Menjadi sebatang kara membuat Celina terpaksa menjual diri demi kelangsungan hidupnya. Walaupun seringkali disiksa pelanggan, dia tetap bertahan karena hanya itulah satu-satunya pekerjaan yang dikuasainya.
Perkenalannya dengan Yusuf memberi warna baru dalam hidup Celine. Lelaki itu selalu mengobatinya ketika ia dilukai oleh pelanggan.
Benih cinta pun mulai mekar dalam hati keduanya. Namun, rasa rendah diri dan kotor membuat Celina terpaksa menolak cinta Yusuf.
Akankah kebahagiaan yang telah dilepaskan kembali menjadi miliknya, sedangkan sang pujaan hati telah dimiliki orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
Setelah beberapa mencoba menghubungi ponsel sang suami, tapi tak aktif juga, akhirnya Dira memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya. Siapa tahu, Yusuf berada di rumah orang tuanya itu.
Dira mengganti pakaiannya dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. Selesai berdandan dan berganti baju, dia langsung menuju mobil dan meminta supir untuk segera menuju ke rumah orang tua Yusuf.
Di tempat lain, Yusuf dan Celina tampak sedang asyik menonton televisi. Tiba-tiba wanita itu teringat akan Dira.
"Mas, kalau aku tak salah, biasanya kamu pulang setiap akhir pekan'kan ke rumah Mbak Dira?" tanya Celina. Yusuf meminta sang istri jangan memanggil namanya, harus dengan sebutan Mas.
"Ya, Sayang. Memangnya kenapa?" Yusuf balik bertanya.
Celina yang awalnya menonton sambil tiduran dengan kepala berada di paha sang suami, lalu bangun. Dia tampak menarik napas dalam. Tak boleh egois, dia harus mengingatkan Yusuf untuk tetap bersikap adil, agar Dira tak curiga.
"Pulanglah ke rumah Mbak Dira, Mas. Pasti dia menunggu kedatangan kamu. Saat aku bekerja di rumah Mas, setiap kamis, dia akan minta aku mengganti semua sprei dan membersihkan rumah dengan baik dan rapi. Dia sangat menantikan kehadiran kamu. Mbak Dira sangat mencintai Mas, begitu juga dengan Mas yang sangat menyayangi dia'kan?" tanya Celina.
Celina teringat kembali bagaimana Dira selalu mengatakan tentang kemesraan dirinya dan Yusuf. Tentang perhatian pria itu dan sikap manisnya.
Mendengar semua cerita Dira, dia sempat iri. Berharap dan berdoa mendapatkan pria yang seperhatian suaminya Dira. Siapa yang menyangka jika suaminya adalah Yusuf, pria yang juga Celina cintai.
"Siapa yang mengatakan padamu jika aku sangat mencintai Dira?" tanya Yusuf dengan raut keheranan. Padahal dia tak pernah mencintai Dira, sejak mereka bertemu.
"Mbak Dira. Dia banyak bercerita tentang kalian berdua, Mas. Tentang bagaimana romantisnya kamu, baiknya kamu dan sayangnya kamu dengan dia," ucap Celina.
Celina menarik napas berat. Dia sadar siapa dirinya. Beruntung ada seorang pria yang mau menikahi dirinya dan dia hanya melayani satu orang itu saja. Makanya dia tak mau egois.
Celina mengingat bagaimana setiap hari harus melayani pria yang berbeda. Sebagian besar pelanggannya juga telah beristri.
Dia telah memutuskan tak akan membatasi suaminya untuk pergi kapan saja ke rumah Dira. Dia telah terbiasa ditinggalkan.
"Aku tak pernah mencintai Dira, walau pun begitu, aku tetap memperlakukan dia baik, karena bukan salahnya. Pernikahan kami adalah karena perjodohan," jawab Yusuf mencoba menjelaskan.
Celina hanya tersenyum simpul mendengar ucapan pria itu. Tak cinta, tapi tetap bisa membuat sang istri hampir hamil.
Celina menarik napas dalam. Mencoba menenangkan dirinya. Seharusnya dia tak bertanya tentang perasaan Yusuf pada Dira. Tak akan ada kejujuran yang benar-benar jujur, jika sudah berpoligami.
Apakah Celina sedih? Tentu saja ada rasa tak terima saat mengingat betapa romantisnya Yusuf pada Dira. Tapi dia sadar jika itu hak sang istri diperlakukan dengan baik.
"Cinta tak cinta, Mbak Dira itu adalah istri sah kamu, Mas. Itu artinya dia tanggung jawabmu. Aku bukannya tak suka kamu ada di sini, tapi aku juga tak boleh egois. Mbak Dira jauh lebih berhak atas dirimu," ucap Celina.
Setelah bicara cukup banyak, akhirnya Yusuf mau pulang ke rumah kediaman istrinya. Celina lalu mempersiapkan barang bawaan sang suami.
***
Dira menghela nafas lega saat akhirnya tiba di depan rumah mertuanya. Ia memakai baju santai berwarna putih dengan celana jeans biru, tanpa lupa melengkapi penampilannya dengan kacamata hitam favoritnya. Setelah mengetuk pintu, ia bertanya kepada seorang tetangga yang sedang lewat,
"Apakah Bu Fatimah ada di rumah, Bu?" tanya Dira dengan lemah lembut.
"Sepertinya ada. Ibu tak melihat dia keluar rumah dari pagi tadi," jawab Bu Fatimah.
"Baiklah, Bu. Terima kasih," balas Dira.
Dira mencoba mengetuk pintu kembali hingga ketiga kalinya. Setelah beberapa kali mengetuk terdengar suara langkah kaki mendekat. Tampak ibu mertua yang membukakan pintu.
"Ternyata kamu Dira, ibu kira siapa yang datang pagi-pagi begini. Masuklah, Nak," ucap Ibu Fatimah.
Dira masuk dan memberikan kue yang dia beli saat mau ke sini tadi. Dia lalu duduk. Ibu Fatimah meminta sepupu Yusuf yang tinggal dengannya untuk membuatkan air minum.
Dira memandang ke sekeliling berharap ada suaminya. Namun, sepertinya tak ada. Setelah diam beberapa saat, akhirnya dia angkat suara.
"Mas Yusuf nya ada, Bu?" tanya Dira akhirnya.
"Yusuf ...? Tidak ada, emangnya kemana anak itu? Apa dia tak pulang dari kemarin?" tanya Ibu Fatimah.
Dira hanya menjawab dengan gelengan. Sepertinya malas bicara. Dia mengira sang suami ada di sini.
"Apa yang terjadi, kenapa dia tak pulang? Apa kamu sudah menelepon?" Ibu kembali bertanya.
"Ponsel Mas Yusuf sudah tak aktif sejak kemarin. Berulang kali sudah aku menghubunginya," jawab Dira. Wajahnya tampak murung,
"Apa kamu bertengkar dengan Yusuf?" Kembali ibu mengulang pertanyaannya. Dia ingin tahu, kenapa sang putra tidak pulang.