamu masih mencintai suami kamu?" Balas Bu Yati yang ingin memastikan perasaan anak perempuannya.
"Tidak, Bu. Perasaan ini sudah mati sebelum Salwa lahir. Mas Wandi seringkali ketahuan selingkuh dan bahkan tidak mau mencukupi kebutuhanku selama ini. Itulah kenapa aku memilih pulang kembali ke rumah ini. Aku sudah tidak sanggup lagi hidup satu atap dengannya di Surabaya." Balas Ningsih yang akhirnya jujur menceritakan apa yang terjadi di dalam rumah tangganya selama ini.
"Astagfirullah, kenapa kamu diam saja selama ini. Ibu menahan diri dengan sikap suamimu selama ini, karena ibu pikir, dia baik sama kamu. Ikuti ucapan ibu, lebih baik kalian pisah. Jaga kewarasan kamu, nak." Balas Bu Yati dengan dada kembang kempis menahan marah.
"Iya, Bu. Sekali lagi maafkan aku." Lirih Ningsih dengan air mata yang tak kunjung surut.
Pukul tujuh malam, akhirnya Wandi pulang kerumah dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Ningsih yang duduk di ruang tamu bersama Bu Yati hanya menatapnya sekilas. Sedangkan Salwa tengah asik mewarnai buku gambar di depan televisi.
"Wandi, ibu mau bicara." Tegur Bu Yati dingin, matanya menyorot tajam ke arah menantunya.
"Bicara apa, Bu? Kayak penting banget, aku masih capek mau istirahat, besok pagi pagi harus balik ke Surabaya." Sahut Wandi cuek, tanpa perduli dengan permintaan sang mertua.
"Cukup, Wandi. Kali ini saja ibu mau bicara sama kamu. Hargai ibu sebagai mertua kamu." Bentak Bu Yati geram, kesabarannya sudah habis menghadapi Wandi yang memang tidak bisa menghargainya sama sekali. Wandi yang kaget langsung berhenti, mengerutkan wajahnya menatap ibu mertuanya.
"Memangnya ada apa sih? Dan ingat ya, Bu. Dirumah ini akulah yang nyari uang buat kalian semua. Jadi tidak usah bicara tinggi sama aku. Dasar keluarga benalu." Sahut Wandi dengan entengnya. Kelakuannya semakin membuat Bu Yati di kuasai amarah.
"Apa kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi ucapan kamu itu. Apa kamu pikir, yang yang kamu berikan pada Ningsih sudah cukup banyak, hah?
Sampai sampai kamu bilang kalau dirumah ini semua makan dari uangmu itu? Jangan sombong kamu, Wandi. Uang tujuh puluh ribu satu Minggu cuma cukup apa, hah?
Mikir itu pakai otak, jangan pakai dengkul." Semprot Bu Yati tidak terima. Karena selama ini merasa sama sekali tidak pernah menumpang hidup pada menantunya itu. Bu Yati mencari uang sendiri untuk mencukupi kebutuhannya bersama Rina, adiknya Ningsih.
"Bisanya cuma minta saja kok sok sok an. Uang tujuh puluh ribu itu banyak, Bu. Kalau mau punya yang lebih banyak ya kerja. Jangan cuma bisa ngandelin aku saja." Balas Wandi yang masih tak merasa bersalah sama sekali.
"Ya ampun, Wandi. Kamu itu otaknya geser atau memang sudah rusak?
Uang tujuh puluh ribu banyak kalau itu sehari, lha ini buat satu Minggu. Anak sama istrimu sampai nahan diri gak bisa beli apa apa. Dan kamu sudah sangat menyiksa anakku selama selama ini. Lebih baik kamu ceraikan Ningsih. Biar dia tidak menderita lagi gara gara sikap kamu yang tidak tau malu ini." Bentak Bu Yati semakin geram. Dadanya naik turun dengan nafas tersengal sangking emosinya.
"Bu, sudah Bu. Nanti sakit ibu kambuh. Sudah ya, masalah Ningsih biar Ningsih selesaikan sendiri. Ningsih gak mau ibu kenapa kenapa." Ningsih memegang pundak ibunya, takut kalau penyakit darah tinggi sang ibu kambuh lagi.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Sahabat Benalu
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tempat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
gabung bcm yu
..
follow me ya thx