"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN YANG MENUNGGU
M alam semakin larut saat mereka meninggalkan rumah, membawa jurnal dan liontin yang kini terasa lebih berat. Langit tampak mendung, awan gelap berkumpul di atas, seolah mengikuti langkah mereka. Jalan menuju tempat ritual itu berliku, melewati hutan yang kini tampak seperti bayangan besar yang mengancam.
Ayah mengemudi dengan sunyi, sesekali melirik Zilfi yang terus membaca halaman-halaman jurnal. Sesekali, ia menggenggam liontin di lehernya, mencoba memahami apa yang harus dilakukannya nanti. Kata-kata di jurnal itu samar, penuh dengan peringatan dan instruksi yang sulit dipahami. Namun, satu hal yang jelas: darah dan pengorbanan adalah kunci untuk mengakhiri semua ini.
Ketika mereka tiba di tepi hutan, Ayah menghentikan mobil. "Kita harus jalan kaki dari sini," katanya, suaranya berat. Zilfi mengangguk, merasakan ketegangan yang sama. Mereka melangkah masuk ke dalam hutan, mengikuti jalur yang hampir terlupakan, menuju sebuah tempat yang diceritakan Ibu dulu, tetapi tidak pernah mereka datangi.
Setelah beberapa waktu, mereka tiba di sebuah area terbuka kecil yang dikelilingi pohon-pohon tua. Di tengahnya, ada lingkaran batu yang dipenuhi ukiran-ukiran simbol yang mirip dengan liontin Zilfi. Di sinilah semuanya dimulai, pikirnya. Di tempat inilah ibunya pertama kali memanggil sesuatu yang kini menjadi beban keluarganya.
Zilfi membuka jurnal lagi, mencari halaman terakhir. "Ini adalah tempat yang harus aku gunakan untuk menyelesaikan ritual ini, Ayah," katanya dengan suara yang mantap namun penuh rasa was-was.
Ayah berdiri di sampingnya, merasakan angin dingin yang tiba-tiba berembus dari arah hutan. "Apa yang harus kita lakukan?"
Zilfi menaruh liontin di tengah lingkaran batu, lalu mengeluarkan sebuah pisau kecil yang dia temukan dalam kotak kayu ibunya. Dalam jurnal itu, ibunya menulis bahwa darah dari pewaris yang memiliki liontin ini akan membuka segel terakhir.
“Aku harus menumpahkan darah di sini,” kata Zilfi, berusaha terdengar lebih berani dari perasaannya yang sebenarnya.
Namun, saat ia hendak menusukkan pisau ke telapak tangannya, udara di sekitar mereka bergetar. Bayangan gelap perlahan muncul dari tepi lingkaran batu, membentuk sosok-sosok samar yang berbisik dengan suara yang tak bisa dipahami.
“Aku harus cepat,” gumam Zilfi, menyentuhkan pisau pada kulitnya. Tapi saat darahnya menetes ke batu, salah satu sosok bayangan itu tiba-tiba mengulurkan tangan dan mendekat padanya. Entitas itu kini tampak lebih nyata, dengan mata merah yang berkilau di tengah kegelapan.
Ayah bergerak untuk melindungi Zilfi, tapi sosok itu menghentikannya dengan satu gerakan yang membuatnya terdorong mundur. Zilfi menarik napas, menatap entitas yang kini berdiri di hadapannya, seolah mengenalinya.
“Kamu yang dipilih,” desis suara itu. “Kamu pewaris yang telah lama kami tunggu. Darahmu... akan menjadi milik kami.”
Zilfi menggertakkan giginya, berusaha melawan rasa takut. "Kalian mungkin telah menunggu, tapi aku tidak akan membiarkan kalian mengambil lebih dari yang sudah kalian renggut dari keluargaku. Aku datang untuk mengakhiri ini."
Bayangan itu tertawa kecil, suaranya bergema dalam kegelapan. "Kamu bisa mencoba, tapi ikatan ini tidak akan mudah diputus."
Zilfi mengangkat liontin, memejamkan mata, dan mengingat setiap kata di jurnal itu. Dengan keberanian terakhir yang ia miliki, ia mengucapkan mantra yang tertulis di halaman terakhir, kata-kata yang penuh kekuatan dan makna. Perlahan, lingkaran batu di bawah mereka bergetar, seolah merespons energi yang dilepaskannya.
Sosok-sosok bayangan itu mulai meredup, tertarik kembali ke tempat asal mereka. Entitas itu berteriak, mencoba menahan kekuatan yang kini menariknya, namun Zilfi terus melantunkan mantra, semakin kuat dan mantap. Suara jeritan mengerikan mengisi udara saat entitas itu terkoyak, bayangan-bayangannya pudar, menyisakan keheningan yang begitu mendalam.
Saat semuanya berakhir, Zilfi jatuh berlutut, kehabisan energi. Ayah berlari ke arahnya, memeluknya erat.
"Kamu berhasil, Zilfi. Kamu sudah menutup pintu itu," bisiknya dengan rasa bangga bercampur lega.
Zilfi tersenyum lemah. "Aku tahu, Ayah. Tapi aku juga tahu, ini mungkin bukan akhir dari segalanya. Warisan ini mungkin sudah selesai... namun mungkin suatu hari, kita harus siap untuk menghadapi sesuatu yang lebih besar lagi."
Namun malam itu, di bawah langit gelap, Zilfi dan Ayah tahu bahwa mereka telah menang. Keluarga mereka akhirnya bebas dari bayangan masa lalu, setidaknya untuk saat ini.