NovelToon NovelToon
Pahlawan Tanpa Bakat

Pahlawan Tanpa Bakat

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sistem / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Epik Petualangan
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Bayu Aji Saputra

Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.

Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.

Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.

[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertahan Hidup

Kaivorn berdiri terhuyung-huyung, napasnya masih memburu, tubuhnya terasa seperti diliputi api dari dalam.

Setelah menggunakan Blitz, ia bisa merasakan setiap otot di tubuhnya menjerit, seolah dipaksa untuk bekerja melebihi batas kemampuan manusia biasa.

Namun ekspresinya tetap tenang, mata merahnya melihat ke arah layar biru transparant yang menunjukkan waktu.

[Sisa waktu: 00:58:49]

"Masih ada 59 menit lagi," pikir Kaivorn.

Waktu hukuman yang tersisa adalah satu jam penuh.

Satu jam yang akan terasa sangat lama di dimensi yang menghisap kehidupan ini.

Dengan stamina yang sudah hampir habis, dia menyadari bahwa bertahan disini akan menjadi jauh lebih susah.

Kaivorn melihat sekeliling.

Lava mendidih di bawah retakan tanah, uap panas naik perlahan, membuat udara terasa seperti terbakar.

Setiap napas yang diambil akan membuat paru-paru terasa perih.

Tapi Kaivorn tidak bisa berhenti.

Langkahnya harus terus berlanjut, meskipun tubuhnya mulai menyerah.

"Aku harus mencari sumber oksigen," pikirnya cepat.

Dia melangkah hati-hati di antara retakan-retakan, memperhatikan arah angin.

Uap sulfur di Kalidron beracun, dan dia tidak bisa terus-menerus bernapas di udara seperti ini.

Dia menahan napas sejenak, matanya mencari tanda-tanda formasi bebatuan yang mungkin bisa berfungsi sebagai penghalang alami dari uap.

Kaivorn memperhitungkan pergerakan angin dengan cepat. "Arah angin dari barat daya, bebatuan tinggi di sebelah timur." gumamnya. "Jika aku bisa berlindung di balik batu itu, mungkin bisa mendapatkan sirkulasi udara yang lebih bersih."

Dengan langkah tertatih, ia bergerak menuju formasi bebatuan itu, tubuhnya gemetar karena kelelahan.

Ketika dia mencapai bebatuan, dia segera mengambil posisi, melindungi dirinya dari aliran uap panas.

Di balik batu-batu besar itu, udara memang terasa sedikit lebih segar, meskipun tetap panas.

"Sekarang, aku butuh air." ucap Kaivorn lirih, kepada dirinya sendiri.

Sadar bahwa mencari sumber air di dimensi lava ini mungkin hampir mustahil, dia kembali menggunakan akalnya.

"Tidak mungkin ada air di sini." katanya sambil tersenyum masa. "Tapi uap... mungkin ada celah yang bisa kugunakan."

Di tempat dengan panas yang ekstrem, seringkali ada daerah yang lebih dingin di bawah tanah.

Meskipun ini adalah dunia yang berbeda, hukum termodinamika tetap berlaku.

Dia mulai mengamati retakan-retakan tanah di sekitarnya, mencari tanda-tanda perubahan suhu.

Setelah beberapa menit mengamati, dia menemukan sebuah celah kecil di tanah yang terasa sedikit lebih dingin daripada sekitarnya.

"Jika ada perbedaan suhu, mungkin ada uap kondensasi di bawah sini," batinnya.

Menggunakan pedangnya sebagai alat bantu, Kaivorn mulai menggali di sekitar celah tersebut.

Meski tenaga sudah hampir habis, gerakannya tetap efisien.

Setelah menggali beberapa meter, dia menemukan rongga kecil di bawah tanah yang memang terasa lebih dingin, dan di dalamnya terdapat uap yang mulai terkondensasi menjadi tetesan air.

Kaivorn tersenyum tipis. "Sedikit, tapi cukup."

Dia memanfaatkan kain dari pakaiannya untuk menyerap uap dan meremasnya agar airnya bisa diminum.

Meskipun tidak banyak, tetesan air itu cukup untuk memperpanjang waktu bertahan hidupnya sedikit lebih lama.

