Gadis dan Dara adalah sepasang gadis kembar yang tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.
Hingga Dara mengetahui bahwa ia punya saudara kembar yang terbunuh. Gadis mengirimkan paket berisi video tentang dirinya dan permintaan tolong untuk menyelidiki kematiannya.
Akankah Dara menyelidiki kematian saudaranya? Bagaimana Dara masuk ke keluarga Gadis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Freya Alana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Alamsyah
Dara dibawa ke rumah sakit oleh orang-orangnya Babe. Masih tak sadar dan tubuhnya luka-luka karena digulingkan ke aspal.
Irsad langsung menuju ke rumah sakit setelah mendapat laporan dari polisi setempat. Mendengar suara Irsad, susah payah Dara membuka mata.
“Sad, ffffiind myy … phooone.”
“Sssh, jangan pikirin. Hape bisa dibeli lagi.” Askara menenangkan adik sepupunya.
Dara menggeleng lemah lalu berkata sebelum kembali tidak sadar, “Sad, ffiiind my … phone.”
“Astaga, Dara…” Irsad ketika memahami dan langsung mencari lokasi hape Dara melalui aplikasi yang dimaksud.
Tak berapa lama Irsad sudah mencari kendaraan dimana Dara dengan sisa perlawanan diam-diam meninggalkan hapenya saat dibekap masuk.
Di perbatasan antara Jakarta dan Jawa Barat, kendaraan yang dipakai untuk menculik Dara ditemukan di tengah hutan. Tim forensik langsung bergerak cepat mencari jejak baik berupa sidik jari atau apapun.
“Bos, ketemu! Sidik jari pengemudi masih tertinggal di sisa pintu! Namanya Ferdi Salmon, residivis kelas kakap yang sudah bolak-balik masuk penjara.”
“Tangkap!” Perintah Irsad.
“Siap!”
Terus meneliti mobil yang menjadi saksi kejahatan keji, Irsad tak mau berhenti menyerah. Ia memandang berkeliling.
“Fero alias Alamsyah, aku akan menemukanmu.”
***
Alamsyah melampiaskan kemarahannya pada wanita yang merintih kesakitan di bawah kungkungannya.
“Bang, ampun, sakit.”
“Diam, gue udah bayar lu!”
Di benak Alamsyah ia melihat Dara yang memohon ampun padanya. Tergeletak tanpa daya di bawah kekuasaannya. Namun tidak di dunia nyata. Entah berapa nyawa yang dimiliki Dara. Dua kali ia berusaha mencelakai wanita itu dan setiap kali kegagalan yang diterimanya.
Tidak ada kata gagal di kamus Alamsyah. Bahkan ia mampu melenyapkan seorang menteri di negara belahan barat dan lolos tanpa jejak. Ia pun berhasil melenyapkan Gadis Anantara, tapi kembarannya ini sungguh memiliki keberuntungan yang tidak habis-habis.
Sambil terus membayangkan Dara, pria yang hatinya sudah mati itu terus bergerak kasar, tanpa memedulikan rintihan mengiba yang keluar dari mulut wanita itu.
Begitu selesai, ia memulai lagi berulang kali tanpa jeda hingga si wanita tak sadarkan diri.
Alamsyah berdiri lalu memakai bajunya. Ditatapnya pantulan diri di cermin kamar mandi. Ia menghapus samaran. Menanggalkan bekas luka di pipi kiri.
Kini ia berganti menjadi seorang pria culun dengan kaca mata tebal dan kumis tipis.
Setelah selesai, ia lmengambil tas. Wanita bayarannya masih meringkuk di tempat tidur. Berusaha untuk bergerak sambil menahan sakit di area intinya. Alamsyah tersenyum merendahkan lalu tanpa kata keluar meninggalkannya.
Begitu keluar kamar hotel sebuah pesan masuk:
Ferdi sudah tertangkap. Ia langsung bernyanyi.
Alamsyah mengerutkan kening. Tidak pernah ada cerita anak buahnya tertangkap di misi sebelumnya. Itulah mengapa ia lebih suka kerja sendiri.
Ia membalas:
Bagaimana bisa?
Balasannya membuat kepala terasa berputar:
Target meninggalkan hape di mobil.
Emosi Alamsyah menggelegak. Rahangnya mengeras. Bayangan Dara dengan senyum cerianya berkelebat.
Harus melampiaskan emosinya, ia masuk lagi ke kamar hotel menatap wanita yang sedang memakai kembali pakaiannya.
“Naik ke tempat tidur! Aku belum selesai.”
Wanita itu menggeleng kuat-kuat.
“Ampun, Bang. Udah.”
“Jangan sampai gue paksa.”
“Ampun, Bang.”
