Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Beberapa saat setelah mobil pemadam kebakaran meninggalkan lokasi, Caitlin dan Reynard kembali ke gudang tempat adik kembar Reynard dirawat.
Caitlin berdiri di samping kasur, memandang adik Reynard yang tampak lemah namun masih bernapas.
"Jadi selama ini adikmu hanya di sini? Apakah tidak ada rencana mengirimnya ke rumah sakit luar negeri?" tanya Caitlin lembut, menoleh ke arah Reynard.
Reynard menghela napas berat. "Tidak! Pamanku sering mengawasiku, sehingga aku tidak bisa berleluasa. Dia tidak pernah tahu kalau adikku menjadi korbannya," jawabnya dengan nada dingin, penuh kebencian yang tertahan.
"Kenapa kamu tidak membalasnya saja? Dan kenapa harus berpura-pura lumpuh?" tanya Caitlin penuh rasa ingin tahu, mencoba meraba maksud di balik tindakan Reynard selama ini.
Reynard menarik napas dalam-dalam, menahan segala emosi yang bergejolak di dadanya. "Aku sedang mengumpulkan bukti kejahatan yang dia lakukan selama ini. Pamanku adalah adik ipar kesayangan dari mamaku, Andaikan aku ingin menyingkirkannya, aku butuh bukti yang kuat."
"Mamamu di mana sekarang?" tanya Caitlin dengan nada prihatin.
"Kanada!" jawab Reynard, sambil memalingkan wajah. "Mereka saling menghubungi selama ini. Pamanku selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkanku. Oleh karena itu, aku harus lebih berhati-hati. Adikku sudah menjadi korban karena aku. Aku tidak akan membiarkan diriku terjebak dalam rencana jahatnya."
Caitlin mengangguk pelan, tetapi benaknya masih dipenuhi kecurigaan. "Adik ipar kesayangan? Baru kali ini aku mendengarnya," gumamnya sambil berpikir keras, memutar-mutar kemungkinan yang ada di pikirannya.
Reynard memandang Caitlin dengan tajam, merasa tidak nyaman dengan arah pikirannya. "Apa yang kamu pikirkan, Caitlin?" tanyanya, sedikit curiga dengan ekspresi istrinya.
Caitlin menggelengkan kepala perlahan, lalu menatapnya dengan pandangan serius. "Tidak ada... hanya saja, aku pernah mendengar soal adik atau kakak kesayangan, tapi kalau adik ipar... baru kali ini. Apa mereka memiliki hubungan istimewa yang kamu tidak tahu?" Caitlin mengatakannya dengan nada serius, tanpa ragu, menunggu jawaban dari Reynard.
"Caitlin!" ucap Reynard, tidak setuju dengan kecurigaan istrinya. Pandangannya menajam, seolah tak percaya dengan kemungkinan yang Caitlin utarakan.
Caitlin hanya tersenyum kecil, lalu menghela napas panjang. "Aku hanya curiga, dan tidak bermaksud menuduh. Lebih baik kamu pikirkan saja, apakah sikap mamamu wajar atau tidak. Tidak mungkin seorang ibu lebih membela orang lain daripada anak sendiri. Sebelum mamamu pulang, jatuhkan saja hama itu!" lanjutnya dengan suara penuh ketegasan.
Berikut adalah penambahan narasi pada dialog antara Caitlin dan Reynard:
---
Reynard menghela napas panjang, memandang jauh ke depan, seolah meraba-raba kemungkinan yang masih samar. "Kalau bisa, aku sudah melakukannya dari awal," jawabnya dengan nada pelan namun penuh frustrasi. "Pamanku adalah orang lama di perusahaan. Banyak pemegang saham percaya padanya, dan selama ini aku dan mereka tidak sependapat. Oleh karena itu, hubungan kami tidak dekat."
Reynard menatap Caitlin dengan wajah serius, ada beban yang tampak jelas di matanya. "Aku butuh bukti kuat untuk membuktikan pada mereka, agar mereka berpaling dari pamanku dan mendukungku. Pamanku memiliki banyak kenalan di dunia bisnis. Usianya yang tidak muda lagi membuat mereka sangat mengaguminya. Walau aku adalah direktur utama, mereka lebih percaya padanya daripada padaku."
Caitlin mendengarkan dengan seksama, namun sorot matanya tampak tidak sabar. "Beri saja racun tikus," ucapnya sambil menghela napas kasar. "Menyusahkan kalau dia hidup lama."
Keesokan harinya, matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela memberikan cahaya hangat ke ruang makan. Seorang pelayan rumah tangga, Liza, membawa nampan berisi hidangan sarapan yang diatur dengan rapi. Ia menyajikan makanan untuk Caitlin dan Reynard, meletakkan piring mereka dengan hati-hati di atas meja.
