Fabian dipaksa untuk menggantikan anaknya yang lari di hari pernikahannya, menikahi seorang gadis muda belia yang bernama Febi.
Bagaimana kehidupan pernikahan mereka selanjutnya?
Bagaimana reaksi Edwin saat mengetahui pacarnya, menikah dengan ayah kandungnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 30
"Sayang..."
Fabian menyongsong Febi dan membawanya dalam pelukannya. Fabian meletakan kepalanya di ceruk leher Febi, entah sejak kapan, tapi menghirup aroma tubuh Febi, seolah menjadi obat penenang untuknya.
"Om, kenapa?" Febi hendak melepaskan diri dari suaminya.
"Biar seperti ini sejenak!"
Febi tak mencoba melepaskan diri lagi, sebaliknya membalas pelukan suaminya, dan mengelus-elus punggung suaminya.
Setelah cukup lama berpelukan, Fabian melepaskan pelukannya, dan membimbing Febi kembali ke kamarnya.
Saat Fabian dan Febi menaiki tangga, dari bawah mak Ipah menatap sendu ke arah keduanya. Mah Ipah mendengar pertengkaran antara Fabian dan Ardi, serta mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Mak Ipah mengenal Mutia, beberapa kali Mutia mendatangi Fabian ke rumah. Mah Ipah melihat jika Mutia memang mencintai Fabian, hanya Fabian bersikap biasa selayaknya teman.
Mak Ipah berharap, semoga Febi bisa menyikapinya dengan dewasa dan kepala dingin. Mak Ipah segera mengunci pintu ruang tamu dan kembali ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya.
Fabian dan Febi sudah berada di kamarnya.
"Sayang tadi mendengar semuanya?"
Fabian membawa Febi duduk di sofa.
Febi menganggukan kepalanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Om?"
Fabian menghela nafas sejenak, lalu menceritakan kejadian kemarin siang, saat Mutia mengajaknya bicara, pernyataan cinta Mutia, dan penolakan tegas Fabian. Setelah itu Fabian tak tahu lagi apa yang terjadi, karena Fabian memilih pergi meninggalkan Mutia.
"Maaf, bukan bermaksud menyembunyikan hal ini. Aku hanya nggak mau kamu kepikiran dan menyangka yang tidak-tidak."
Fabian juga menjelaskan bagaimana hubungannya dulu dengan Mutia, dia hanya menganggap Mutia sebatas teman.
"Om cinta sama Mutia?"
"Tentu nggak sayang. Aku berani bersumpah, jika sudah lama sekali hati aku kosong, dulu aku belum memikirkan masalah hati lagi, aku ingin fokus mengelola toko. Hanya kamu yang bisa buat aku jatuh cinta secepat ini. Percaya sama aku!"
"Terus langkah, om selanjutnya bagaimana?"
"Nggak harus bagaimana, sejak awal aku menolak Mutia dengan tegas, aku ingin bahagiain kami."
"Aku nggak mau, om nikah lagi!"
"Husss ngomong ko seenaknya, siapa yang mau nikah lagi. Kita nikah belum seminggu, kamu itu paket komplit, beruntung sekali, aku bisa nikah sama kamu."
"Om janji ya, jangan ada yang ditutupi lagi!"
"Iya, sayang.Aku janji."
"Tapi ya Om, pantesan waktu makan di ceplak itu, Mutia ngeliatin aku terus, syerem banget tatapannya."
"Udah, ah jangan ngomongin Mutia lagi. Sekarang kita mandi aja."
Fabian bangkit lalu menggendong, Febi, membawanya ke kamar mandi, Fabian tak mendengarkan teriakan protes dari Febi, dia tetap mengunci Febi di dalam kamar mandi.
¤¤FH¤¤
Fabian dan Febi berada di bawah guyuran air hangat. keduanya sedang membilas tubuh mereka setelah berendam berdua dalam bathub selama kurang lebih tiga puluh menit.
"Udah dong, om! Ini mah mandinya ga beres-beres." Febi mencoba menghentikan kejailan-kejailan suaminya.
"Kamu ngangenin, bikin kecanduan," bisik Fabian lembut di telinga Febi.
Tangan Fabian terus bergerilya menjelajahi tubuh Febi, sedang bibirnya terus meninggalkan jejak kepemilikannya. Meski begitu, Fabian tak pernah meninggalkan jejak di batang leher Febi bagian depan.
"Aku lapar, Om."
"Okey, sekali lagi ya!"
¤¤FH¤¤
Febi masih mengeringkan rambutnya dengan bantuan hairdryer, melihat Fabian yang termenung melihat ponselnya.
"Kenapa, Om?"
Fabian tak menjawab, tapi langsung menyerahkan ponselnya pada Febi. Febi mematikan alat pangering rambut
Febi melihat ponsel Fabian yang masih menyala, menampilkan laman chat grup, grup yang beranggotakan teman-teman Fabian yang kemarin bertemu dengan Febi di Ceplak.
