NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENGAKUAN

 

Raga mengajakku duduk kembali di bangku tempat kami semula berbincang. Dia berusaha menenangkan aku yang sempat meneteskan air mata karena tak bisa mengendalikan emosi.

“Adek kenapa?” Pemuda itu mengusap lenganku dengan lembut. “Ada masalah apa dengan Sinyo?”

Kugelengkan kepala cepat. Helaan napas panjang terhempas dari hidungku. “Aku hanya takut dia berpikir yang tidak-tidak tentang kita.”

“Biarin aja, lah. Memangnya kenapa kalau dia berpikir begitu? Toh sudah sama-sama dewasa. Dia juga pasti maklum.”

Refleks kutoleh cowok di sebelah.

“Maklum?” Nada suaraku naik beberapa oktaf, terkesan kurang suka dengan ucapannya.

“Dia pasti paham tentang kita.”

“Maksudnya?” Aku semakin tidak terima. Kenapa pola pikir laki-laki semua sama?

Raga terkekeh. Dengan ekspresi gemas, diacaknya ujung kepalaku. “Sudah, nggak perlu dipikirin tentang Sinyo. Nanti Mas Raga yang bicara dengan dia.”

“Eh? Nggak, nggak usah! Nggak perlu, Mas! Udah nggak penting!” sergahku penuh cemas.

Membiarkan Raga dengan Kevin bicara terkait masalah aku, sama saja mengadu mereka untuk berkelahi. Tidak akan aku biarkan terjadi lagi.

“Kita lanjut perbincangan yang tadi saja, Mas.” Aku berusaha mengalihkan perhatian Raga.

“O iya Dek, teman-teman Adek di Klub Pencinta Alam itu ada yang cowok juga?”

“Ada.” Keningku mengerut mendengar pertanyaan random yang Raga berikan. “Kenapa, Mas?”

“Banyak?”

“Ya, kalau dihitung-hitung sih, lebih banyak cowoknya daripada cewek.”

“Serius?”

“Namanya pencinta alam, wajar kalau banyak anggota cowok!” Jawabanku sedikit nge-gas. Lagi pula dia aneh. Untuk apa bertanya demikian. “Memangnya kenapa, Mas?”

“Anaknya baik-baik nggak?”

“Y-yaaa... yaaa... baik,” jawabku terbata-bata sambil berusaha meraba ke mana arah pertanyaan tersebut. “Kalo nggak baik, mana mau aku berteman.”

“Mas Raga takut Adek terbawa pengaruh buruk.”

“Sudah gede, kalik. Nggak perlu dicemaskan.”

“Kata siapa nggak perlu?”

“Kataku!”

“Tapi kata Mas Raga perlu. Terus gimana?”

“Ish, terserah Mas Raga aja dah!”

Pemuda di sampingku tergelak lirih. Sejurus kemudian, dia bertutur serius. “Adek tuh sudah kelas tiga. Sebentar lagi ujian akhir. Mas Raga khawatir sekolahnya terganggu kegiatan-kegiatan luar macam itu. Apalagi nanti Mas Raga jauh, nggak bisa ngawasin, nggak bisa jagain.”

Mendengar hal itu, aku tertawa cekikikan. Raga lucu. Dia selalu menganggap aku seperti anak kecil, memperlakukan aku layaknya balita yang harus diatur, dibimbing, diawasi, dijaga dan dikawal sepanjang waktu. Dia lupa bahwa saat itu aku sudah 17 tahun. 

“Jangan tertawa!” hardiknya kesal. Bukannya jera, aku justru semakin ngakak. “Emang ada yang lucu apa?”

“Bukan lucu, tapi aneh,” gumamku lirih seraya berpaling ke arah lain.

Maksudnya, aku bersyukur ada yang peduli kepadaku. Hanya saja—menurutku, tidak harus sebegitunya. Kami bukan saudara, bukan keluarga, dan tidak memiliki hubungan spesial apa pun. Pure friendship. Tidak ada satu pun faktor yang mengharuskan Raga bertanggung jawab atas diriku.

“Adek tahu hal apa yang membuat Mas Raga paling stres waktu tahu harus kuliah di Surabaya?”

“Mama?”

“Bukan!”

“Apa dong?”

“Harus meninggalkan Madiun, lebih tepatnya. Andai ada pilihan, Mas Raga nggak pengen pergi. Terlebih harus berjauhan dengan Adek.”

Tawaku kembali meledak. “Ya Allah, Maaas... Mas! Santai, kali. Aku tuh sudah besar. Sudah bisa jaga diri.”

Raga mengangguk puas. Namun, lagi-lagi satu pertanyaan aneh dia utarakan. “Di antara teman-teman pencinta alam itu, ada nggak yang Adek suka?”

Betul-betul ngelus dada aku ngadepin sikap random tuh manusia muka senyum.

“Logika aja Mas, kalau nggak suka, nggak mungkin aku mau berteman.”

