Alexa tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam. Tanpa pilihan, ia harus menikah dengan Angkasa-pria yang nyaris asing baginya. Bukan karena permintaan keluarga, bukan pula karena cinta, tetapi karena sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan.
Alexa terjebak dalam kehidupan yang tak pernah ia inginkan, tapi semakin ia mencoba memahami pria itu, semakin banyak hal yang tak masuk akal dalam pernikahan mereka.
Di balik sorot mata tajam Angkasa, ada sesuatu yang tersembunyi. Sebuah kebenaran yang perlahan mulai terungkap. Saat Alexa mulai menerima takdirnya, ia menyadari bahwa pernikahan ini bukan sekadar ikatan biasa-ada janji yang harus ditepati, ada masa lalu yang belum selesai.
Namun, ketika semuanya mulai masuk akal, datanglah pilihan: bertahan dalam pernikahan yang penuh teka-teki atau melepaskan segalanya dan menghadapi konsekuensinya.
Di bawah langit yang sama, akankah hati mereka menemukan jalan untuk saling memahami? Atau pernikahan ini hanya menjadi awal da
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vin97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan
Alexa mematung, menatap dokumen itu dengan tatapan kosong.
"Tidak ada pendaftaran pernikahan?"
"Tunggu... maksudmu, kita tidak benar-benar menikah?" tanya Alexa, suaranya bergetar.
Angkasa menatapnya dalam. "Apa kau kecewa?" tanyanya.
Alexa menghela napas, mencoba menahan emosinya. "Kalau tidak serius menikah, kenapa tidak kau katakan dari awal? Jika ini hanya pura-pura, cukup aku saja yang tahu. Kenapa kau memberi tahu ibuku seolah kita akan benar-benar menikah?"
Nada suaranya terdengar kesal.
"Siapa bilang kita tidak benar-benar menikah?" Angkasa justru balik bertanya, seolah meragukan pernyataan Alexa yang begitu menggebu.
"Di sini... tidak ada pendaftaran pernikahan. Itu berarti kita tidak benar-benar menikah, kan?" Alexa menegaskan.
"Kita tetap menikah. Keluargamu dan keluargaku, mereka akan bertemu, kita menggelar resepsi. Bukankah itu pernikahan sesungguhnya?" Angkasa menjelaskan.
"Tapi... aku tidak akan mendaftarkan pernikahan ini secara sah di negara."
Alexa terdiam sesaat sebelum akhirnya bertanya, "Kenapa?"
Angkasa bersedekap. "Akan sangat merepotkan jika kita harus mengakhiri pernikahan ini. Aku bukan orang yang suka dipersulit."
Alexa menunduk, pikirannya berputar. Jika pernikahan ini didaftarkan, lalu mereka berpisah, itu pasti akan menyulitkan. Ada banyak hal yang harus diurus.
Lalu, ia sadar... pernikahan tanpa pendaftaran tidak terlalu merugikannya saat ini.
"Jika tidak ada lagi yang ingin kau tanyakan, tanda tangani segera." Angkasa menyodorkan pena.
Alexa menatapnya tajam. "Bagaimana dengan larangan untukku membatalkan perjanjian ini? Maksudmu, kau boleh membatalkannya, tapi aku tidak?"
Angkasa tersenyum tipis. "Ada beberapa hal yang perlu kau pahami. Kau mendapatkan uang dariku, dan kau masih ingin membatalkan perjanjian ini?"
Alexa menghela napas. "Aku tidak selicik itu. Aku akan membayar apa yang menjadi utangku."
"Tapi aku hanya merasa ini tidak adil. Kenapa hanya kau yang boleh mengakhiri perjanjian ini, sedangkan aku tidak?"
"Perjanjian ini didasarkan pada fakta bahwa aku membiayai seluruh operasi ibumu. Dengan kata lain, aku memiliki hak paling penting dalam kesepakatan ini."