Alamsyah melepas kaca matanya. Si wanita melompat ke atas tempat tidur menuju pintu keluar. Nalurinya menyuruh kabur. Dengan sekali gerakan Alamsyah menangkap dan membantingnya ke kasur. Matanya menatap bengis.
Wanita itu memandang pasrah ketika Alamsyah dengan kasar membentangkan kakinya.
“Scream for me, Baby!” Titah Alamsyah dengan nada dingin.
Dua jam kemudian, Alamsyah pergi menuju bandara. Ia harus menghilang untuk beberapa saat.
Dalam kamar, perempuan tertatih ke arah pintu lalu menguncinya. Dengan kaki dan tangan gemetar ia meraih tasnya mencari hape.
“Pak Irsad, sepertinya saya barusan melayani buronan Bapak. Saya dengar menelepon dan bergerak menuju airport. Dia tidak lagi punya luka di pipi. Itu hanya samaran.”
Irsad menyimak laporan informannya. Seorang wanita panggilan yang hutang budi karena diselamatkan dari gembong narkoba kejam.
“Kamu dengar dia mau ke mana?”
“Thailand.”
“Okey, thanks. Lu hati-hati. Dia bahaya.”
“Sssaaya tau. Dia pakai kaca mata tebal dan kumis tipis. Kalau dia belum mengubah samarannya.”
“Baik.”
Di layar tablet, Irsad membaca transkrip interogasi anak buah Alamsyah yang memanfaatkan keadaan untuk bernegosiasi.
Irsad memainkan stylus lalu membuat sketsa kemungkinan penampakan Alamsyah berdasarkan keterangan informannya dan Ferdi Salmon.
Entah nama apa yang dipakai Alamsyah kali ini namun yang jelas, begitu Irsad selesai, sketsa pria culun dengan kaca mata tebal dan kumis tipis sudah tersebar di seluruh petugas keamanan airport.
***
Seorang laki-laki gegas berjalan menuju gate pesawat. Irsad mengamati buronannya dari ruang kamera. Memakai kemeja kotak-kotak dan menoleh ke sana kemari.
Alis Irsad berkerut.
“Resah dan gelisah. Sepertinya itu bukan gayamu,” ucapnya pelan.
Makin lama mengamati, Irsad semakin yakin pria itu bukanlah Alamsyah.
“Bawa ke sini.”
Dengan mudah pria itu tertangkap kemudian dibawa ke hadapan Irsad.
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Mmmaaaf Pak. Seorang laki-laki menyuruh saya memakai baju ini dan membayar dua juta rupiah.”
“Aaargh!” Irsad menggebrak meja.
Ia mengambil hape lalu menelepon anak buahnya yang berjaga di rumah sakit.
“Bagaimana kondisi di sana?”
“Aman, Pak. Barusan Bu Dara dipindahkan dari IGD ke kamar.”
“Kalian mengikuti?”
“Siap! Kami sekarang berada di depan kamar Ibu Dara bersama beberapa irang-orangnya Babe.”
Irsad memejamkan mata.
“Ada Pak Askara di sana?”
“Tidak. Pak Askara dibantu Babe masih mengurus pemulangan jenazah para pengawal.”
“Buka kamera video. Masuk ke kamar dan periksa.”
Ketakutan Irsad menjadi kenyataan ketika anak buahnya menyorot tempat tidur kosong.
Dalam sebuah mobil, Alamsyah tertawa penuh kemenangan. Dara terkapar di bagasi masih tidak sadarkan diri, dengan tangan dan kaki terikat.
Tak berapa lama ia menelepon Anwar.
“Masih punya nyali untuk menelepon?”
“Punya. Target sudah bersama saya.”
Anwar menegakkan punggungnya. Melati di sebelahnya ikut waspada.
“Opa, biar Mel yang ngomong.”
Anwar menyerahkan hape pada cucunya.
“Alam, jangan main-main lagi. Langsung lenyapkan. Saya mau Dara Anantara mati membusuk di hutan.”
Alamsyah mendengus.
“Siap!”
Lalu ia mematikan sambungan telepon. Di benaknya ia infin bersenang-senang dulu dengan Dara baru melenyapkan.
***
Askara dan Babe pias mendapat laporan dari polisi dan beberapa pemuda yang kecolongan saat menjaga Dara.
Irsad hanya bisa menerima amukan Askara melalui telepon.
Ia menggosok wajahnya dengan kasar lalu kembali memusatkan perhatian pada kamera CCTV yang dipasang di setiap pintu keluar.
Dara memang betul dipindahkan ke ruang perawatan biasa oleh perawat. Namun saat di sana sendiri, seorang perawat laki-laki masuk dengan membawa kereta laundry. Hal ini luput dari perhatian anak buahnya.
