Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sorotan dan Bayangan
Hari-hari setelah kedatangan Bu Arin dari dinas pendidikan berjalan seperti mimpi aneh. Kelas 3A yang selama ini dikenal sebagai kelas paling kacau di sekolah, tiba-tiba jadi bahan pembicaraan.
Video mereka yang viral diliput oleh beberapa media lokal. Judul-judul artikel bermunculan: "Sekolah Hampir Tutup Justru Lahirkan Inovasi Pendidikan", "Belajar Tanpa Tembok: Kisah Guru Muda dan Kelas Paling Gila di Indonesia", hingga "Anak Nakal Bikin Konten? Ternyata Mereka Lebih Bijak dari yang Kita Kira".
Arka mengumpulkan semua murid di rumahnya."lihat, akun tiktok milik Reza menjadi ramai pengikut dan videonya meledak viral."
mereka mendapatkan cuan yang melimpah sampai puluhan juta rupiah."kita apakan uang ini pak ?" ucap Reza kepada pak Arkan.
"bersenang-senang, kita habiskan untuk jalan-jalan keluar kota." teriak Amira.
"hu..." suara murid bersorak mengejek Amir.
"tidak, kita jadikan usaha saja." ucap Deri kegirangan.
"cukup ! Kita serahkan semuanya kepada pak Arkan." teriak Reza.
"ide bagus komandan." ucap Arkan Hormat kepada Reza.
"baiklah, uangnya tarik dan kirimkan kepada rekeningku." ucap Arkan.
Tak alam kemudian notifikasi email masuk di ponsel Arkan. Sebuah undangan kepada Arkan, ia dan murid-murid bahkan sempat diundang untuk siaran radio lokal. Reza dan Amira bicara panjang soal proses kreatif mereka, sedangkan aku menjelaskan metode yang kami pakai, yang sebenarnya hanya bermodal keberanian dan sedikit nekat.
Namun di balik sorotan itu, bayangan mulai merayap.
"Pak Arka, boleh bicara sebentar?" tanya Pak Tono, Mantan guru matematika senior di sekolah kami, sekarang menjadi kepala sekolah SMA Negeri 2 Nusantara, saat aku sedang berjalan ke ruang guru.
"Tentu, Pak. Ada apa ya?"
Ia menghela napas dan menatapku dengan tatapan yang sulit dibaca, campuran antara lelah dan... iri?
"Saya sudah dengar tentang kelas Bapak. Hebat, ya. Bisa bikin satu kelas kacau jadi viral. Tapi saya bingung, Pak. Kami ini mengajar bertahun-tahun, pakai cara yang benar, ikut pelatihan resmi, tapi tak ada yang pernah angkat berita tentang kami."
Aku diam. Aku tahu arah pembicaraan ini.
"Jangan salah paham, Pak Tono," jawabku pelan. "Saya nggak niat jadi pusat perhatian. Semua ini... awalnya cuma usaha agar anak-anak itu merasa pantas untuk belajar. Saya juga masih belajar, kok."
"Masalahnya, Pak Arka," katanya sambil menepuk pundakku dengan tekanan, "sekarang semua orang bilang ‘guru yang keren itu kayak Arka’. Siswa mulai bandingin. Bahkan kelas saya ada yang bilang, 'kenapa pelajaran kita nggak seru kayak 3A?' Saya bukan iri, Pak. Tapi metode seperti Bapak... bikin standar jadi bias."
Aku mengangguk pelan. "Saya ngerti, Pak. Tapi mungkin ini saatnya kita duduk bareng. Mungkin bukan saya yang keren, tapi murid-murid itu yang akhirnya punya tempat untuk bicara. Dan saya yakin, kalau diberi kesempatan, semua kelas juga bisa punya versi kerennya sendiri."
Pak Tono tak menjawab. Ia hanya menatapku sejenak, lalu berjalan pergi.
Hari itu aku pulang dengan rasa campur aduk. Di satu sisi, aku tahu kelas kami sedang melangkah menuju sesuatu yang besar. Tapi di sisi lain, langkah ini menciptakan riak di antara para guru lain, yang mungkin merasa ditinggalkan oleh gelombang baru ini.
Dan malam harinya, aku mendapat telepon dari nomor tak dikenal.
"Halo?"
"Pak Arka? Ini dari media nasional. Kami tertarik meliput metode pengajaran Bapak dan kelas 3A. Apakah Bapak bersedia kami wawancarai minggu depan?"
Aku membeku sesaat. Nasional? Liputan nasional?
"Saya... saya akan pikirkan dulu, Pak. Terima kasih atas perhatiannya."
Setelah Arka menutup tutup telepon itu, Arak menatap langit-langit Rumahnya, Lampunya berkedip, seperti tak yakin ingin terus menyala atau padam.
Aku tidak pernah membayangkan ini sejauh ini. Dulu tujuanku sederhana: menghidupkan kembali semangat murid-murid yang nyaris dilupakan. Tapi kini, setiap langkah kami membawa sorotan. Dan seperti yang sering terjadi, di balik sorotan selalu ada bayangan panjang yang mengintai.
Keesokan harinya, aku memutuskan mengadakan pertemuan khusus dengan anak-anak.
Di kelas, aku menulis besar-besar di papan tulis: "APA TUJUAN KITA SEKARANG?"
Reza langsung mengangkat tangan. "Bikin konten lagi, Pak? Kita coba naik ke 1 juta views!"
Amira menggeleng. "Bukan. Kita harus tunjukkan bahwa yang kita lakukan itu benar-benar pendidikan. Bukan cuma hiburan."
Jaka menambahkan, "Orang luar lihat kita lucu dan beda. Tapi kita tahu, di balik itu kita juga kerja keras. Kita harus jaga itu."
Aku tersenyum. "Kalian semua benar. Karena itu, mulai hari ini, kita buat kurikulum kita sendiri. Kita susun jadwal belajar berdasarkan proyek nyata. Kita padukan pelajaran-pelajaran yang kalian anggap 'membosankan' dengan cara kalian sendiri. Tapi... harus ada hasilnya. Bisa dilihat, dirasakan, dan dijelaskan."
"Kayak bikin misi game, gitu ya, Pak?" celetuk Andi.
"Tepat! Ini misi besar. Tapi kalian bukan karakter NPC. Kalian pemain utama. Siap?"
"SIAP!"
Dan begitulah. Kami mulai menyusun "Level-Up Project" sebuah kurikulum kolaboratif yang menggabungkan pelajaran formal dengan kegiatan nyata. Matematika masuk dalam perhitungan biaya produksi video. Bahasa Indonesia lewat penulisan naskah dokumenter. IPA melalui eksperimen dan observasi alam. Bahkan PJOK jadi sesi latihan koordinasi saat membuat film.
Hari demi hari, proyek itu tumbuh. Mereka lebih serius, tapi tetap dengan canda yang khas. Dan aku? Aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar kelas.
Namun, bayangan itu belum selesai.
Suatu sore, aku mendapat undangan dari kepala sekolah.
"Pak Arka, tolong hadiri rapat dewan guru luar biasa. Besok. Ada beberapa keputusan penting."
Jantungku berdegup lagi. Tapi kali ini, aku tidak sendiri.
Karena di luar kelas 3A, satu per satu siswa dari kelas lain mulai mendekatiku.
"Pak, kapan kami bisa belajar di luar juga?" "Pak, boleh nggak kami ikut proyek dokumenter?" "Pak, ajarin kami bikin kurikulum sendiri juga, dong."
Sesuatu sedang berubah. Dan entah hasil rapat besok seperti apa, aku tah, perubahan sudah dimulai Dan tidak akan mudah dihentikan.