Setelah minum sedikit air, Kaivorn mulai memikirkan langkah selanjutnya. "Sekarang tinggal bertahan sampai waktu habis. Tapi aku tidak bisa hanya bersembunyi di sini."

Kalidron bukanlah dimensi yang pasif.

Segala sesuatu di sini hidup dalam siklus kekerasan, dan semakin lama ia bertahan, semakin besar kemungkinan ancaman lain akan muncul.

Kaivorn tahu ada makhluk-makhluk lain yang tinggal di sini, yang jelas lebih berbahaya dari lingkungannya.

Dan setelah bertarung dengan leluhurnya, dia tidak akan bisa melawan ancaman besar lagi dalam kondisi seperti ini.

"Pengalihan." ucap Kaivorn. "Aku harus membuat sesuatu yang bisa menarik perhatian mereka menjauh dariku."

Kaivorn mengumpulkan beberapa batu dari sekitarnya, mengatur formasi yang akan menghasilkan suara keras saat runtuh.

Dia menyusun batu-batu itu dengan hati-hati, menciptakan semacam jebakan kecil yang akan runtuh dengan tekanan tertentu.

Setelah memastikan jebakan itu bisa berfungsi, Kaivorn mundur beberapa meter.

Dengan segenap sisa kekuatannya, dia melemparkan batu besar ke arah jebakan tersebut.

Batu itu menghantam dengan keras, menyebabkan reruntuhan yang menghasilkan suara gemuruh yang menggelegar, cukup keras untuk memancing perhatian makhluk-makhluk di sekitarnya.

Kaivorn tersenyum tipis ketika mendengar suara pergerakan dari arah yang berlawanan. Sesuatu yang besar sedang menuju ke arah jebakan.

"Mereka akan terganggu untuk sementara waktu," pikirnya. "Aku punya beberapa menit sebelum mereka sadar bahwa aku tidak di sana."

Kaivorn tahu bahwa dengan kondisinya yang lemah, bergerak jauh bukanlah pilihan. "Mari kita ubah taktiknya." ujarnya dalam hati.

Dia berjongkok di balik celah bebatuan, memperhatikan dengan teliti tanda-tanda makhluk yang mungkin datang.

Tak lama kemudian, suara gemuruh tanah menggetarkan kakinya.

Makhluk-makhluk besar itu—Kaivorn bisa merasakan tekanan gravitasi meningkat di sekitarnya—muncul di depan jebakan yang telah ia buat.

Dari balik bebatuan, dia bisa melihat sekilas sosok mereka; tinggi, hitam, dengan cakar yang panjang, seperti binatang buas yang dilahirkan dari lava dan api.

"Mereka bereaksi terhadap suara dan getaran," analisisnya cepat. "Tidak melihat, tapi merasakan."

Makhluk-makhluk itu mulai mengelilingi jebakan yang Kaivorn buat, kebingungan karena tidak menemukan apa pun.

Kaivorn tetap diam, menahan napasnya.

Dia menunggu sampai makhluk-makhluk itu mulai berpencar lagi, mencari lebih jauh.

"Belum selesai," gumamnya pelan.

Dia tahu bahwa makhluk itu akan kembali lagi.

Sebelum itu, dia harus menemukan perlindungan yang lebih baik.

Dalam pikirannya, Kaivorn memperkirakan bahwa jika dia bisa tetap tidak terdeteksi selama satu jam, dia akan keluar dari dimensi ini tanpa harus bertarung lagi.

Tapi waktu terus berjalan, dan energi di tubuhnya semakin menipis.

Dia mulai bergerak ke arah celah yang lebih dalam di tanah, masih mengandalkan intuisi ilmiahnya tentang perubahan suhu dan tekanan untuk menemukan tempat yang relatif lebih aman.

Semakin dalam ia pergi, semakin terasa hawa panas berkurang.

"Aku butuh tempat untuk istirahat sejenak," katanya dengan napas yang terengah-engah. "Hanya beberapa menit."

Kaivorn akhirnya menemukan rongga kecil di bawah tanah, cukup besar untuk dia bersembunyi sementara.

Ia duduk bersandar di dinding batu, napasnya masih berat, dan matanya melihat ke arah waktu di layar biru holografis.

