Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - Lelaki Sejati
"Datang bulan?" tanyanya, setengah memekik dan berusaha tetap sopan.
"Ya, Pak."
"Kamu butuh bantuan? Saya bisa bantu kamu apa?"
Aku kembali menutup pintu kamar mandi. Dan betapa malunya jika harus kukatakan pada majikanku, Pak Bima; jika aku memang sangat membutuhkan pertolongannya. Tapi, aku terlalu segan, tidak bisa bilang.
"Kamu tunggu sebentar." katanya, tapi itu lebih terdengar seperti perintah untukku.
"Mau kemana, Pak?"
Dan begitu aku bertanya demikian, sudah tak ada jawaban darinya. Aku kembali membuka pintu, mengintip keadaan di luar sana; tidak ada Pak Bima.
"Bagaimana caranya aku keluar? Perutku keram setengah mati." Aku menggumam sambil duduk di closet. "Bisa-bisanya tidak punya persiapan apa-apa. Apa harus diam terus di sini? Sampai kapan?"
"Julia," pintu kamar mandi kembali bunyi. "Kamu masih di dalam?"
Lantas aku bangkit dan berbisik dari balik pintu. "Pak Bima? Pak Bima sudah di sini?!" tanyaku.
"Tadi saya keluar sebentar, beli ini untuk kamu. Tidak tahu yang mana yang biasa kamu pakai, jadi saya bilang yang mana saja ke penjaga tokonya ... "
"Bisa buka sebentar pintunya?" Pintanya kemudian.
Aku membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati. Begitu terbuka, mataku langsung terpana pada bungkusan plastik hitam. Aku tahu, aku akan segera mengenali isinya. Plastik kecil itu berisi pembal-ut yang diulurkan tangan Pak Bima. Tangannya ada di depanku, tapi orangnya beralih memandang pintu masuk kamar rawat di sebelah kirinya, mungkin dia malu, kupikir.
"Pak Bima beli ini, untuk saya?"
"Untuk siapa lagi?" dia mengulangi kata-kataku. "Sudah sana pakai, dan cepatlah makan malam, sebelum perut kamu makin keram."
"Terima kasih banyak, Pak!" Jawabku dengan senang hati.
Memang, aku telah mengenal nama Pak Bima sebagai dosen yang kejam. Dulu, bagiku, dia hanyalah seorang profesor muda terbaik di kampus, terutama kemampuannya membahasakan pelajaran-pelajaran ilmiah dengan gaya yang mudah di pahami namun tetap segar. Sedikit sekali profesor yang mampu melakukan itu. Kebanyakan terjebak pada gaya bahasa yang rumit terbawa pembawaan mereka yang kelewat pintar sehingga pelajarannya menjadi gelap dan tak dipahami mahasiswa.
Dan sekarang, aku mengenal sisi lain Pak Bima. Dia bukan cuma garang dan ketus tapi justru lebih peka dan cekat membantu. Tapi, aku tak segera mengungkapkan rasa kagumku ini, karena tak ingin dia langsung besar kepala dan jadi makin senang mempermainkanku.
"Sudah?"
Aku terkejut saat beberapa langkah keluar dari kamar mandi, Pak Bima masih berdiri bersandar di dekat bibir pintu.
"Pak Bima masih di situ?"
"Iya, tunggu kamu."
"Kenapa? Khawatir dengan keadaan saya?" ujarku setengah berseloroh.
"Gantian!" Jawabnya. "Saya mau buang air!"
Yeee, dasar!
Aku lapar, sejak siang tadi belum makan. Kuambil nasi kotak bagianku yang tadinya sudah disiapkan Pak Bima. Tapi, sebelum kulahap lauk ayam bakar itu, ku ambil dulu jus jeruk yang es-nya sudah hampir habis mencair. "Kelamaan, nih. Sayang sekali." Aku menggumam, sambil menimang-nimang jus di tangan.
Tapi cepat-cepat Pak Bima merebut tanganku dan merapatkan di dadanya. Terpaksa kuangkat badanku agar jus jeruk di tanganku tidak tumpah. Jantungku berdebar hebat, seakan di dalam diriku sedang mengamuk badai hebat yang meluluh-lantakkkan kerajaan hidupku.
"Tidak boleh minum es!" katanya dengan wajah seram. "Perut kamu keram. Sekarang masih sakit kan? Kalau langsung minum es nanti malah tambah sakit. Mending minum air putih, atau teh hangat, mau?"
"Kalau Saya menolak, nanti dimarahi lagi, karena Pak Bima pasti akan mengomel sampai dituruti." Aku pura-pura keberatan padahal senang.
"Saya tidak memaksamu. Kalau memang mau sakit perut, minum saja."
"Bercanda, sini mana teh hangatnya..." balasku sambil menggodanya.
Pak Bima memutar badan dan mengambil gelas plastik berisi teh hangat yang dia maksudkan. Aku menggumam begitu kusaksikan kebaikan hatinya, perhatiannya, dibalik sosoknya yang jarang tersenyum.
Aku gemetar begitu dia menyerahkan teh dalam genggaman tangannya, seperti tengah memberiku kado yang mengejutkan. Sebuah anugerah.
"Kapan kita punya teh hangat di sini?" Kata ku seraya mengambil teh dari tangannya.