Dari video Irsad melihat bobot kereta laundry bertambah ketika keluar dari kamar Dara menuju ke pintu loading di belakang.
Sebuah kendaraan mini van putih sudah menunggu. Perawat itu mendorong kereta laundry masuk.
Irsad memerintahkan untuk mencari mobil van putih. Tanpa tahu bahwa Alamsyah telah menyiapkan mobil lain di tempat tersembunyi kemudian memindahkan Dara yang masih tidak sadar.
***
Dara mengerjapkan mata. Sinar terang dari jendela menyilaukan mata yang telah terpejam selama dua hari.
Seorang laki-laki tersenyum menyambutnya.
“Hai, Sayang?”
“Siapa? … Ssiiapa kamu?”
Alamsyah tersenyum. Dara menyadari bentuk mata dengan sorot dingin yang selalu tertanam dalam ingatannya. Mata milik Fero/Alamsyah.
“Nggak!”
Dara segera bangkit untuk kabur namun satu tangannya terborgol di tempat tidur.
Alamsyah tersenyum, akhirnya melihat Dara mutlak berada di bawah kekuasaanya.
“Makan dan minum. Tenang, itu tidak diracun.”
Dara menendang nampan berisi makanan dan minuman di depannya hingga berserakan.
Melihat reaksi Dara, sambil berjalan mendekati, Alamsyah malah tersenyum.
Ia duduk di depan wanita yang sedang marah sekaligus ketakutan.
“Makanan baru ada lagi dua belas jam kemudian. Selamat puasa,” ucap Alamsyah sambil mengacak rambut Dara yang tidak tertutup kerudung.
Dara menatap dengan pandangan marah. Satu tangannya yang bebas hendak menyerang wajah Alamsyah. Dengan tangkas mantan anggota pasukn khusus itu menangkap.
Alamsyah pun tergelak senang.
“Jangan galak-galak, nanti aku marah. Kamu nggak mau liat aku marah. Ingat Davina? Mau punya video kayak dia?”
Air mata membasahi pelupuk mata Dara.
“Ssssh, jangan nangis. Kamu bener-bener mirip Gadis. Cuma dia lembut nggak kayak kamu berangasan.”
Alamsya mencubit pucuk hidung bangir milik Dara.
“Mmmm, gemes,” ucapnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Dara langsung menggosok hidungnya dengan tangan. Menghilangkan bekas sentuhan monster di depannya yang makin terkekeh.
“Siapa?” Tanya Dara dengan marah.
“Hmmm?”
“Siapa yang menyuruhmu membunuh semua keluargaku?”
“Eits, so far aku hanya berhasil membunuh Gadis. Kamu, sih, nggak mati-mati. Kalau Papa dan Mama kamu itu kerjaan monster yang sesungguhnya.”
“Siapa …”
“Sabar, Sayang. Ujung dari perjalanan ini adalah kematianmu. Nah sebelum itu aku janji akan membuka semuanya.”
Tak mau berkata-kata lagi, Dara memalingkan wajahnya namun ditahan oleh tangan kekar Alamsyah. Laki-laki itu mencubit dagu Dara hingga netra mereka bersitatap.
“Aku nggak sabar buat unboxing kamu,” bisiknya sambil terus menatap Dara.
“Go to hell!” Jawab Dara memberanikan diri menatap Alamsyah.
“You will. I won’t.”
Dengan cepat Alamsyah menempelkan bibirnya ke bibir Dara. Dua tangan menangkup wajah wanita yang langsung meronta-ronta dan memukul sekenanya. Pria itu terus menyesap bibir Dara tanpa ampun, memaksanya membuka mulut dan menjelajah di dalamnya.
Setelah puas ia melepas pa gu tan dan kembali menatap wajah yang sudah berlinang air mata.
“Bibir kamu manis. Tunggu ya, nanti aku akan kasih kamu kenikmatan tertinggi sebelum mati.”
Alamsyah lalu pergi meninggalkan Dara yang terisak-isak.
Di balik pintu laki-laki itu tersenyum culas.
“Kamu kalah, Irsad Mumtaz Adinegara.”
***
Hai hai, maaf beberapa hari ini nggak update karena lagi nemenin yang minta ditemenin hehehe.
Oya, semoga para readers selalu berkah, sehat dan dilindungi Allah SWT.
***
👍👍👍👍
❤❤❤❤
semoga mbak Authornya sehat selalu, sukses dan berkah, makasih mbak Author
❤❤❤❤
karyamu keren thor. good job
makasih yah kak
karyanya bagus
semoga nanti Makin banyak yang baca,Makin banyak yang suka
sukses selalu ❤️