Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
“Anda saja tak tahu, Pak. Apalagi saya.” Bu Mar menggeleng. Ia dan Aji berdiri di luar kamar, menatap penuh rasa penasaran pada dua sosok yang sibuk membongkar isi kamar.
“Ini Juragan!” Ron mengambil dua map yang tersimpan di bawah tilam tempat tidur Nirma, meletakkannya di atas sprei polos.
Byakta Nugraha melempar begitu saja bra yang sedang ia pegang. Kemudian mendekati ranjang, membuka map berwarna coklat yang berisi akte kelahiran Kamal, akte cerai Nirma, kartu keluarga dan ijazah.
“Aji …!” panggilnya singkat.
“Ya, Juragan.” Aji berdiri tepat di samping klien nya.
“Ubah nama Ayah di akte kelahiran Kamal. Jadikan saya bapak kandungnya! Tambahkan juga ‘Nugraha’ di belakang nama Kamal Rashad. Hanya saya yang pantas menyandang status seorang Ayah bagi bayi tampan itu, bukan pria lainnya apalagi si Pecundang bermodalkan burung abal-abal!” Juragan Byakta tersenyum culas, memberikan berkas tadi kepada sang pengacara.
“Kau bisa meminta bantuan David, dikarenakan Nirma melahirkan di rumah sakit miliknya! Lakukan apapun itu, tempuh jalur mana saja asalkan berhasil! Saya tak peduli perihal biaya,” sambungnya tegas.
Aji mengambil amplop tadi. “Baik, Juragan. Saya juga butuh kartu tanda pengenal Nyonya Nirma.”
Ron langsung menurunkan tali tas yang sedari tadi ia sandang di bahu, memberikannya kepada sang tuan.
Byakta Nugraha membuka dompet Nirma, menatap dalam pada foto hitam putih yang mana ada sosok almarhum bapak Abidin, calon ayah mertuanya. Andai saja potret Yasir Huda, sudah pasti ia bakar benda itu.
“Kere sekali calon istri ku itu,” gerutunya kala hanya melihat selembar uang 5 ribu rupiah.
‘Tak nya Anda ingat juragan? Yang membuat Nirma hidup bak orang melarat ya dirimu,’ Bu Mar hanya berani membatin. Masih segar dalam ingatannya saat juragan menitahkan untuk menaikkan harga sewa yang menurutnya keterlaluan.
Namun, bagi juragan Byakta hal tersebut lumrah. Dikarenakan ia tahu betul harta yang dimiliki oleh Nirma. Wanita itu masih memiliki uang tabungan hasil dari penjualan rumah di kampung halaman ibunya.
“Saya ingin cara cepat! Bila perlu esok sudah siap semua berkas itu, lalu daftarkan ke KUA setempat! Agar lusa saya bisa langsung menikahi Nirma,” katanya tanpa berpikir panjang yang berhasil membuat tubuh Aji menegang.
"Maaf, Juragan. Secepat-cepatnya, setidaknya memerlukan waktu seminggu lamanya. Tak mungkin bila esok langsung jadi,” jelas dirinya tidak sanggup.
‘Di kira aku pesulap apa, yang asal ucap simsalabim langsung jadi kenyataan,’ gerutunya dalam hati.
“Kau tahu Ji, Ayam tetangga saya tempo hari mati dikarenakan berani masuk di halaman rumah saya,” ia menatap datar wajah pias Aji.
“Apa sebab dia mati, Juragan? Bukan karena terkena penyakit ayan ‘kan?” tanyanya hati-hati dengan perasaan mulai tak enak.
“Cuma saya tembak menggunakan senapan angin dadanya. Sebab berani betul nya bertaik di halaman rumah, langsung saja saya kokang senjata, niat hati cuma ingin menakuti, ternyata kelepasan menarik pelatuk, berakhir nyawanya melayang. Begitulah cara saya menghadapi orang yang berani mengumpat, ataupun membicarakan dibelakang maupun membatin!”
“Maaf Juragan, saya cuma sedikit protes di dalam hati, bukannya menggerutu, apalagi mengatai!” Aji terlihat ketakutan, membayangkan nasib Ayam yang mati hanya karena berani membuang kotoran di halaman rumah tuan tanah ini.
“Ha ha ha … saya suka melihat raut panik macam orang bodoh di wajah mu tu, Aji.” Juragan Byakta menepuk pundak Aji. “Saya berikan waktu seminggu, lebih dari itu tentu diri ini tak senang.”
Ron menyela pembicaraan yang jelas akan berbuntut trauma pada diri Aji. “Juragan, tentang ini, mau di apakan?”