"Dan kau tidak perlu merasa dirugikan. Kau tidak kehilangan apa pun."
Angkasa menatapnya tajam sebelum melanjutkan, "Kau hanya perlu duduk diam di rumah dan melayaniku sebagai seorang suami. Semudah itu."
Alexa terperanjat. "Melayani? Tunggu! Aku harus melayanimu?" tanyanya dengan ekspresi kaget.
Angkasa tersenyum samar, seolah menggoda. "Kenapa? Bukankah inti dari pernikahan seperti itu?"
Bruk!
Alexa memukul meja, berdiri dengan wajah merah padam.
Angkasa tetap tak tergoyahkan. Ia menatap Alexa, seolah menunggu jawaban darinya.
Alexa mengepalkan tangannya. "Bisakah kita melewati hal itu... Kita tidak benar-benar menikah..." suaranya bergetar.
"Menyiapkan sarapan dan kopi pun kau tidak mau?" Angkasa mengangkat alis.
Alexa terdiam. "Apa?" Baru sekarang ia sadar bahwa apa yang ia pikirkan berbeda dengan yang dimaksud Angkasa.
Ia menghela napas dan kembali duduk. "Jika hanya itu..." ia mengambil pena di meja dan menandatangani dokumen itu dengan sadar.
Tak lama, Aditya mengambil dokumen tersebut dan menyimpannya dengan rapi. Sementara itu, Angkasa bangkit dari tempat duduknya.
"Tugas pertamamu nanti akan kuhubungi. Siapkan waktumu."
Setelah mengatakan itu, ia pun pergi, meninggalkan Alexa yang masih terpaku di tempatnya.
---
Matahari sore menembus jendela rumah sakit, cahayanya jatuh lembut di lantai putih yang mengilap. Langit tampak mulai berubah warna, menandakan bahwa senja hampir tiba. Alexa melangkah melewati lorong rumah sakit dengan langkah pelan, menyapa beberapa perawat yang ia temui sebelum akhirnya sampai di depan kamar inap ibunya.
Ia membuka pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara yang mengganggu. Di dalam, ibunya tertidur dengan wajah damai. Napasnya terdengar teratur, membuat Alexa sedikit lega. Namun, saat ia melangkah lebih dekat, mata sang ibu perlahan terbuka.
"Alexa..." suara ibunya lirih namun penuh kehangatan.
Alexa tersenyum, lalu mendekat. "Bu? Apa aku membangunkanmu?"
Sang ibu menggeleng pelan. "Dokter bilang keadaan ibu sudah membaik. Jadi, kapan ibu bisa pulang?"
Alexa duduk di tepi tempat tidur, lalu mulai memijat kaki ibunya dengan gerakan lembut. "Sudah membaik belum tentu diizinkan pulang, Bu. Kita tunggu saja info dari dokter, ya?"
Ibunya mengangguk kecil, lalu menatap Alexa dengan sorot mata penuh perhatian. "Nak, ibu sering mendengar kamu memanggil Angkasa dengan 'Pak'. Kenapa?"
Alexa sempat terdiam sebelum menjawab, "Aku hanya terbiasa memanggilnya begitu, Bu."
Ibunya tersenyum tipis. "Tadi ibu bicara apa dengan Angkasa?"
"Ibu hanya memintanya untuk menjaga kamu. Jika suatu saat dia tidak lagi mencintaimu... ibu meminta dia mengembalikan kamu pada ibu."
Alexa menahan napas, merasa dadanya sesak.
"Tapi ibu yakin, pria seperti Angkasa tidak akan membuatmu sedih."
Mendengar kalimat itu, hati Alexa terasa semakin berat. Ia menatap wajah ibunya yang tampak bahagia, sementara pikirannya dipenuhi kebimbangan. Apa yang akan terjadi jika ibunya tahu bahwa tidak ada pernikahan yang sesungguhnya?
