Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Adi menyugar rambutnya. Kenapa juga si Friska harus melamar pekerjaan di perusahaannya? Apakah tidak ada tempat lain yang dapat dia kunjungi, ayolah Jakarta kan tidak sesempit daun kelor. Friska bisa mencari tempat kerja di perusahaan lain.
Beberapa menit yang lalu Tatiana
keluar dari ruangan tanpa memberi masukan yang berarti. Sekretarisnya itu hanya mengatakan, "Kalau kamu rasa dia nggak akan bawa masalah untuk hubungan kamu sama Nesa yang silakan terima"
Adi ragu, dia juga kasihan. Karena berdasarkan cerita Tatiana, si Friska ini tidak bahagia dengan pernikahannya meskipun mereka sudah memiliki anak.
Tapi semisal dia menerima, nanti kedepannya mungkin akan jadi masalah. Astaga kenapa rumit sekali. "Permisi Pak."
Ketukan di pintu membuat Adi tersadar.
"Masuk."
Lelaki itu berteriak.
Pintu terbuka dan menampilkan Gibran dengan wajah gugup.
"Kenapa kamu?" tanya Adi dengan
wajah sinis.
Dia seperti ingin memakan Gibran yang berdiri di ujung sana. "Mau ngantar berkas Pak," jawab Gibran sopan. Ya, meskipun si atasan sudah
salah paham dengannya beberapa waktu lalu, dia tetap tidak berani menyalahkan.
Nasib ya, jadi bawahan..
"Taruh sini," balas Adi agak kurang sopan. Sejujurnya laki-laki itu masih kesal dengan Gibran, seseorang yang dekat dengan istrinya. Gibran mengikuti aba-aba Adi untuk meletakan dokumen yang dibawanya dengan cukup hati-hati di atas meja sang bos. Gibran mengantisipasi saja kalau misalnya Pak Adi meraihnya dan
memukul. Hanya pemisalan karena
sepertinya Gibran tahu bahwa Adi
tidak mungkin memukulnya sekarang. Setelah meletakkan dokumen itu Gibran hendak pamit keluar dari ruangan mencekam itu.
"Saya permisi pak," ucapnya lalu mulai melangkah mundur. "Eh tunggu-tunggu," sahut Adi sembari
mengarahkan tangannya agar Gibran kembali mendekat. Gibran mendekat namun tetap memperhatikan jarak aman untuk
dirinya. "Kenapa pak?" tanyanya. "Pokoknya saya nggak mau lihat lagi
kamu atau teman-teman lelaki kamu yang lain menyentuh istri saya. Tolong setelah ini kamu ingatkan mereka karena kalau sampai terjadi lagi, gaji kamu yang saya potong."
Gibran melotot. "Eh kok saya pak?" Tanyanya dengan nada tidak terima.
"Ya karena kamu yang memulai, ya sudah sana kembali ke ruangan kamul Ruangan saya jadi sumpek karena ada
kamu di sini."
Gibran memaki dalam hati. Astaga bosnya ini memang ingin sekali
dikuliti
Adi kembali fokus dengan beberapa berkasnya setelah kepergian Gibran hingga deringan ponselnya terdengar.
Adi melirik sebentar dan langsung mengulas senyum saat melihat nama istrinya yang tertera di sana. "Halo sayang," sapanya ketika telpon
tersambung.
"Mas, kamu lagi banyak kerjaan?" tanya Nesa di ujung sambungan telpon.
Adi melirik sebentar dokumen yang
menumpuk di atas mejanya.
"Enggak banyak, kenapa hm?"
tanyanya.
"Aku rencana mau bawain kamu
makan siang, sekalian ketemuan.
Rindu."
Adi melotot sebentar dan setelahnya
dia terkekeh. Pagi tadi mereka masih bersama saat pergi di dokter kandungan, sekarang istrinya bahkan sudah merindu. Terdengar tidak masuk akal namun Adi senang dengan itu "Boleh dong, aku juga lapar banget Fir," sahut Adi. "Oh ya udah Mas, aku siap-siap ya."
Setelah itu sambungan terputus.
Sekitar 20 menit setelah aku menelpon
Mas Adi untuk mengatakan perihal
aku akan membawakannya makan
siang, sekarang aku sudah siap.
Dengan diantar Mas Frangki aku
kemudian pergi menunju kantor.
Tidak lama, karena jalanan juga
tidak macet. Kami akhirnya sampai di
kantor Mas Adi.
