Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Bab 34. Nadine
Lelaki paruh baya bernama Reynand Reynaldi yang tak lain adalah ayah kandung Dion dan Nadine itu pun terdiam mematung di ambang pintu ruang makan. Matanya membelalak, menatap lekat dua anak kecil yang tengah duduk rapi di kursi makan. Wajahnya menegang, bibirnya bergetar, dan seolah seluruh darah di tubuhnya mengalir deras ke jantung.
Matanya terpaku pada Xaviero—anak lelaki dengan raut wajah tegas, tatapan tajam, dan senyum yang sangat ia kenal. Terlalu akrab. Terlalu familiar.
Wajah itu ....
Itu wajah Leon saat kecil.
Tubuh Reynand bergetar ringan. Pandangannya kemudian beralih pada Xaviera. Gadis kecil itu memiliki kelembutan ekspresi yang mengingatkannya pada wanita di sampingnya yang tak lain adalah ibunya–Sharon, namun sorot matanya …
Ya Tuhan, sorot mata itu adalah cerminan Leon juga. Reynand Reynaldi sampai menelan ludah berkali-kali.
"Mungkinkah mereka ....?"
“Rey?” suara Alda memanggil, heran melihat sang suami tiba-tiba diam di ambang pintu. “Kamu kenapa? Masuk sini. Ayo makan.”
Namun, Reynand tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada Xaviero dan Xaviera. Anak-anak itu … meskipun ada kemiripan dengan Dion, tapi ia sangat yakin itu bukanlah putra dari Dion melainkan Leon.
Tapi di mana Leon bila benar mereka anak-anaknya?
Dahi Reynand berkerut. Ia jelas mengikuti berita tentang Leon baik sepak terjangnya di dunia bisnis maupun segala pemberitaan tentangnya. Bahkan ia pun tahu kalau Leon dikenal sebagai seorang Cassanova.
Reynand ingat, Leon kabur dari pernikahannya tanpa sepatah katapun.
Apa Leon kabur karena anak istrinya mendadak menghilang karena ia yang dipaksa menikah dengan putri keluarga Adi Prawira?
Napasnya tercekat.
Tak mungkin salah.
“Siapa nama kalian?” tanyanya pelan, nyaris berbisik, namun cukup terdengar oleh semua orang di meja makan.
Xaviera menoleh sopan. “Saya Xaviera, Kek.”
“Dan saya Xaviero,” timpal si bocah lelaki, tersenyum lebar. “Nama kami mirip ya, Kek?”
Reynand tak mampu berkata apa pun. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Rey, kamu kenapa?” tanya Alda kini khawatir. Ia bangkit dan menghampiri suaminya, menggandeng tangannya pelan.
Namun Reynand tidak mengalihkan pandangannya dari dua bocah itu.
“Ini … anak-anakmu?” Reynand mengalihkan perhatiannya pada Sharon.
Sharon mengangguk pelan. “Iya, Pak. Ini anak-anak saya.”
“Di mana ayahnya?" tanya Reynand penasaran.
Inilah yang kerap Sharon takutkan. Orang-orang mulai mempertanyakan siapa ayah anak-anaknya? Tidak mungkin bukan ia menjawab kalau ayahnya sudah tiada karena itu tidaklah bijak. Menceritakan kalau anaknya hasil on night stand dengan seseorang yang tak dikenalnya pun rasanya akan lebih aneh lagi. Bukan tidak mungkin orang-orang akan langsung menilainya sebagai seorang wanita murahan.
Suasana seketika hening. Nadine melirik ke arah Dion, dan Dirga menoleh dengan bingung. Alda menatap Sharon, menanti jawaban.
"Papi sedang bekerja di kota besar, Kek. Di perusahaan yang gedungnya gedeee banget." Bukannya Sharon yang menjawab, melainkan Xaviera sambil membayangkan kalau ayahnya adalah laki-laki pebisnis yang sempat ia tonton tempo hari.
Sharon sampai tersentak. Bagaimana Xaviera bisa menjawab seperti itu? Memangnya siapa yang ia bayangkan?
...***...
Makan malam yang seharusnya berlangsung hangat, kini justru terasa sedikit canggung. Hal itu terjadi karena atensi Reynand Reynaldi dan Dirga sejak tadi terfokus pada Xaviera dan Xaviero.
Nadine yang kesal akhirnya membanting sendok hingga menimbulkan bunyi nyaring.
"Apa-apaan kau, Nadine? Kenapa kau membanting sendok seperti itu?" tegur ayahnya dengan dahi berkerut.
Nadine mendengus, matanya menyipit, menahan amarah yang hampir meledak. Ia merasa diremehkan, disepelekan. Terlebih, saat melihat sorot mata ayah dan suaminya yang begitu hangat tertuju pada dua bocah asing yang baru saja muncul dalam hidup mereka.
"Kenapa, Nadine?" tanya Reynand lagi, kali ini lebih pelan, mencoba menenangkan. "Kau marah?"
