Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Malu Banget!
"Kalau saya memang suka kamu, gimana?"
Syahla merasa rahangnya terjatuh mendengar pertanyaan Ustadz Amar. "A-apa?"
"Saya—"
TIN! TIN!
Suara klakson mobil di belakang mereka memotong perkataan Ustadz Amar. Rupanya sudah lampu hijau. Seperti biasa, para pengendara sangat tidak sabaran jika mobil di depan mereka tidak segera maju meski lampu hijau baru menyala satu detik yang lalu.
Pada akhirnya, pembicaraan itu terputus begitu saja dan mereka melanjutkan perjalanan ke rumah dalam diam.
Sampai di rumah, Syahla melangkah menuju kamarnya dengan bingung. Ia merasa berada di awang-awang, antara sadar dan tidak. Pertanyaan Ustadz Amar tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya.
'Kalau saya memang suka kamu, gimana?'
Syahla menutup mukanya malu. Apa-apaan, sih? Kenapa Ustadz Amar bilang begitu? Memangnya Ustadz Amar benar-benar suka padanya?
Selama beberapa jam, Syahla hanya mampu berguling-guling di atas kasurnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia menerimanya?
"Tapi, kalaupun tidak diterima, kita kan juga sudah suami istri," Syahla membenamkan wajahnya di atas bantal. "Aku harus gimana?"
Sayangnya, perut Syahla sama sekali tidak bisa diajak berkompromi untuk bergalau ria. Pada akhirnya, Syahla terpaksa beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu kamar dengan hati-hati.
Keberadaan Ustadz Amar yang sudah berdiri di depan pintu kamar dengan tangan terangkat di udara membuatnya terkejut. "Om Suami ngapain disini?"
"Eng, soalnya kamu nggak keluar-keluar, jadi saya mau ketuk pintu ngajak kamu makan," Ustadz Amar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Oh, iya.." Syahla merasa salah tingkah. "Ini saya mau makan,"
"Oke," Ustadz Amar berjalan ke arah dapur sebelum berbalik lagi menghadap Syahla. "Kata-kata saya saat di mobil tadi nggak usah terlalu dipikirkan,"
"Ya?" Syahla tergagap. Dia sama sekali tidak menyangka Ustadz Amar akan membahas hal itu terlebih dulu.
"Anggap saja saya cuma bercanda," ucap Ustadz Amar kemudian. Segera setelah mengucapkan itu, Ustadz Amar berbalik pergi masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.
"Hah?" Syahla masih melongo di tempatnya berdiri. Ia kemudian cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya kembali.
"Apa-apaan?" Syahla menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Kenapa aku harus kepikiran sampai segitunya sih? Padahal Ustadz Amar bilang begitu cuma bercanda," omelnya sembari bersungut-sungut. Ia pada akhirnya batal mengisi perutnya yang keroncongan dan kembali menjatuhkan badan di atas kasur.
...----------------...
Tak jauh berbeda, di dalam kamarnya, Ustadz Amar juga hanya merebahkan badan di atas kasur sambil matanya melihat ke langit-langit kamar. Tentu saja Ustadz Amar sama sekali tidak berniat untuk memperhatikan lebih detail pola plafon itu, karena pikirannya jauh menerawang kemana-mana.
"Kenapa aku harus bilang begitu sih?" Ustadz Amar menutup wajah dengan telapak tangannya. Rasa malu tiba-tiba menyergap dirinya, membuat pipinya terasa panas.
Perkataan Ustadz Amar di mobil tadi bukan kesengajaan, karena Ustadz Amar sendiri merasa kaget setelah menyadari mulutnya sudah lancang bicara begitu. Suara klakson mobil yang biasanya menyebalkan berubah menjadi penyelamat, karena berkat itulah dirinya tidak perlu melanjutkan ucapan ngawurnya.
"Apa ya, yang dipikirkan Syahla sekarang?" Ustadz Amar menghembuskan napas berat. "Bagaimana kalau dia jadi benci padaku?"
Pikiran itu membuat Ustadz Amar terlonjak. "Tidak mungkin kan?"
...----------------...
Menjelang isya, Syahla terpaksa keluar dari kamar karena cacing-cacing di perut sudah memberontak minta diberi makan. Alhasil, Syahla mau tidak mau harus melangkahkan kaki menuju dapur.
"Sayurnya sudah saya hangatkan," Ustadz Amar tiba-tiba muncul di samping Syahla, mengambil cangkir kopi. Syahla hanya menganggukkan kepalanya sambil mengambil piring dari rak. Saat hendak meraih mangkuk sayur dari kabinet atas dapur, Syahla harus agak berjinjit karena posisi kabinetnya yang terlalu tinggi. Ketika tangannya sedang berusaha menggapai-gapai mangkuk sayur, tangan Ustadz Amar terulur di belakangnya.
"Sayurnya masih panas, bahaya kalau tumpah," Ujar Ustadz Amar sembari menaruh mangkuk sayur di atas meja makan. Syahla yang masih merasa terkejut hanya bisa menelan ludahnya gugup dan duduk di kursi makan dengan tenang.
"Hari ini kita nggak praktek adegan novel?" tanya Ustadz Amar yang sekarang sudah duduk di depan Syahla sambil menyeruput kopi. "Deadline-nya kapan?"