Ia menggenggam tangan ibunya erat, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Maafkan aku, Bu... maafkan aku sudah mengecewakanmu," batinnya.
Sore itu, Alexa tetap di samping ibunya. Ia ingin menikmati momen ini sejenak, sebelum kembali menghadapi kenyataan yang menunggunya di luar sana.
---
Di sebuah rumah megah, cahaya lampu gantung kristal menerangi ruang makan yang luas, memantulkan kilauan lembut ke dinding berlapis marmer. Di luar jendela besar, langit malam terbentang gelap dengan bintang-bintang yang sesekali muncul di antara awan. Angin malam berembus pelan, menggoyangkan tirai tipis yang menjuntai di sudut ruangan.
Interior ruang makan tampak elegan, meja panjang berlapis kain satin dihiasi lilin-lilin kecil yang menyala temaram, memberikan suasana yang lebih hangat di tengah kemewahan. Aroma hidangan yang baru saja dihidangkan menguar di udara, menggoda selera.
Di meja itu, keluarga Bima Mahardika Dewantara sudah duduk di tempat masing-masing, menikmati makan malam dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh dentingan sendok dan garpu.
Para pelayan bergerak dengan cekatan, menyusun hidangan makan malam di atas meja panjang yang sudah tertata rapi. Aroma masakan yang menggoda memenuhi ruangan, mengisyaratkan kemewahan keluarga yang tinggal di rumah itu.
Keluarga Bima Mahardika Dewantara telah duduk di kursi mereka, bersiap menikmati makan malam.
Pak Bima, pria paruh baya dengan sikap tegas dan wibawa yang kuat, melirik putranya sebelum akhirnya bertanya, "Bagaimana proyek yang sedang kamu kerjakan, Angkasa?"
Angkasa menaruh sendoknya sebentar, lalu menjawab dengan tenang, "Tidak ada kendala, Pah. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, proyek ini bisa selesai tepat waktu."
Pak Bima mengangguk kecil, matanya tetap fokus pada hidangan di hadapannya. "Bagus. Kalau proyek ini selesai, ada beberapa proyek lain yang bisa kamu tangani. Nilainya tidak kalah besar dari yang sekarang."
"Baik, Pah."
Clarissa, ibu Angkasa dan Elisabeth, menghela napas pelan sambil menatap suaminya. "Saat makan saja masih sibuk membicarakan pekerjaan," komentarnya dengan nada sedikit protes.
Pak Bima tersenyum kecil. "Kita tidak bisa melewatkan kesempatan ini, Mah. Kapan lagi bisa bicara dengan anak laki-lakimu ini? Bahkan di kantor pun papa sulit menemuinya."
Angkasa yang sejak tadi makan dengan tenang tiba-tiba meletakkan sendok dan garpunya. Ia menegakkan tubuh, menatap kedua orang tuanya dengan sorot mata serius.
"Sebelumnya, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada Papa, Mama, dan Elisabeth."
Suasana di meja makan berubah hening. Elisabeth, adik perempuannya yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mengangkat kepala, tertarik dengan perkataan kakaknya.
"Soal apa?" tanya Clarissa, kini menatap putranya dengan ekspresi lebih serius.
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Angkasa tampak mempertimbangkan kata-katanya, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya tidak akan menimbulkan perdebatan panjang.
Akhirnya, dengan nada mantap, ia berkata, "Aku akan menikah."
Ruangan mendadak terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Clarissa dan Elisabeth saling berpandangan, sementara Pak Bima menatap putranya dengan mata penuh pertimbangan.
"Kamu bilang apa?" suara Clarissa terdengar setengah terkejut, setengah tidak percaya.
"Aku akan menikah," ulang Angkasa, kali ini dengan lebih tegas.
Clarissa masih terdiam, tetapi Elisabeth yang kini menatap kakaknya dengan penuh rasa ingin tahu akhirnya bertanya, "Dengan siapa?"
---
To Be Continued..