Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29 Bebas
“Mama, papa, Zio mau pulang. Zio takut tante jahat ngamuk.”
Enzio masih duduk di sudut ruangan kecil dan gelap dengan mata bengkak karena menangis.
Suara teriakan Laras yang membahana di ruangan pengap itu membuat tubuh mungilnya gemetar ketakutan.
Laras benar-benar terlihat seperti wanita yang kehilangan kewarasan, mengacungkan pisau di tangannya sambil melangkah mendekati Enzio.
“Berhenti menangis bocah sialan! Suaramu membuat telingaku sakit! Kamu ini laki-laki, kenapa begitu manja!” Laras terus memaki.
Sorot mata Laras penuh amarah, sementara tangannya gemetar memegang pisau.
Enzio menangis semakin kencang, tubuh kecilnya menggigil ketakutan.
“Zio mau mama sama papa! Zio mah pulang! Zio nggak suka tante jahat!” isaknya.
“Dasar bocah ini!” tiba-tiba ponsel Laras berdering. Ia melirik layar ponselnya dengan cepat dan mengangkatnya.
Suara dari salah satu anak buahnya terdengar cemas, memberitahukan bahwa Adrian telah mengetahui lokasi persembunyian mereka. Laras terkejut, wajahnya langsung berubah panik.
“Bagaimana mungkin dia tahu? Siapa yang membocorkan tempat ini pada suamiku?!” teriak Laras, membanting ponsel ke lantai hingga hancur.
Dengan penuh emosi, Laras melemparkan pisau yang tadi diacungkannya ke dinding. Ia sadar bahwa dirinya tidak punya banyak waktu lagi.
Dia harus segera kabur sebelum Adrian datang dan menangkapnya. “Aku tidak boleh tertangkap! Tidak sekarang!” gumamnya dengan napas tersengal, lalu bergegas keluar dari ruangan itu melalui pintu lain, meninggalkan Enzio sendirian.
Tak lama setelah Laras pergi, Pras dan Ayah Laras masuk ke ruangan. Keduanya terkejut melihat Enzio yang menangis ketakutan dan juga Laras yang sudah tidak ada di sana.
“Mana Laras?” tanya Ayah Laras dengan wajah tegang, matanya berkeliling mencari putrinya.
“Sepertinya putri anda kabur,” gumam Pras. Ia langsung berlutut untuk melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki Enzio. “Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Pras dengan suara lembut.
Enzio mengangguk. “Om siapa?”
“Om teman papa kamu.” Pras membopong Enzio. Ia tahu, kalau saat ini batin Enzio pasti terguncang karena ulah Laras.
Tepat saat itu, pintu ruangan terbuka lebar. Adrian masuk dengan langkah cepat, diikuti oleh Kania yang langsung menangis melihat putranya.
“Enzio!” teriak Kania.
“Mama, Papa.” Enzio turun dari gendongan Pras.
Kania langsung berlari dan memeluk erat tubuh mungil putranya. Ia memeluk Enzio sambil menangis terisak, membelai rambut bocah itu dengan penuh kasih.
“Maafkan mama, maaf…” tangisan Kania pecah.
“Mama jangan nangis. Zio gapapa. Zio senang bisa lihat mama sama papa,” ucap Enzio dengan tubuh gemetar, tapi masih mencoba menenangkan ibunya.
Tangannya yang kecil menghapus air mata Kania yang terus mengalir di pipi.
Adrian berdiri beberapa langkah di belakang mereka, matanya menatap Ayah Laras dengan penuh kemarahan. “Jadi semua ini adalah ulah putrimu?! Bahkan kematian nenek juga ada hubungannya dengan Laras?”
Ayah Laras menundukkan kepala, merasa malu. “Adrian, papa minta maaf. Papa tidak tahu kalau Laras akan bertindak sejauh ini. Papa benar-benar menyesal,” katanya dengan nada tulus. “Soal nenekmu, papa tidak tahu. Karena menurut berita yang beredar dia meninggal karena kecelakaan, bukan?”
permintaan maaf itu tidak melunakkan hati Adrian. Apalagi saat lelaki itu menyangkal tentang kematian neneknya yang berhubungan dengan Laras.
“Permintaan maafmu tidak cukup! Laras telah menculik anakku dan membuat keluargaku menderita! Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di pengadilan! Aku tidak peduli dia putrimu atau siapa pun. Kupastikan Laras akan masuk penjara!” ucap Adrian tegas.
“Lalu soal nenek, aku sudah mendapatkan barang bukti hanya saja selama ini aku menunggu Laras mengakuinya sendiri. Tapi, wanita licik itu tetap saja berbohong. Lima tahun dia memainkan perannya dengan sangat baik.” Adrian mengepalkan tangannya erat.
Adrian memang sedang mencari barang bukti dengan mengulur waktu. Memang tidak semudah itu, karena Laras menyembunyikannya dengan sangat baik.
Setelah Pras menemuinya, barulah bukti miliknya semakin kuat.
Ayah Laras hanya bisa menunduk tanpa mampu membantah. Ia tahu putrinya telah melakukan kesalahan besar, dan konsekuensinya tidak bisa dihindari.
“Dan kamu!” Adrian menoleh ke arah Pras.
Awalnya, ia sempat mencurigai pria itu sebagai dalang dari penculikan Enzio. Namun, melihat bagaimana Pras melepaskan ikatan Enzio dan memberi petunjuk padanya, Adrian akhirnya menyadari bahwa ia salah menduga.
“Sudah kukatakan, aku bukan pelakunya. Aku hanya datang untuk mencoba menghentikan Laras. Percayalah, aku sama sekali tidak terlibat dalam ini,” ucap Pras dengan nada serius.
Adrian memperhatikan Pras sejenak, lalu mengangguk kecil.
“Aku berjanji akan mempertanggungjawabkan kesalahanku, Adrian. Tapi bisakah kamu mengabulkan permintaan terakhirku?”
“Permintaan?”
“Tolong, jaga dan biayai semua pengobatan putriku selama aku berada di dalam penjara.” mohon Pras dengan mata berkaca-kaca.
Hanya putri semata wayangnya itu yang Pras miliki saat ini.
“Baiklah. Aku berjanji padamu.”
“Terima kasih.”
Setelah memastikan Enzio aman dalam pelukan Kania, Adrian membawa keluarganya pergi dari tempat itu.
Sebelum keluar, ia berbalik menatap Ayah Laras sekali lagi. “Katakan pada Laras, kemanapun dia kabur, aku akan menemukannya. Tidak ada tempat untuknya bersembunyi dari hukuman,” ucapnya penuh ancaman.
Kania terus memeluk Enzio erat selama perjalanan pulang. Ia tidak bisa berhenti bersyukur karena anaknya berhasil diselamatkan.
“Mama Zio lapar.”
Kania tersenyum. “Nanti Zio boleh makan banyak dirumah.”
“Coklat juga?” tanya Enzio.
Kania melirik Adrian yang juga tengah menatapnya. Adrian mengangguk setuju dengan permintaan putranya itu.
“Kita ke dokter untuk memeriksa keadaan Zio. Setelah itu, Zio boleh makan coklat,” ucap Adrian.
Enzio berjingkrak kegirangan, seketika bocah itu lupa kalau beberapa saat lalu nyawanya hampir terancam.