“Ck....” Raga menatapku kesal. “Maksudnya, suka dalam tanda kutip,” jelasnya kemudian seraya mengangkat kedua tangan di samping kepala, dan mengacungkan dua jari, lalu menggerak-gerakkannya melengkung ke depan seperti tanda kutip.

“Oooh....”

“Ada?”

“Ng....” Aku berekspresi seolah tengah mengingat-ingat dan berpikir keras. Sepintas kulirik dia. Wajah cowok di sampingku tampak penasaran menanti jawaban.

“Pasti ada,” sergahnya tak sabaran. “Ada, ‘kan? Iya, ‘kan?”

“Belum, sih....”

“Belum... berarti akan ada?”

“Aku kan nggak tahu, Mas! Aku nggak bisa nebak apa yang akan terjadi ke depan. Kalaupun aku bertekad untuk tidak, tapi ternyata iya, aku bisa apa?”

“Kalau yang akrab? Ada?”

“Akrab yang gimana, nih?”

“Ya, pokoknya akrab aja.”

“Banyak.”

“Siapa?”

“Tami, Trina, Rindy, Lisna.” Aku menyebutkan nama-nama sahabatku yang aktif di kegiatan pencinta alam. Dan saat aku ancang-ancang hendak menambah daftar nama lagi, Raga bergegas membungkam mulutku dengan telunjuk kanannya.

“Cowok, Dek! Cowok, hei! Yang Mas Raga maksud itu... coooo-wok!” tukasnya gemas dengan pengucapan kata 'cowok' yang sengaja ditekankan intonasinya.

Spontan aku tergelak. Apalagi saat melirik wajah di sebelah yang tampak menahan kesal. Semakin terpingkal-pingkal tawaku.

Pelan aku menepuk ujung paha Raga. “Mas, kami tuh di organisasi berteman semuanya. Tidak ada istilah suka-suka dalam tanda kutip. Orang udah kayak saudara, kayak keluarga.”

“Pasti ada yang spesial.”

“Akrab-akrab sebagai kawan, tidak lebih.”

“Setiap weekend ketemu, loh. Masa nggak ada perasaan gimana, gitu?” sangkal Raga agak menyelidik. “Witing tresno jalaran soko kulino.”

Artinya : 'Tumbuhnya cinta karena terbiasa'.

“Nggak sejauh itu, Mas.” Aku tetap mengelak. “Lagian, kenapa sih Mas Raga ngotot banget? Maksa betul aku harus suka sama orang lain!”

“Bukan begitu!” sergahnya cepat. “Cuma....”

“Tolong ubah mindset Mas Raga tentang pencinta alam. Kami tidak sedangkal itu. Orang kalau sudah di hutan, di gunung, yang dipikirkan hanya bagaimana cara bertahan hidup. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain.”

“Haruskah Mas Raga katakan alasan kenapa Mas Raga bersikap begini?”

“Katakan saja, kalau memang ada.”

“Berarti tidak masalah kalau Mas Raga mengambil sikap sebagai pria dewasa?”

Mendengar kalimat tersebut, refleks aku beringsut mundur. “Apa maksudnya sikap sebagai pria dewasa?” Mataku memicing penuh curiga.

Raga menertawakan sikapku. Tawanya memecah keheningan suasana Villa. Sesaat cowok itu menengadah, lantas kembali pada sikap semula sembari mengusap wajah menggunakan satu telapak tangan. Sejurus kemudian, dia menolehku dan tersenyum tipis. Tangannya terulur menuju kepalaku.

Aku menepis dan menghindari tangan tersebut, masih sambil menatapnya curiga. Entah kenapa, rasanya kurang nyaman mendengar kalimat ‘sikap sebagai pria dewasa’.

“Apa sih, Dek? Mas Raga tuh cuma takut kehilangan Adek.” Barulah aku biarkan tangan kokohnya mengusap ujung kepalaku. “Maksudnya tadi mau bilang begitu.”

“Bukannya kebalik ya,” tukasku pelan. “Yang mau pergi tuh Mas Raga. Sedangkan aku, aku masih di tempat yang sama, dan mungkin akan tetap berada di sana, bahkan sampai kalian kembali.”

“Mas Raga yakin sebetulnya Adek paham. Ini bukan tentang kehilangan secara fisik. Ini tentang hati. Mas Raga merasa cemas, hati yang telah lama Mas minta, Adek berikan kepada orang yang salah.”

Aku menghela napas panjang. Rupanya Raga bicara berbelit-belit sejak tadi, tujuannya hanya ingin mencari kepastian. Kepastian tentang kami, yang belum siap aku berikan.

“Sejauh ini, hati itu masih di posisi yang sama, pada rasa yang sama.”

Andai punya keberanian, ingin sekali aku katakan bahwa pemilik hati ini bahkan tak pernah peduli. Dia hanya merebutnya, untuk kemudian diabaikan begitu saja. Namun, jika aku bicara terus terang, apa yang akan terjadi terhadap Kevin? Bagaimana nasib persahabatan mereka?