"Marah? Jelas!" jawab Nadine lantang, tak peduli semua mata kini memandanginya. "Sejak tadi Papa dan Dirga hanya memandangi dua anak itu seolah mereka lebih berarti dari aku—anak kandung Papa sendiri!"
Dirga yang duduk di sebelahnya tersentak. “Nadine, tidak begitu—”
“Lalu maksudmu apa, Mas?” Nadine memotong cepat. “Kau bahkan belum pernah menatapku seperti itu, seperti caramu menatap anak perempuan itu!”
"Nadine," suara Reynand lebih tenang, namun sarat ketegasan. "Papa minta kau jaga bicaramu. Anak-anak itu tidak bersalah."
Nadine menoleh, menantang.
"Jadi sekarang aku yang salah?"
Reynand menghela napas, lalu perlahan berdiri dari kursinya, menghampiri Nadine yang masih duduk dengan rahang mengeras. Ia menunduk sedikit, menyamakan tinggi pandangan.
"Sayang ... Mungkin Papa memang salah karena terlalu hanyut dalam perasaan." Suaranya kini lembut. “Tapi itu bukan karena Papa mengabaikanmu. Kau tetap anak Papa, Nadine. Tapi ... saat melihat tawa Xaviera dan Xaviero, entah kenapa … Papa merasa ada ruang kosong yang selama ini hilang di hati Papa, seolah mereka datang untuk mengisinya.”
Nadine mendadak terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia enggan menunjukkan kelemahan. Reynand melanjutkan dengan suara lebih pelan.
"Papa hanya ... rindu mendengar tawa manja cucu-cucu Ayah. Kau tahu, setelah enam tahun kau menikah, Papa dan mamamu sangat menantikan kehadiran cucu. Tapi Papa tahu, kau pernah hamil... lalu kehilangan. Ayah tahu itu menyakitkan."
Meskipun yang sebenarnya itu dikarenakan wajah Xaviera dan Xaviero yang sangat mirip dengan putranya, tetapi apa yang ia sampaikan pun ada benarnya. Memang ia merindukan tawa anak-anak di rumah itu. Ia sangat berharap anak-anaknya bisa memberikannya cucu yang menggemaskan. Namun, apa boleh buat, semenjak keguguran yang Nadine alami, ia belum kunjung hamil kembali.
Nadine memejamkan mata, mengingat betapa hancurnya hatinya saat kehilangan calon buah hatinya dan itu karena keteledorannya sendiri. Dan bagaimana semua orang, termasuk mertuanya, mulai mempertanyakan kemampuannya sebagai seorang wanita.
Dirga kini menggenggam tangan Nadine, mencoba menyampaikan bahwa ia juga mengerti perasaannya. Meskipun ia terpaksa menikahi Nadine, namun ia sudah berusaha menerima takdir itu.
Reynand menatap keduanya, lalu berbalik melihat Sharon dan anak-anaknya. “Maafkan saya kalau kehadiran kami membuat Nadine tidak nyaman," ucap Sharon merasa tak enak hati.
Sharon hanya menunduk, merasa situasi menjadi semakin rumit. Ia ingin menghindari konflik, tapi siapa sangka semuanya akan seperti ini?
Xaviera menggenggam tangan Xaviero erat-erat. Bocah kecil itu berbisik pelan, “Kenapa semua orang marah-marah, Kak?”
Xaviero menggeleng, “Entah. Tapi kayaknya … kita bikin semuanya jadi aneh."
Nadine yang sudah terlanjur kesal pun memilih berdiri dan meninggalkan ruang makan. Dion yang merasa tak enak hati pun meminta maaf pada Sharon.
"Maafkan Nadine, ya, dia biasanya tidak seperti itu," ujar Dion.
"Nggak papa. Aku mengerti perasaannya," jawab Sharon berusaha mengerti.
Makan malam pun akhirnya selesai. Dion mengajak Sharon dan anak-anak ke ruang tamu untuk mengobrol di sana, sementara Dirga kembali ke kamar dan ayahnya kembali ke ruang kerja. Alda sedang mengantar kopi ke ruang kerja Reynand Reynaldi.
"Dion, aku mau pulang. Udah malam. Anak-anak juga tampaknya sudah mulai mengantuk," ujar Sharon.
"Baiklah. Aku ke atas sebentar ya. Nanti aku antar pulang."
"Nggak usah. Aku bisa naik ...."
"Please! Jangan menolak!" melas Dion.
Sharon pun akhirnya mengangguk tak enak.
Saat Dion naik ke lantai atas, entah dari mana, Nadine tiba-tiba muncul.
"Mau apa kau ke rumah ini, hah? Mau menunjukkan kalau kau berhasil mendekati kakakku?" sentak Nadine.
Bersambung...
gawat kl sampai aki2 yg hobinya selingkuh sampai berhasil nyari tau masalalu leon dsn berdampak sama kembar
Tapi yg dimintain kompensasi malah lagi asik sama calon keluarga kecilnya 😁, eh ngapain si Dion dateng n mau ngacau yah. Semoga Leon ga kepancing soalnya ada duo bocil. anggap aja Dion ga ada daripada pusing n sekarang fokus aja pada Sharon, Leon.