[Sisa waktu: 00:44:47]

"45 menit lagi," gumamnya.

Waktu terasa berjalan lambat, tapi Kaivorn tahu bahwa jika dia bisa bertahan sedikit lebih lama, dia akan keluar dari Kalidron dengan selamat.

Selama istirahatnya, otaknya tetap bekerja tanpa henti, memikirkan semua kemungkinan yang bisa terjadi.

"Kalidron… sepertinya dimensinya memang memiliki siklus energi. Jika semua yang hidup di sini bergantung pada energi panas, mungkin ada titik kritis di mana mereka lebih lemah—titik keseimbangan." Dia terus berpikir, memperkirakan kemungkinan kondisi terbaik untuk bertahan.

Setelah beberapa menit, Kaivorn merasa getaran tanah kembali mendekat.

Makhluk-makhluk itu sudah kembali, mungkin sudah menyadari bahwa jebakan sebelumnya hanyalah pengalihan.

"Tidak ada waktu lagi," pikirnya, tubuhnya masih terasa berat, namun ia memaksa diri untuk bergerak lagi.

Kali ini, dia tidak lagi mengandalkan jebakan, tapi sepenuhnya pada insting bertahan hidup.

Kaivorn mulai bergerak perlahan, berusaha tetap berada di bayang-bayang celah dan retakan di tanah.

Dia tahu bahwa meskipun makhluk-makhluk ini lebih besar dan kuat, mereka tidak bisa mengikuti jejaknya jika dia tetap diam dan tenang.

Getaran di tanah semakin intens.

Dia tahu mereka semakin dekat.

Namun, di saat yang sama, Kaivorn tetap memfokuskan dirinya untuk tidak panik.

[Sisa waktu: 00:29:33]

"Tetap tenang." dia mencoba menenangkan dirinya. "Hanya 30 menit lagi."

Kaivorn mulai memanfaatkan semua yang ada di sekitarnya untuk bertahan.

Dia menggunakan panas dari lava untuk memanipulasi medan, mengarahkan uap panas ke arah yang bisa membingungkan makhluk-makhluk itu.

Setiap elemen di Kalidron yang sebelumnya merupakan ancaman, kini ia gunakan sebagai alat bertahan hidup.

Setelah apa yang terasa seperti berjam-jam, Kaivorn akhirnya mendengar perubahan kecil di atmosfer sekitarnya.

Suhu mulai turun sedikit, tanda bahwa waktunya hampir habis.

Dia mengambil napas dalam, tubuhnya hampir tidak bisa bergerak lagi, namun pikirannya tetap fokus.

[Sisa waktu: 00:04:13]

"Hanya 4 menit lagi," pikirnya.

Dia bersiap untuk bertahan satu dorongan terakhir dari makhluk-makhluk itu.

Namun, sebelum mereka sempat mendekat, suara gemuruh besar terdengar, dan Kalidron mulai bergetar hebat.

[Sisa waktu: 00:00:00]

Waktu hukuman telah berakhir.

Dimensi Kalidron mulai runtuh, menarik dirinya kembali ke realitasnya.

Kaivorn menutup matanya sejenak, merasakan tubuhnya seperti ditarik paksa dari kehampaan dimensi Kalidron.

Tubuhnya terasa berat, setiap otot seperti tertanam dalam batu, namun ia bisa merasakan napasnya mulai teratur lagi.

Perlahan, ia membuka matanya, menemukan dirinya terbaring di lantai gua yang dingin.

Batu-batu kasar di bawahnya tidak lagi panas seperti di Kalidron, dan napasnya kini penuh oksigen segar, bukan udara beracun.

Di dekatnya, Calista dan Raivan duduk dengan ekspresi lega.

Mereka tampak seakan beban berat yang mereka pikul telah lenyap seketika begitu melihat Kaivorn membuka matanya.

Calista, tanpa ragu, langsung memeluk Kaivorn dengan penuh kekhawatiran yang tampak di matanya.

Rasa takut akan kehilangan terlihat jelas dari caranya menggenggam Kaivorn erat-erat.

"Kaivorn, apakah kau baik-baik saja...?" tanyanya dengan suara lembut, nyaris berbisik.

Getaran emosinya terasa jelas dalam setiap kata.