"Tadi, waktu beli pembal-ut untukmu, aku sekalian pesan teh hangat."
"Pak Bima baik sekali."
"Sudah, sekarang makanlah. Habiskan makan malam kamu."
Aku pun memakannya dengan lahap, sedangkan dia membetulkan kembali pakaiannya yang kusut.
Sampai kuhabiskan setengah makananku, Lily akhirnya bangun. "Papa --- "
Aku segera bangun dari sofa, hendak menengok keadaan Lily di ranjangnya. Tapi Pak Bima yang duduk di sampingnya, langsung menahanku dengan aba-aba telapak tangan.
"Kamu makan saja, istirahat." Ucapnya dari sana.
Lalu dia mengalihkan pandangan, pada anaknya yang baru saja sadar. "Papa di sini, Lily mau apa?"
"Haus,"
"Sebentar, biar Papa ambilkan."
"Sekalian makan ya, biar Papa yang suapi. Mama juga lagi makan, mau ya?" Lanjutnya, dan tawaran itu di jawab dengan anggukan pelan dari Lily.
Pak Bima membuyarkan konsentrasiku dari pesona ayam bakar. Melihatnya selembut itu bersikap pada anak dan perempuan, tak pelak membuat orang-orang akan luluh dan tersentuh. Dan astaga, yang terbesit dalam pikiranku sekarang selalu tentang Pak Bima yang demikian memabukkan hati.
...****************...
Beberapa menit sebelum tidur, di saat aku menarik selimut, perutku lagi-lagi sakit. Hari ini kami gantian, Pak Bima tidur di kursi lipat samping ranjang Lily sementara aku tidur di sofa dekat jendela.
Nyeri datang bulan itu, sekalinya sakit benar-benar menyiksa rasanya seperti pinggang sampai kaki meronta-ronta mau copot.
Tubuhku meringkuk, perut kutekan kuat-kuat. Ahhh! Rasanya mau teriak.
"Kenapa?"
Aku segera mendongak, ketika tangan seseorang menyentuh pundakku.
"Pak Bima?"
Dia menatapku lekat-lekat. lagi-lagi dengan ekspresinya yang menyimpan rasa khawatir dan takut.
"Keram lagi, ya?"
Aku mengangguk, "Kali ini sakitnya tiga kali lipat."
Lalu setelah mendengar jawabanku, Pak Bima memutar badannya ke arah nakas dekat ranjang Lily.
Dia datang lagi dengan membawa sesuatu yang aku tak tahu namanya. Tapi dari bentuknya mirip botol minum zaman dulu, seperti bantal dan tidak keras sebab terbuat dari karet begitu. Dia berlutut di hadapanku. layaknya seorang Pangeran yang melamar Cinderella. sayangnya, Aku tidak semenarik itu untuk disebut begitu, hanya keberuntungannya saja yang sama.
Pak Bima mendekat dan menempelkan benda itu di perutku. Rasanya hangat.
"Ini namanya heating pad... " Katanya, "Saya sempat tanya sama yang jaga toko tadi, kalau nyeri datang bulan obatnya apa? Dia bilang coba pakai pad ini."
Pak Bima mengangkat wajahnya dan tersenyum kepadaku.
"Pak Bima nanya-nanya sampai selengkap itu." Aku mulai menampakan gugup yang dari tadi menggerayangi tubuh. Kaki ku sampai gemetaran karenanya. "Padahal di diamkan saja, nanti juga sembuh."
Pak Bima tak menjawab apa pun, dia hanya menyunggingkan kedua ujung bibirnya, tersenyum. Hingga kemudian, perasaan berdebar itu semakin kencang saat jemari Pak Bima tidak sengaja sekilas menyentuh perutku. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi sebelumnya. Sungguh sial. Aku jadi tersipu-sipu...
"Cukup Pak cukup, biar saya saja."
Aku berkata sekadar agar dia menghentikan sentuhan itu, dan selamat lah jantungku. tetapi yang lebih mengejutkan adalah saat dia berkata;
"Maaf-maaf. Sumpah saya tidak bermaksud ambil kesempatan, atau punya niat kurang ajar padamu." Ujarnya seraya menjauh dariku.
Dasar Pak Bima yang menyebalkan. Dalam satu hari saja dia mampu menaikturunkan emosiku, mampu mengendalikan detak jantungku dengan hebat. Dia bisa membuatku membencinya, namun dalam satu waktu juga dia mampu membuatku tak sanggup jika harus kehilangan dia.
Bicara tentang niat kurang ajar, aku jadi teringat tentang lelaki yang menyentuhku dulu, karena perbuatannya itu, sampai sekarang aku terbelenggu pada kesalahan yang tak pernah kulakukan. Haruskah aku menebusnya juga, seperti yang dilakukan Pak Bima sekarang?
Saat itu Pak Bima mengatakan hal yang membuatku cukup terkejut dan penasaran, yaitu ketika dia memilih merawat Lily dan meninggalkan Mbak Maya, kekasihnya karena kesalahan itu.
"Pak... "
"Hm?"
"Kalau boleh saya tahu, kesalahan apa yang pernah Pak Bima lakukan dulu?"
Alhamdulillah... selamat ya kk🤗
Sukses selalu