"Entar Mas Frangki nggak usah jemput
saya ya, saya pulangnya bareng Mas
Adi saja," ucapku sebelum akhirnya
turun dari mobil
"Selamat siang," sapaku pada Intan
yang sedang duduk mengutak-atik
ponselnya.
"Selamat Sia.... Mbak Nesaa?!"
Intan nampak Kaget melihat
keberadaan ku di sana.
"Hai, udah lama ya," sahutku.
Perempuan itu memutari mejanya dan
langsung datang memelukku.
"Iya lama banget, nget, nget. Aku sama
Lilis sampai kena malarindu lho,"
akunya di depanku.
Sementara aku hanya tersenyum.
"Terus mbak mau ke mana? Pasti
nemuin pak Adi ya? Aku dengar dari
Mas Gibran udah rujuk. Untung ya
rujuk Mbak, kalau enggak aku embat
juga, candanya..
Aku langsung terkekeh.
"Nggak mau rujuk gimana, udah
bunting gini."
Intan melotot dan langsung
menurunkan pandangan di perutku.
Memang aku memakai dress longgar
yang tidak terlalu memerlihatkan
kalau aku ini wanita hamil.
"Beneran? Ihh akhirnya bakal punya
ponakan," seru Intan dengan nada
begitu senang.
"Ya udah mbak ke ruangan pak Adi aja,
entar dis nungguin lho."
Aku langsung menganggukkan kepala.
Tiba-tiba aku menjadi sangat rindu
dengan laki-laki itu. Ya, lagi-lagi
hormon kehamilan membuatku selalu
ingin berada di samping Mas Adi
Aku melangkah meninggalkan Intan
dan melambaikan tangan padanya,
Setelah itu aku menuju ke arah lift dan
masuk ke dalamnya setelah menekan
angka 11.
"Halo Tatiana," sapaku.
Kali ini aku tidak merasa canggung
lagi, tidak seperti beberapa waktu lalu.
"Eh Halo Bu Nes," balas Tatiana agak
panik entah karena apa.
"Kenapa kok gitu?" tanyaku curiga.
Tatiana nampak gugup, perempuan itu
meremas jari-jari tangannya. Seperti
ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Apakah ini berhubungan dengan Mas
Adi?
"Eh, enggak," balasnya cepat namun
masih dengan nada yang begitu panik.
Aku seperti mencium-cium bau
kebohongan di sini.
"Mas Adi ada kan?" tanyaku.
"Eh iya ada di dalam pak Adinya Bu
ehm tapi-"
Kan, langsung panik gitu.
"Tapi kenapa?"
Aku mencoba untuk tidak langsung
beriari untuk mendobrak pintu
ruangan Mas Adi saking penasaran
dengan apa yang terjadi di sini.
Tiba-tiba terlintas pikiran aneh.
"Apa Mas Adi lagi solo itu?" tanyaku
tiba-tiba,
Kali ini Tatiana lebih melototkan.
matanya, mungkin tidak percaya
dengan pertanyaanku. Astaga, selesai
berucap
aku malah merasa malu
dengan perkataanku.
"Enggak kok Bu."
"Pak Adi lagi interview calon karyawan.
baru," jawabnya..
"Terus apa masalahnya kamu kok
panik gitu?" tanyaku super heran.
Ya, kalau cuman karyawan baru
kenapa sampai panik gitu kan? Ah
atau jangan-jangan.
"Karyawan perempuan ya?" tanyaku
dengan nada datar.
Tatiana menunduk lalu
menganggukkan kepalanya.
Ah ternyata itu.
Tatiana panik karena mungkin takut
aku akan mengamuk atau melakukan
hal-hal mengerikan semacam itu.
Tapi tunggu, karyawan baru kenapa
malah Mas Adi yang interview? Aneh.
"Oh ya udah saya masuk dulu," ucapku
dengan nada begitu tenang.
Aku tidak akan marah kalau misalnya
di dalam tidak terjadi hal-hal
mengerikan. Aku masuk tanpa
mengetuk pintu.
Mas Adi ada di sana sedang berbicara
serius dengan seorang wanita yang
sedang membelakangi ku.
"Permisi, maaf menganggu ya," ucapku
pelan.
Mas Adi menoleh dan melototkan
matanya seperti orang panik sama
seperti yang ditunjukkan Tatiana tadi.
Kenapa dengan orang-orang ini?
Hingga perempuan yang ada di depan.
Mas Adi itu berbalik dan kali ini aku
yang melotot mata.
"Friska?!"