Byakta menatap beberapa lembar foto pernikahan Yasir dengan mantan istrinya, Afna. Ron lah yang mengirim kerumah Nirma. “Kembalikan ke tempat semula. Suatu saat nanti bisa dijadikan senjata bila Nirma ingin berulah.”
Aji merasakan bulu kuduknya merinding, tapi ia tidak berani membatin lagi, hanya mengikuti langkah pria yang jelas memiliki aura bak tuan kejam.
Hari sudah mulai gelap, mereka kembali masuk mobil, melakukan perjalanan panjang kembali ke kota kecamatan.
.
.
“Bagaimana dengan dua cecunguk itu, Ron?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan pada jalanan. Ia duduk sendirian di jok penumpang.
“Suami dari Dela, sudah memasukkan gugatan perceraian di pengadilan agama, Juragan. Tak lama lagi dia akan menjadi janda! Sebab si laki-laki lebih memilih istri kedua,” beritahu Ron sambil menyetir.
“Sementara Tina, dalam seminggu ini saya pastikan bisnis suaminya yang meminjamkan uang dengan bunga besar, akan gulung tikar! Bukan hanya itu saja, pihak berwajib sedang merencanakan penggerebekan dikarenakan dia seorang pengedar barang haram!” Ron kembali memberikan informasi terkait dua sosok wanita berprofesi sebagai perawat, mereka begitu membenci Nirma.
“Pastikan dua orang tak tahu diri itu tetap bekerja di RS milik David! Saya begitu tak sabar melihat ekspresi mereka kala mengetahui siapa suami barunya Nirma nanti. Coba kalian bayangkan! Bagaimana reaksi orang yang memendam benci, tapi tak memiliki peluang untuk menyakiti. Sedangkan mangsanya tepat di depan mata … ha ha ha!” Juragan Byakta tertawa terbahak, sampai sudut matanya basah.
Aji meremas tali sabuk pengaman, mengatupkan rapat mulutnya, berusaha keras untuk tidak menggerutu apalagi membatin, cukup sekali dirinya kelepasan.
***
Sementara di rumah juragan Byakta kota kecamatan.
“Dek … bobok di kamar lain saja ya sama Ibuk.” Nirma sedang membujuk Kamal yang tidak mau keluar dari kamar juragan Byakta.
Setiap kali putranya ia gendong, pasti akan menangis kencang.
‘Ya Allah, Nak. Kita ni menumpang loh … tolong tahu diri sedikit,’ batinnya menyuarakan rasa frustasi. Aslinya ia sungkan, bahkan sedari tadi menahan lapar dikarenakan ingin makan tapi tuan rumah tidak ada di tempat.
Sesungguhnya sifat Nirma tak jauh berbeda dari sang kakak dan ibunya, mereka memiliki rasa sungkan, malu, dan tak enakan.
“Nyonya, apa tak sebaiknya makan dulu! Kami tak tahu jam berapa Juragan pulang malam ini,” ucap Wulan, calon pengasuh Kamal.
“Maaf, Kak. Tolong jangan panggil Nyonya, sebut nama saja!” pintanya merasa risih dengan kata itu.
“Kami nya yang tak enak nanti,” Wulan pun jadi bingung.
Nirma menghela napas panjang, tidak tahu harus menanggapi apalagi. Ia meminta Wulan keluar dari sana, begitu juga dengan Bik Ning yang sedari tadi menemani.
Kembali membujuk sang putra, tapi tetap tak berhasil. Kamal seakan asik dengan dunianya sendiri, main di atas kasur berbusa empuk, netranya tidak berkedip menonton tayangan siaran nasional pada televisi hitam putih.
.
.
Tepat pukul 9 malam, juragan Byakta tiba di huniannya. Ia disambut bik Ning.
“Di mana Kamal dan Nirma?” tanyanya dengan nada lelah.
“Nyonya Nirma dan Kamal ada di kamar juragan! Bayi cerdas itu tak mau di bujuk untuk keluar, asik menonton televisi dan bermain mobil-mobilan baru,” beritahu bi Ning.
Senyum samar terbit di bibir tebal sang juragan. “Sepertinya ia sudah memiliki bakat sejak dini menjadi orang kaya. Tahu betul tempat tidur empuk dan keras.”
“Bik, persiapkan buah tangan, kami akan pergi ke kampung halaman Nirma!” titahnya.
Sang bibi mengangguk, menatap sungkan, ia ragu hendak berucap.
“Katakanlah!”
“Ini perihal Nyonya Nirma, dia …?”
.
.
Bersambung.
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