Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEKALI MENJADI AKRAB- ARVAN
Di lantai dua sebuah kafe besar bergaya klasik, Clarissa duduk menyendiri di dekat tepi balkon. Ia ingin menikmati hembusan udara segar sambil mengamati pemandangan jalanan yang ramai di bawahnya.
Di tangan kanannya, ia menggenggam ponselnya yang layarnya masih menyala, menampilkan sebuah foto. Foto itu diambilnya diam-diam kemarin, saat tanpa sengaja ia memergoki Adara dan Leon tengah berdua di taman. Pikirannya masih dipenuhi berbagai pertanyaan, sementara matanya terus terpaku pada gambar yang membuktikan apa yang telah ia lihat sendiri.
Clarissa meremas tangannya dengan geram, berusaha menahan gejolak kemarahan yang sudah membara di dalam hatinya. Ia ingin segera meluapkan semuanya di depan Adara, menegaskan posisinya tanpa ragu. Namun, ia sadar betul bahwa Adara tidak akan begitu saja menemuinya. Wanita dingin bak batu itu bukan tipe yang mudah tunduk pada permintaan siapa pun.
Clarissa memijat pelipisnya, menundukkan kepala sejenak untuk meredakan emosinya. Namun, suara samar dari kursi di sampingnya menarik perhatiannya. Ia spontan mendongak, matanya langsung tertuju pada sosok yang kini berada begitu dekat dengannya.
Clarissa memejamkan mata sejenak, mencoba mengendalikan perasaannya yang semakin kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan, seolah berusaha mengusir beban yang menghimpit dadanya. Namun, begitu matanya kembali terbuka dan melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya, beban itu justru terasa semakin berat.
"Arvan…" katanya lirih, hampir seperti gumaman. Lagi-lagi pria itu. Mantan kekasihnya yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya, seseorang yang seharusnya sudah terkubur dalam kenangan.
Clarissa kembali menunduk lesu, menatap layar ponselnya tanpa benar-benar melihatnya. Kenapa di saat seperti ini, ketika pikirannya sudah dipenuhi masalah pernikahannya dengan Leon—masalah yang berakar pada kehadiran Adara—ia malah harus berurusan lagi dengan pria ini? Seakan semua hal dari masa lalunya bersekongkol untuk mengusik ketenangan yang nyaris tidak pernah benar-benar ia miliki.
"Hai, Clarissa sayang." Arvan menyapa dengan nada santai, lalu tanpa ragu menarik kursi dan duduk di sampingnya.
Clarissa tidak langsung menanggapi. Ia hanya diam, matanya tetap tertuju ke depan, sementara tubuhnya terasa semakin lelah. Bahkan untuk sekadar berkoar dan mengusir pria itu pun ia tidak memiliki tenaga. Lagipula, ia tahu Arvan bukan tipe yang mudah disuruh pergi. Semakin diusir, semakin ia akan bertahan.
"Mau apa lagi?" suara Clarissa akhirnya terdengar, pelan namun tegas. Tatapannya tetap lurus, enggan menoleh ke arah pria itu. "Aku sedang banyak masalah, jadi jangan menambahnya, Arvan."
Nada suaranya tidak mengandung kebohongan sedikit pun. Ada ketegasan dan ketajaman yang tidak bisa diabaikan, seolah ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan pria itu saat ini. Namun, seperti yang sudah diduganya, Arvan hanya tersenyum kecil, sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-katanya.
Arvan tersenyum dengan ekspresi bermain-main. "Ck ck ck, pria itu benar-benar tidak bisa membahagiakanmu," katanya dengan nada bercanda dan usil. "Lihat saja keriput di bawah matamu, jelas kau sedang banyak pikiran."
Clarissa mendengus pelan lalu membuang muka, malas menanggapi. Ia tahu Arvan hanya ingin mengusiknya seperti biasa, dan ia terlalu lelah untuk membuang energi meladeni pria itu.
"Pergilah! Aku sedang tidak ingin diganggu!" ucapnya, kali ini dengan suara yang lebih kuat. Ia berharap setidaknya nada tegasnya bisa membuat Arvan berpikir dua kali untuk tetap di sini. Namun, bukannya gentar, pria itu justru semakin tersenyum, seakan menikmati reaksi Clarissa.
