seorang wanita cantik yang bertemu dengan Laki-Laki tampan membuat diri nya jatuh hati, Namun sangat di sayangkan mereka memiliki perbedaan yang sulit untuk mereka bersatu selama nya. apakah cinta mereka akan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fallenzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29
Delvin masih berada di rumah Nabillah. Malam itu, setelah mereka makan malam bersama keluarga Nabillah, keduanya duduk di taman belakang rumah, menikmati suasana malam. Kursi telah disiapkan untuk mereka.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Delvin sambil memperhatikan wajah Nabillah yang tampak gelisah.
"Aku nggak nyaman, Kak, duduknya," jawab Nabillah, membuat Delvin tersenyum kecil.
"Apa aku tadi mainnya terlalu kasar?" tanya Delvin dengan nada menggoda, membuat Nabillah mengerutkan kening, bingung.
"Main apa, Kak?" balas Nabillah polos.
Delvin hanya tersenyum mendengar respons itu. Ia lalu mengambil salah satu bantal dan menyerahkannya kepada Nabillah.
"Pakai ini, Sayang, biar kamu nyaman," ucap Delvin sambil meletakkan bantal di kursi Nabillah.
"Terima kasih," ucap Nabillah tulus. Delvin tersenyum sambil menatap wajah Nabillah yang tampak alami tanpa riasan. Ia terlihat begitu cantik di mata Delvin.
Namun, seketika senyum Delvin memudar, digantikan dengan ekspresi sedih. Pikiran tentang sesuatu yang mengganggunya kembali muncul.
"Kamu kenapa? Ada masalah? Cerita sama aku," ujar Nabillah lembut, memperhatikan wajah Delvin yang terlihat penuh tekanan.
"Sedikit, Sayang," jawab Delvin jujur.
"Sini, cerita sama aku, Kak," ucap Nabillah dengan nada lembut dan perhatian.
Delvin menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya kepada Nabillah.
--- Flashback ---
Delvin memarkirkan mobilnya di garasi rumah setelah pulang dari kantor. Ia baru saja mengambil beberapa pakaian untuk anak buahnya.
Saat masuk ke dalam rumah, ketika hendak menuju kamarnya, suara abangnya, Herman, memanggilnya.
"Delvin, Mama minta kita semua kumpul di ruang keluarga," kata Herman.
Delvin hanya mengangguk, lalu mengikuti Herman menuju ruang keluarga.
Di sana, ia melihat Mama Ey, Kak Erlita, Novi, dan beberapa anggota keluarga lainnya sudah berkumpul.
"Baru pulang dari mana kamu?" tanya Mama Ey.
"Delvin baru dari kantor, Ma. Ada apa Mama mengumpulkan kita di sini?" tanya Delvin. Pertanyaannya justru membuat Mama Ey tampak sedih.
Mama Ey menghela napas panjang, memandang anggota keluarganya satu per satu sebelum berbicara.
"Papa kalian sedang sakit parah. Kita harus pulang ke kampung untuk mendonorkan darah," ucap Mama Ey dengan suara bergetar.
Novi dan anggota keluarga lainnya terkejut dan ikut larut dalam kesedihan.
"Ma, tapi Delvin tidak bisa pulang bulan ini karena Del—" belum selesai Delvin berbicara, Mama Ey langsung memotongnya.
"Kenapa? Karena Nabillah?" ucap Mama Ey tajam.
"Ma, kenapa membawa-bawa dia? Ini tidak ada hubungannya," jawab Delvin mencoba menahan emosinya.
"Kamu tahu kan, kamu dan dia berbeda agama, Delvin. KAMU TIDAK AKAN PERNAH BERSATU!" bentak Mama Ey, suaranya terdengar frustrasi.
Delvin menutup matanya, mencoba menenangkan dirinya.
"Kalau Papa mu tahu soal ini, Delvin, bagaimana perasaannya? Papa mu bisa semakin sakit," ucap Mama Ey lagi.
"Ma, bukannya Mama dulu setuju kalau Delvin bersama Nabillah?" tanya Delvin lirih.
"Nak, coba pikirkan baik-baik. Kalau keluarga kita di kampung tahu soal hubunganmu dengan Nabillah, siapa yang akan menanggung akibatnya?" ucap Mama Ey dengan nada lebih lembut.
"Ma, tapi Delvin mencintai Nabillah," ucap Delvin, suaranya hampir berbisik.
"TAPI KAMU DAN DIA BERBEDA AGAMA, DELVIN!" teriak Mama Ey, emosinya kembali memuncak.
Cherli, kakak tertua, mendekati Mama Ey dan mencoba menenangkannya. Ia memberi isyarat kepada Herman untuk membawa Delvin keluar dari ruangan itu. Herman pun segera menarik tangan Delvin keluar.
Mama Ey menatap punggung Delvin yang perlahan menghilang, air matanya tak lagi tertahan. Ia memeluk Cherli dengan erat.
"Mama juga ingin melihat dia bahagia, Nak," ucap Mama Ey dengan suara bergetar.
"Cherli tahu, Ma. Mama melakukan ini demi kebaikan Delvin," balas Cherli sambil mengelus pundak ibunya.
Novi yang melihat pemandangan itu juga ikut memeluk Mama Ey. Ia tidak sanggup melihat ibunya menangis seperti itu.
Sementara itu, di luar rumah, Herman terus menarik Delvin ke halaman.
"Apaan sih, Bang? Lepasin!" seru Delvin sambil menepis tangan Herman dengan kasar.
Herman menghela napas, menatap adiknya dengan tegas. "Delvin, Abang tahu apa yang lo rasakan."
"Apa yang Abang tahu? Nggak ada yang ngerti perasaan gue! Mereka terus menekan gue, padahal anak Mama banyak, bukan cuma gue!" ucap Delvin dengan suara lirih.
"Mereka melakukan ini demi kebaikan lo!" balas Herman tegas.
"Demi kebaikan gue? Gue nggak pernah merasa baik! Gue malah tersiksa karena mereka melarang apa yang bikin gue bahagia!"
"Lo sadar nggak? Lo sama Nabillah itu b—"
"Beda agama. Lo mau bilang itu, kan?" potong Delvin. "Gue paham, Bang. Gue tahu kalau gue sama Nabillah beda agama, tapi dia yang bikin hidup gue berwarna!"
Delvin meninggalkan Herman begitu saja.
Herman menghela napas panjang, merasa gagal sebagai kakak. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Delvin ke mana?" tanya Cherli yang baru saja keluar.
"Baru aja pergi," jawab Herman, melirik mobil Delvin yang mulai menjauh.
"Kakak jadi penasaran, seistimewa apa sih Nabillah sampai Delvin seperti itu?" ucap Cherli.
Herman menatap Cherli sejenak, tetapi tidak menjawab. Ia malah berbalik masuk ke dalam rumah. Dalam hati, Herman mengakui Nabillah memang gadis yang sempurna, tetapi ia sadar, Nabillah sudah menjadi bagian dari hidup Delvin.
TBC...