Ia hanya sesosok boneka pada awalnya, hingga satu panggilan membuatnya terjaga.
Bergerak, bicara, bahkan menuruti apa yang kau pinta.
Ia melakukan apapun, asal kau berikan darahmu, sebagai bayarannya.
Namun, jangan sampai lengah! Karena ia akan menghisap jiwamu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keduapuluh Satu
Merealisasi saran dari Adnan? Ah, Deny tak tahu harus memulainya dari mana. Bagaimana mau mendekatkan diri pada Tuhan, belajar agama saja tak pernah. Deny bahkan tidak bisa membaca huruf hijaiyah. Ia menghela napas lantas meletakkan gelas di meja. Baru saja menelan pil tidur, jika tidak, Deny tidak akan bisa terlelap.
Bayang-bayang mengerikan masih saja mengganggu Deny. Bagaimana dengan Maila? Apa gadis itu mengalami hal yang sama? Mimpi-mimpi buruk yang membuat napasnya tersengal, lantas tersadar dengan tubuh yang tak bisa bergerak, seperti ditindih makhluk kasat mata di atas tubuhnya.
Deny tidak ingin jadi pengecut, tapi sering kali terlintas dalam pikirannya untuk minta ditemani untuk tidur di kamar. Mama? Tidak. Wanita itu akan menertakannya jika sampai terjadi. Maila? Ah, hanya gadis itu yang bersedia dengan suka rela. Toh, Deny tidak pernah macam-macam terhadap Maila, bahkan Deny bersedia tidur di bawah sementara Maila yang berbaring di ranjangnya.
Deny bersentak dari bengongnya ketika mendengar suara tetesan air yang mendadak terdengar konstan. Tes. Tes. Tes.
Menelan ludah, Deny melirik ke arah kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka, perlahan Deny bangkit berdiri. Melangkah menuju ke kamar mandi dan menemukan kran wastafel yang tak tertutup sempurna. Deny buru-buru mematikan kran tersebut, saat melihat cermin wastafel di depannya, bukan bayangkan wajahnya yang tertangkap oleh pandangannya, melainkan boneka Salima yang tersenyum lebar dengan taring yang tumbuh di sudut-sudut bibirnya.
Deny tersentak, ingin berteriak namun suaranya tercekat. Dengan panik, Deny terbirit keluar kamar mandi. Ia berlari secepat kilat hingga menabrak sudut meja kamarnya. Terjatuh, Deny terjerembab dan menindih sesuatu. Saat berusaha bangkit, Deny melihat sesuatu yang keras itu adalah potongan tubuh boneka Salima.
“Haaa…” Deny buru-buru bangkit dan berlari. Tujuannya hanya satu, keluar kamar dan menemukan seseorang. Saat berhasil keluar kamar dan menemukan Aini, Deny langsung menyongsong tubuh wanita itu untuk dipeluk.
“Astaga, Mas. Ada apa?”
“Dia datang lagi.” Deny tersengal-sengal. Aini segera membimbing Deny untuk ikut bersamanya ke dapur. Aini membuatkan pemuda itu segelas teh hangat untuk membuatnya sedikit tenang.
“Ceritakan pelan-pelan.”
Deny mengusap wajahnya, kemudian duduk di ruang makan mini yang terletak di dapur. Aini duduk berhadapan dengan Deny saat pemuda itu mulai bercerita tentang apa saja yang terjadi.
“Apa aku berhalusinasi?”
Aini menggeleng, ini di luar jangauannya. “Bibi nggak tau, Mas.”
Deny tertunduk, lalu membuang napas panjang. Ia mengangkat kepala ketika merasakan tepukan halus dibahunya. “Maaf nggak bisa bantu.”
Deny tersenyum, “Bibi udah banyak membantu.” Kemudian menyesap teh hangat buatan Aini. Aroma melati yang menguar dari seduhan teh manis itu membuat Deny lebih tenang. Apalagi ditemani dengan biskuit kelapa yang selalu ada di meja.
Deny baru meninggalkan meja makan setelah menghabiskan secangkir tehnya. Bukan berniat kembali ke kamar, Deny tidak punya keberanian untuk itu. Pemuda itu melangkahkan kakinya menuju kamar Maila.
Di sana sepi, Deny pun merasa heran mengapa belum malam tapi suasana kamar Maila sudah sangat sepi. Apa Maila sudah tidur? Deny menempelkan telinganya pada daun pintu.
Saat Maila keluar dari kamar, Deny dibuat terbengong saat melihat penampilan baru gadis itu. Rambutnya dipotong sangat pendek, hanya sebatas leher. Dengan ramput seperti itu, Deny melihat Maila terlihat lebih segar, apalagi dengan poni yang pagar yang menutupi dahi. Itu sangat manis.