Kaivorn, meskipun tubuhnya masih lemah, mengangkat tangan kirinya dan menepuk kepala Calista perlahan.

Sentuhannya penuh kelembutan, namun tetap tegas. "Jangan khawatir, aku baik-baik saja," jawabnya dengan tenang.

Suaranya terdengar serak, tapi tetap dalam kendali.

Ia ingin menenangkan Calista, memastikan bahwa dia masih utuh meskipun baru saja kembali dari neraka.

Merasakan kekuatan yang tersisa dalam dirinya, Kaivorn berusaha duduk.

Pusing mendadak menyerangnya, seolah dunia di sekelilingnya berputar cepat.

Tangannya yang bebas langsung menekan pelipisnya, berharap bisa menstabilkan keseimbangannya.

Raivan, yang sedari tadi memperhatikan dengan gelisah, bergerak cepat untuk menopang tubuhnya.

"Tuan Muda..." katanya dengan nada penuh kekhawatiran, tangannya terulur untuk membantu.

Namun, Kaivorn mengangkat tangan kanannya dengan isyarat halus namun tegas, menolak bantuan.

"Aku baik-baik saja, Raivan," ujarnya singkat, mengendalikan keadaannya meski rasa lelah masih melilit.

Setelah beberapa saat, Kaivorn mengalihkan pandangannya kepada Raivan.

"Berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanyanya, suara yang tenang namun terukur menunjukkan bahwa pikirannya sudah kembali bekerja.

Raivan tampak sedikit ragu sebelum menjawab, "Sekitar... satu jam, mungkin."

Dia mengucapkannya dengan sedikit keraguan di matanya, seakan tidak sepenuhnya yakin.

Kaivorn, yang peka terhadap setiap nuansa, segera mengalihkan pandangannya ke Calista, mencari konfirmasi yang lebih pasti.

Calista melepaskan pelukan eratnya, menatapnya sambil mengangguk beberapa kali dengan wajah yang serius namun penuh kelegaan.

"Ya, benar. Sekitar satu jam," tambahnya, memperkuat jawaban Raivan.

Kaivorn terdiam, pikirannya bergerak cepat, menyusun potongan informasi yang baru saja diterimanya.

"Jadi... waktu di Kalidron dan di sini bergerak seirama?" pikirnya, merasa ada yang tidak wajar.

1
azizan zizan
ini alurnya tentang hukuman kah Thor dikit2 hukuman tentang lawan musuh ngak ada..
azizan zizan
di awal rasa sombong bila di beri latihan nah malah tak mampu...cieehhh sampah..
Igris: wkwkwk
total 1 replies
azizan zizan
lah mau tulis pengsan aja ayatnya bertele tele..iesshhh......
𝐉𝐚𝐬𝐦𝐢𝐧𝐞<𝟑
LUCU BNGTTT😭😭
Thinker: lucuan km g si?
total 1 replies
Callian
menurut gua kwsimpulannya gini, Kaivirn pura pura bodoh dari kecil karena dya gapunya bakat buat bertarung, lalu dya mendapatkan sistem yang bikin dya mikir klo dya gaperlu pura pura bodoh lgi(gua mikir gini karena dya nanya ke sistem dlu). ini juga terlihat di bab awal sekitar chptr 1-2 Kaivorn teelihat kek anak kecil polos yang penakut, tapi berubah ketika situasi genting(ketika dya lawan pembunuh—dya jdi bisa nguasain situasi dengan baik). trus kecerdasannya juga udh di tunjukkin di chpter "profil", yang jauh melampaui maid ama kakaknya.
Ray
lah bisa gitu
Ray
yahhhh tumbang
CBJ
BISA BISANYA?!!
Ray
awalannya udah cukup bagus, gatau lanjutannya kek mana, semoga bagus dah
CBJ
mau nanya, rata rata orang dewasa disana dapet stats berapa?
Callian: menurut gua antara 10 kalo ga 15, liat aja si pembunuh yang harusnya cukup terlatih kalah sama bocah statistik sekitaran 15
total 1 replies
Thinker
iyadeh si paling manusia yang di pilih oleh dewa, keren sih tpi
@...?????...@: buset...keren coy keren
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!