Pesan di dominasi kabar sakitnya Mutia. Ternyata Mutia kecelakaan motor semalam, dan sekarang di rawat di rumah sakit daerah.
"Om mau nengok?"
"Tapi sama kamu!"
Febi mengaggukan kepalanya.
"Ya sudah, kita sarapan dulu, sebelum ke toko kita nengok dulu Mutia."
Fabian dan Febi kurang menikmati sarapan mereka, keduanya memikirkan kecelakaan yang menimpa Mutia.
Dengan kendaraan roda dua mereka menuju rumah sakit tempat Mutia di rawat. Setelah bertanya pada penjaga piket, mereka menuju ruangan tempat Mutia dirawat.
Di lorong ruang tunggu, Fabian melihat orang tua Mutia dan beberapa teman mereka. Fabian dan Febi menyalami semua yang ada di sana, meski raut semua orang menatap tak suka pada Febi.
"Bagaimana keadaan Mutia, bu?" tanya Fabian pada ibunya Mutia.
"Masih sedikit syok, tulang kakinya ada sedikit retakan karena tertimpa badan motor."
"Semoga cepat sembuh."
"Aamiin. Kalau mau lihat, masuk saja ke dalam."
Fabian melihat Febi, Febi paham dan menganggukan kepalanya.
"Aku tunggu di sini aja! Aku percaya sama, Om" tolak Febi, saat Fabian hendak mengajaknya masuk menemui Mutia.
Febi sadar pasti ada yang harus dibicarakan antara keduanya, dan itu tak mungkin jika ada dirinya di antara mereka.
Fabian memasuki kamar tempat Mutia dirawat. Pelan Fabian mendekati ranjang, dimana Mutia terbaring lemah. Saudara Mutia yang menemaninya, memilih keluar, saat Fabian masuk.
"Hy, Mut..." Sapa Fabian, mengalihkan perhatian yang sedang melamun.
Mutia memandang Fabian sejenak, lalu mengalihkan pandangannya darinya.
"Maaf jika saya, nyakitin hati kamu. Tapi saya sudah menikah dan mencintai istri saya. Jangan mengharapkan saya, bukalah hatimu untuk yang lain, lihatlah Ardi, dia mencintai kamu sejak lama!"
Mendengar itu Mutia menangis dalam diam.
"Semoga cepat sembuh. Saya permisi dulu." Fabian menepuk pelan bahu Mutia.
Fabian tak ingin berlama-lama di kamar rawat Mutia, dia merasa tak tenang meninggalkan Febi di luar.
¤¤FH¤¤
Sepeninggalan Fabian masuk ke dalam ruang rawat, Febi duduk seorang diri. Dia tak mengacuhkan pandangan orang-orang disekitarnya yang memandangnya dengan tatapan seolah ingin memakannya.
"Kamu senang ya lihat Mutia sakit?" Secara tiba-tiba salah seorang teman perempuan Fabian menghampiri Febi dan melemparkan pertanyaan memojokan Febi.
"Kenapa aku harus senang? Aku bukan orang yang akan senang di atas kesakitan orang lain." jawab Febi dengan tenang.
"Alah tak usah sok munafik! Kenapa kamu bisa menikah dengan Fabian?" tanyanya lagi dengan nada sinis.
Semua yang ada di sana hanya melihat, tanpa berniat membela Febi.
"Aku rasa kita tak terlalu dekat untuk membicarakan masalah pribadi aku." jawab Febi telak, yang makin membuat teman Fabian bertambah kesal.
"Gara-gara kamu, Mutia jadi kecelakaan."
"Memang aku ada di sana saat teh Mutia kecelakaan?"
"Gara-gara kamu menikah dengan Fabian!"
"Aku..."
"Aku nggak nyangka kamu teman seperti itu."
Febi belum menyelesaikan ucapannya, saat Fabian datang langsung menghampiri dan menyela perkataan Febi.
Teman Fabian yang tak menyangka kedatangan Fabian, tentu saja kaget tak menyangka perbuatannya berniat memojokan Febi ketahuan oleh Fabian.
"Kamu memang teman Mutia, tapi tak harus membenarkan perbuatan yang salah dan mengkambing hitamkan orang lain. Tak menyangka selama ini saya berteman dengan teman toxic seperti kamu!"
Fabian geram, tak terima melihat istrinya dipojokan seperti tadi. Sudah cukup lama, Fabian berdiri di balik pintu, mendengarkan hujatan temannya pada Febi. Melihat Febi yang semakin terpojok, Fabian tak tahan dan langsung keluar.
Fabian menarik tangan Febi, tanpa kata dia langsung meninggalkan tempat itu.
BERSAMBUNG.
penasaran terus
gak enak banget dibaca
semoga bian dan Febi bahagia selalu
kan katanya sejak kecil Fabian kurang kasih sayang mama