Tiba-tiba, Raga berbisik, “Adek boleh mencintai yang lain. Bebas semau Adek. Mas Raga nggak akan marah. Tapi tolong, jangan meminta Mas Raga berhenti mencintai orang yang ingin Mas Raga cintai.”

Deg!

Aku terdiam, duduk dengan ekspresi kaku, tanpa tahu harus berkata apa? Memangnya kalimat apa yang pantas diucapkan untuk menjawab pernyataan semacam itu? Berpikir seribu kali pun, tak kutemukan kata-kata yang sepatutnya terucap. Sempat terbersit sebuah pemikiran, jangan-jangan Raga mengetahui perihal perasaanku terhadap Kevin.

Ah, tapi sepertinya mustahil. Aku cukup rapat menyimpan hati. Pun sahabatku, pihak yang mengetahui tentang masalah itu, dia bukan tipikal manusia bermulut ember yang mudah mengumbar rahasia. Tidak! Aku yakin posisiku masih aman.

“Adek tahu, Mas Raga menyayangi Adek begitu besar. Mas Raga mengkhawatirkan Adek setiap hari, setiap jam, setiap menit, saat kita berjauhan,” lanjut Raga ketika aku masih kebingungan dan belum dapat menguasai diri.

Tak ada hal yang kulakukan, tak ada pula yang kuucapkan. Kepalaku menunduk, menatap sepasang kaki yang berayun di permukaan lantai. Aku sengaja memberi Raga kesempatan untuk menuangkan seluruh isi hatinya, hingga tuntas tanpa sisa.

“Selama belum jelas hati Adek untuk siapa, Mas Raga tidak akan berhenti cemas.”

“Sementara ini, biar saja dia tetap menjadi milikku sendiri.”

“Sampai kapan, Dek?”

“Nggak usah ditunggu, Mas. Jangan menunggu sesuatu yang nggak pasti. Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Jika ada hati yang lain, jaga saja dia.”

Raga memaksa untuk melengkungkan senyuman. Namun, senyumnya patah di tengah. Lantas, dihelanya napas panjang-panjang, seolah ingin menghempaskan kekecewaan terpendam.

“Untuk yang terakhir kali, sebelum kita berjauhan, Mas Raga ingin menyampaikan satu hal yang Adek harus tahu,” ujar Raga di saat aku masih sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri. “Mas Raga nggak akan mengupayakan balasan dari Adek lagi setelah ini. Mas Raga tahu, perasaan adalah hak asasi manusia. Orang lain tidak bisa memaksa dan ikut campur. Tapi, Adek harus percaya satu hal bahwa Mas Raga sayang sama Adek tuh nggak main-main. Mas cinta, dan bahkan nggak ngerti kenapa bisa merasakan ini sampai sebegininya.”

Sebulir air hangat jatuh di pangkuan, disusul oleh tetes demi tetes berikutnya. Kepalaku semakin dalam menunduk, menyembunyikan tangis yang diwarnai oleh berbagai perasaan. Ada rasa bersalah, bingung, gamang, dan entah rasa apa lagi. Itu pertama kali Raga berhasil membuatku mewek.

“Mas Raga rela kok, Mas Raga ikhlas Adek mencintai orang lain. Adek juga boleh dimiliki orang lain. Asal jangan pergi dari hidupku. Jangan menghilang. Tetaplah di sini. Ya?”

Tangisku tumpah di situ, saat itu, malam itu. Selain tidak paham dengan gobloknya Raga, aku juga tidak paham terhadap diriku sendiri. Mungkin Raga bodoh karena mencintai dan mengharap seorang gadis sampai segitunya. Padahal, si gadis hanyalah remahan rengginang jika dibanding dirinya yang bak serbuk berlian. Namun, pada hakikatnya akulah yang jauh lebih tolol karena mengabaikan orang setulus dia.

Hanya saja, harus dipahami satu hal bahwa posisiku berada di noktah yang serba salah. Mungkin aku bisa menerima Raga, walau harus tutup telinga jika nanti ada saudara atau keluarga dia yang memandangku sebelah mata. Sejauh kami kenal, sebetulnya belum ada yang seperti itu. Hanara yang notabene sepupu dekatnya pun, baik sekali kepadaku. Menganggapku seperti kakak, bahkan.

Anggaplah semua itu hanya ketakutanku sendiri. Namun, bagaimana mengenai perasaanku terhadap Kevin? Bukan hal yang mudah menutupi dari mereka. Kepergok sedang berduaan bersama Raga saja, aku panik seperti orang kehilangan dunia beserta isinya. Apa lagi sampai benar-benar pacaran, lalu ada dia di antara kami? Apa aku bisa fokus? Dapatkah aku menjaga perasaan Raga?

 

🍁🍁

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!