"Bahkan saat kau sedang banyak masalah dan marah seperti ini, kau masih terlihat sangat cantik," ucap Arvan sambil mengangkat tangannya, berniat mengelus dagu Clarissa. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh kulitnya, Clarissa dengan sigap menepisnya, membuat Arvan tertawa kecil seolah sama sekali tidak merasa tersinggung.
"Arvan!" seru Clarissa dengan nada tajam, tubuhnya langsung berdiri karena sudah tidak tahan dengan tingkah pria itu yang semakin keterlaluan.
Arvan hanya tertawa kecil, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. Ia mengangguk ringan sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, baiklah. Aku akan berhenti. Aku tidak akan macam-macam lagi, kok." Ia lalu menyilangkan kedua lengannya di dada, bersandar santai di kursinya. "Duduklah, aku ingin mendengarmu," lanjutnya dengan ekspresi serius yang sulit dipercaya sepenuhnya.
Clarissa menghela napas berat. Pria ini benar-benar menyebalkan!
Namun, entah kenapa, meskipun kesal, ia tetap menuruti ucapannya. Ia kembali duduk, menatap Arvan dengan pandangan lelah dan penuh kebimbangan. Kata-kata yang sejak tadi hanya berputar di pikirannya akhirnya keluar begitu saja. "Aku sedang dalam masalah!" ucapnya dengan nada frustrasi, tanpa menyadari bahwa ia baru saja memulai percakapan yang selama ini berusaha ia hindari.
Arvan tersenyum miring, sorot matanya penuh ketertarikan yang sulit diartikan. "Hm? Benarkah?" Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, mencoba membaca ekspresi Clarissa lebih dalam. "Apa masalahmu, baby?" tanyanya dengan nada menggoda, meskipun di balik suaranya yang terkesan main-main, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan matanya—seakan ia benar-benar ingin tahu, benar-benar ingin memahami.
Clarissa menelan ludah, dadanya terasa sesak. Jari-jarinya secara refleks meremas ujung bajunya sendiri, seolah itu bisa membantunya menahan gejolak perasaan yang kini bergemuruh dalam hatinya. Ia tidak terbiasa membicarakan hal seperti ini, apalagi kepada Arvan, pria dari masa lalunya yang seharusnya tidak lagi memiliki tempat dalam kehidupannya sekarang. Namun, untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan, kata-kata itu terasa begitu berat sekaligus mendesak untuk keluar.
"Masalah pernikahanku," gumamnya akhirnya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya, hampir seperti bisikan.
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan jeda yang seakan memperlambat waktu. Seolah butuh begitu banyak keberanian untuk mengakuinya, untuk mengucapkan sesuatu yang selama ini ia tahan sendiri. Clarissa menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya yang mulai menunjukkan ketidakseimbangan antara ketegaran dan kerapuhan. Namun, ia tahu, Arvan tidak akan mudah tertipu. Ia selalu memiliki cara untuk melihat apa yang tersembunyi di balik kata-kata seseorang.
Ekspresi Arvan sedikit berubah. Matanya menajam, ada kilatan emosi yang sulit ditebak di sana. "Pernikahanmu?" ulangnya pelan sebelum akhirnya bersandar lebih dekat. "Apa yang pria itu lakukan padamu? Apa dia melukaimu, baby?" tanyanya, suaranya kini terdengar lebih serius, lebih dalam, bahkan ada nada khawatir yang tersirat di sana.
Clarissa tidak langsung menjawab. Ia menunduk, bibirnya sedikit bergetar. Isakan pelan mulai terdengar dari tenggorokannya, bahunya bergetar, seiring dengan emosi yang semakin sulit ia bendung.
Arvan tidak mengatakan apa-apa lagi. Tanpa ragu, ia menarik tubuh Clarissa ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu bersandar di dadanya. Tidak ada perlawanan dari Clarissa. Ia tidak menghindar, tidak memberontak. Untuk beberapa saat, ia hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.
tinggal tunggu ibunya hancur n papa juga saudara laki² nya hancur juga.