"Satu bulan lagi," Jawab Syahla setelah ia selesai mengunyah suapan pertamanya. "Kalau Om Suami lagi senggang, kita bisa lanjut setelah saya makan."
"Saya senggang kok," entah kenapa, nada bicara Ustadz Amar yang terlihat biasa-biasa saja membuat Syahla kesal. Enak sekali ya, mempermainkan perasaan anak orang? Batinnya di dalam hati. Lagipula kenapa sih aku harus kesal? Aneh sekali.
Selesai menyantap makan malam sekaligus makan siangnya itu, Syahla duduk di atas sofa ruang tengah bersama Ustadz Amar.
"Sebenarnya di adegan ini mereka nonton di bioskop, cuma karena sudah malam, saya ingin melakukannya di sini saja." jelas Syahla. Ustadz Amar menganggukkan kepala mengerti.
"Adegannya bagaimana?"
"Nabila dan Ustadz Rohman menonton film horor. Nabila yang takut pada hantu berteriak saat ada jumpscare, lalu tanpa sengaja memeluk Ustadz Rohman. Di adegan inilah mereka sudah masuk ke tahap hug, yaitu peluk."
"Oke," Ustadz Amar kembali menganggukkan kepalanya. "Saya saja yang pilih filmnya."
Ustadz Amar menghentikan aktivitasnya sesaat dan menoleh pada Syahla dengan wajah jail. "Tenang saja, yang ini tidak ada adegan dewasanya,"
Pipi Syahla langsung bersemu merah, ia lalu meraih bantal sofa dan melemparkannya pada sang suami. "Jangan mengejek saya!"
Ustadz Amar tertawa terbahak-bahak, merasa puas bisa mengerjai istri kecilnya.
...----------------...
Satu jam sudah berlalu sejak film dimulai, tapi tidak ada tanda-tanda salah satu dari pasangan suami istri itu merasa ketakutan. Syahla malah sudah menguap beberapa kali selama menonton film itu.
"Nggak seru, ya?" Ustadz Amar menyadari kebosanan sang istri. "Apa kita ganti saja filmnya?"
"Boleh," Syahla menurut. Yang ini kurang serem,"
"Oke," Ustadz Amar tampak melihat dengan seksama layar handphonenya terlebih dulu, rupanya ia mencari film horor indonesia dengan rating terbaik. Setelah menemukan yang ia cari, Ustadz Amar menekan tombol play.
Satu jam sudah berlalu lagi. Ustadz Amar melirik ekspresi Syahla yang terlihat lempeng-lempeng saja. Istri kecilnya itu malah tampak asyik mengunyah keripik kentang.
"Om Suami, kayanya ini nggak berhasil deh. Soalnya setelah saya pikir-pikir, saya ini nggak takut hantu."
"Terus bagaimana? Apa mau pura-pura takut saja?" Tutur Ustadz Amar memberi ide.
"Jangan!" Tolak Syahla cepat. "Kalau pura-pura, nanti saya nggak bisa menjelaskan perasaan tokohnya!"
"Hm.." Ustadz Amar berpikir sejenak. Seekor serangga kecil yang melewati mereka membuat Ustadz Amar berseru. "Awas, ada kecoa!"
"Mana? Mana?" Syahla berseru heboh. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan melihat ke bawah.
"Di belakang!"
"AAAKKKHHH!!!" Syahla berteriak histeris. Saking takutnya, ia sampai mendekatkan tubuhnya pada Ustadz Amar dan merangkul suaminya erat-erat. "Pukul, Om Suami! Pukul!"
Ustadz Amar kelabakan melihat reaksi Syahla yang panik. Ia kemudian memeluk istrinya dengan tangan kiri dan tangan kanannya menggapai sapu. Namun karena dia tidak bisa menggapainya sambil duduk, Ustadz Amar terpaksa mengangkat Syahla dalam gendongannya. Pada akhirnya Ustadz Amar berhasil memukul kecoa itu menggunakan sapu sambil menggendong sang istri.
"Kecoanya sudah mati," ucap Ustadz Amar pada Syahla yang masih memeluknya erat-erat. Syahla membuka matanya dan mencari-cari ke lantai untuk memastikan. Benar saja, makhluk mengerikan itu sudah tergeletak tak berdaya.
"Alhamdulillah.." Syahla menghela napas lega. Tapi kelegaannya tidak berlangsung lama karena ia segera menyadari bagaimana posisinya sekarang. Setelah sadar, Syahla terbelalak dan spontan melompat turun. Karena lompatannya tidak diperhitungkan dengan baik, alhasil Syahla terjatuh dengan wajah menghadap lantai.
"Istri nggak papa? Hidungnya baik-baik saja?" Ustadz Amar panik karena suara benturan yang terdengar keras.
"Nggak papa!" Syahla mengangkat tangannya dan bangkit dengan posisi tubuh membelakangi Ustadz Amar. Setelah kakinya menapak dengan utuh, Syahla segera berlari ke kamarnya secepat kilat.
Malu banget!
ngakak trs 🤭
mau cwe apa cwo aku sempet soudzon kalo mereka ada hubungan 🤣