“Wah, penampilan baru ya?” Deny nyengir melihat Maila, lebih tepatnya mengamati rambut barunya. Padahal Maila sengaja memotong rambutnya sendiri agar tidak terlalu bermodel, tapi ternyata tetap saja terlihat mencolok.
“Kalau gini, kamu nggak kayak kuntilanak lagi, deh.”
Maila cemberut. “Emang kamu seneng temenan sama kuntilanak?”
Deny tergelak, namun sesaat. Ia melongokkan kepalanya ke dalam kamar Maila sembari bertanya, “boleh masuk? Aku mau bahas sesuatu.”
Maila melebarkan pintu kamarnya dan Deny langsung duduk di tepi ranjang Maila. Gadis itu menjajarinya, kemudian bertanya, “mau bahas apa?”
“Aku mungkin terkena kutukan.”
“Kutukan?”
Deny mengangguk. Maila memang tak begitu paham dengan apa yang menimpa Deny saat ini. Tapi, jika mendengar keluhan Deny yang tak ada habisnya, kemungkinan Deny terkena kutukan boneka kayu memang besar sekali. Deny terdiam, Maila pun tak bisa memberikan banyak komentar. Pikirannya melayang.
“Mas Adnan bilang kalau kita harus banyakin ibadah. Deketin diri sama yang Kuasa.”
Deny tertawa hambar. “Gimana mo ibadah? Caranya aja nggak bisa.” Deny merasa putus asa. “Kamu?” lanjut Deny.
“Aku sholat, kok. Tiap hari.”
Deny terdiam, berpikir, mungkin bedanya kasus Maila dengan dirinya ada pada sisi religi. Sementara Deny, tidak mengerti agama sama sekali.
“Apa salahnya belajar dari awal?” tanya Maila. “Aku juga dangkal soal agama.”
Deny sependapat.
Sore itu, Deny tertidur di kamar Maila. Ranjang Maila didominasi Deny yang tidur telentang dengan pulasnya. Maila mendengus dan terpaksa mengalah dan tidur di ruang televisi.
***
Mendengar Deny dan Maila akan mengaji di salah satu majelis ta’lim, Mayang luar biasa senang. Wanita itu bahkan membelikan banyak setelan baju muslim untuk Maila, juga baju koko dan sarung lengkap dengan peci untuk Deny.
Meski awalnya, susah juga memaksa Deny mengenakan sarung. Ia tidak terbiasa, menurut Deny itu seperti mengenakan rok. Dan, apa pula memakai peci? Rambutnya jabrik karena jel, dan pasti akan lengket jika memakai peci.
Tapi dengan sedikit desakan mama, Deny mau mengenakannya, meski harus melilitkan sabuk pada sarung karena Deny selalu khawatir jika sarungnya akan melorot jika dipakai berjalan.
Hari pertama mengikuti kelas membaca al-qur’an, semua lancar saja. Kelas dibuka di masjid, tak jauh dari rumah. Deny dibimbing remaja masjid seusianya agar tak merasa malu sebab memulai dari nol. Sedangkan Maila, ada di kelas puteri, membaca qur’an dan membahas tentang hijab yang benar.
“Gimana belajarnya tadi?” tanya Maila saat mereka pulang bersama dengan berjalan kaki. Ada beberapa santri lain yang berjalan bersama, namun Deny dan Maila masih sedikit asing dengan teman-teman baru mereka.
“Tadi sempat mencatat doa sebelum makan, sebelum tidur, niat wudhu, sebelum keluar rumah dan masih banyak lagi,” jawab Deny. “Ternyata semua kegiatan baiknya diawali dengan doa ya.”
“Iya begitulah,” sahut Maila. Deny sedikit melirik ke arah Maila, gadis itu terlihat seperti orang lain ketika mengenakan hijab. Tapi sangat pantas. Dan setelahnya, mereka melangkah dalam hening. Hanya terdengar sesekali pertanyaan dari teman baru yang penasaran dengan mengapa mereka tinggal serumah. Saat obrolan mereka mulai menghangat, sesuatu yang tergeletak di tempat pembuangan sampah membuat Deny tercekat di tengah perjalanan.
Melihat Deny tercekat, Maila ingin bertanya, namun sebelum pertanyaan terucap, rasa penasarannya sudah terjawab bersamaan dengan sosok boneka kayu yang tubuhnya sudah rusak tergeletak di tempat pembuangan sampah. Boneka itu, Salima.
Maila dan Deny saling pandang, sebelum akhirnya mereka berteriak bersama dan berlari sekencang-kencangnya. Meninggalkan beberapa temannya yang terbengong dengan muka culun karena bingung kenapa kedua remaja itu langsung kabur setelah melihat tempat sampah.
Yang jelas, setan adalah musuh manusia yang paling nyata. Mereka tak akan pernah berhenti mengganggu. Tak akan.
Selesai.