Caitlin memperhatikan hidangan di depannya dengan ekspresi bingung. Di atas piring, tersaji Ratatouille yang tampak berwarna-warni dan harum. Caitlin lalu melirik ke arah piring suaminya yang berisi steak yang masih mengeluarkan aroma segar.
"Kenapa punyamu adalah steak, dan punyaku Ratatouille?" tanyanya sambil memandang Liza dengan sedikit penasaran.
Reynard ikut menoleh ke arah Liza. "Liza, kenapa membuat Ratatouille untuk Caitlin?" tanyanya dengan nada bingung.
Liza tersentak sejenak, terlihat canggung sebelum akhirnya menjawab. "Ini...," suaranya terdengar ragu, namun ia segera terdiam, seolah menyembunyikan sesuatu..
Caitlin mengibaskan tangannya, tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Aku hanya penasaran, kenapa Bibi bisa membuat makanan ini," ucapnya, berusaha menenangkan suasana.
Reynard memperhatikan Caitlin dengan alis terangkat, lalu menatap makanan di piringnya sendiri. "Apakah ada yang aneh dengan makanan ini? Lagi pula, makanan ini bukan khusus untuk kota," komentarnya sambil mengamati hidangan Ratatouille itu.
Caitlin tersenyum tipis, mengambil sendoknya. "Tidak masalah, aku menyukainya dan sudah lama tidak makan ini," jawabnya sambil memandang hidangan tersebut dengan ekspresi nostalgia.
Reynard menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau pernah makan?" tanyanya, tampak sedikit terkejut.
Caitlin mengangguk sambil mengambil potongan kecil Ratatouille dengan sendoknya. "Iya, dan sudah lama sekali," gumamnya dengan lembut.
Reynard mengernyit, tampak berpikir sejenak.
"Bahkan bibiku saja tidak pernah bisa buat makanan ini," batinnya sambil memandang Liza dengan tatapan penuh selidik. "Hanya orang pedesaan yang bisa. Kenapa Bibi Liza bisa membuatnya?"
Reynard menatap Liza dengan mata menyelidik, "Liza, bukankah kamu dilahirkan di kota? Kenapa makanan pedesaan seperti ini bisa kamu sediakan? Dan bagaimana kamu bisa tahu makanan kesukaan Caitlin?" tanyanya, nadanya terdengar sedikit curiga.
Liza tampak terkejut, namun cepat-cepat menundukkan pandangannya. "Tuan, maaf, saya tidak tahu. Hanya saja, saya ingin menyediakan makanan yang berbeda dengan sebelumnya," jawabnya, suaranya bergetar tipis, mencoba memberi alasan sebaik mungkin.
Caitlin tersenyum lembut, mencoba meredakan ketegangan. "Aku suka dan rasanya masih sama seperti dulu. Terima kasih, Bibi," ucapnya tulus sambil memandang Liza dengan senyum hangat, tampak benar-benar menikmati hidangan Ratatouille yang sudah lama tak ia rasakan.
Liza membalas senyuman Caitlin dengan sopan. "Sama-sama, Nyonya," jawabnya dengan sedikit membungkuk.
Namun, Reynard masih merasa ada sesuatu yang aneh. Dia mengalihkan pandangannya kepada Caitlin, penuh rasa ingin tahu. "Di mana kamu pernah makan ini? Bukankah dari kecil kamu tinggal di rumah pamanmu?" tanyanya, berusaha mencari jawaban yang bisa memuaskan rasa penasarannya.
Caitlin terdiam sejenak, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa lalunya. "Sudah lupa… sepertinya saat aku masih kecil. Tapi, mereka tidak pernah makan makanan seperti ini," jawabnya pelan.
Setelah meninggalkan ruang makan, Liza berjalan perlahan menuju halaman luar, sambil menggenggam ponselnya. Sesampainya di luar, ia memeriksa sekeliling dengan cermat, memastikan tak ada yang menguping sebelum menjawab panggilan seseorang di seberang telepon.
"Tuan, makanan itu sudah saya sediakan. Nyonya makan dengan lahap, seperti yang Anda katakan… kalau Nyonya suka makanan itu," lapor Liza dengan suara pelan namun tegas, nada suaranya menunjukkan ketundukan.
Sejenak terdengar keheningan di seberang telepon, seolah sang penelepon sedang mencerna laporan Liza dengan hati-hati. Tak lama kemudian, panggilan itu terputus tanpa sepatah kata pun dari orang yang dihubungi Liza.
Liza menghela napas, meletakkan ponsel di sakunya. Matanya menerawang ke kejauhan, tampak gelisah. "Kenapa Tuan Felix melakukan ini? Apa niatnya sebenarnya?" gumamnya pelan.
seru nih