Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 : Pabrik Tua yang Terbengkalai
Di apartemen yang temaram, hanya cahaya lampu gantung dapur yang menyala, memantulkan kilau samar di atas meja makan yang masih kosong. Leonard berdiri di depan jendela kaca, menatap gelapnya langit malam kota yang berpendar dengan cahaya lampu dari kejauhan. Tangan kirinya menggenggam ponsel, sementara tangan kanan meremas lehernya yang tegang.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Terlalu larut untuk sebuah malam kerja biasa.
Biasanya, Samantha akan mengirim pesan pendek jika harus lembur atau menghadiri pertemuan mendadak. Bahkan saat sibuk pun, ia selalu menyempatkan diri untuk sekadar mengirimkan kata "sebentar lagi pulang" atau emoji cangkir kopi. Tapi malam ini... tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Dan saat ia menelepon, suara dingin dari sistem operator hanya berkata, "Nomor yang Anda tuju berada di luar jangkauan."
Dua kali. Tiga kali. Masih sama.
Leonard mulai gelisah. Perasaan tidak nyaman mulai menjalari dadanya. Ia berjalan bolak-balik di ruang tengah, seolah langkahnya bisa menyapu keresahan yang semakin membubung.
Dan tiba-tiba, sebuah nama terlintas di kepalanya...
Nathaniel.
Bukan karena cemburu, bukan karena curiga, tapi... karena jika ada satu orang yang mungkin tahu di mana Samantha berada malam ini...itu adalah lelaki itu.
Tanpa berpikir panjang, Leonard membuka kontak dan menekan tombol panggil.
Suara sambungan terdengar. Satu detik. Dua. Tiga.
Dan akhirnya, suara berat di seberang menjawab, "Leonard?"
Leonard menahan napas sejenak sebelum menjawab, "Nathaniel. Maaf mengganggumu malam-malam begini. Aku hanya ingin tahu...apakah kau tahu di mana Samantha sekarang?"
Hening sejenak di seberang. Lalu suara Nathaniel terdengar sedikit tajam namun terkontrol, "Apa maksudmu? Bukankah dia sudah pulang dari kantor? Aku meninggalkan ruangannya sekitar jam tujuh...”
Leonard menelan ludah. "Dia belum pulang. Dan ponselnya tidak bisa dihubungi."
Kini keheningan yang menyusul terasa lebih berat. Ada sesuatu dalam diam itu yang membuat dada Leonard terasa lebih sesak.
"...Berikan aku sedikit waktu," suara Nathaniel akhirnya terdengar, kali ini lebih dalam. "Aku akan cari tahu."
Panggilan terputus. Dan malam itu, keheningan di apartemen Leonard berubah menjadi bayang-bayang tak kasat mata yang mencekik. Ia menatap layar ponsel yang tak kunjung berdering kembali, dan untuk pertama kalinya, ia merasa dunia mereka tengah bersiap berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap.
...****************...
Nathaniel berdiri gusar "Maaf tapi pertemuan ini harus kita tunda" tanpa berbasa-basi Nathaneil dan beranjak meninggalkan ruang rapat tersebut. Asisten pribadinya dibuat melongo, kontrak senilai ratusan dolar diabaikan begitu saja. Meninggalkan para investor dengan wajah kesal penuh pertanyaan, "Dimana perginya Nathaneil Graves yang profesional?"
Nathaneil berdiri kaku di ruang kerjanya yang remang, telepon genggam masih tergenggam erat di tangan. Wajahnya menegang, garis rahangnya menonjol saat pikirannya mulai bekerja cepat.
Samantha tidak pulang. Ponselnya mati. Terakhir kulihat dia... sendiri.
Ia segera menuju lemari arsip kecil di sudut ruangan. Tangan terampilnya menarik sebuah laci tersembunyi dan mengeluarkan tablet hitam dengan sistem keamanan biometrik. Ia menyalakannya, jarinya bergerak cepat membuka akses ke sistem keamanan internal perusahaan. Kamera-kamera pengawas, terutama di lorong kantor dan area parkir bawah tanah.
Dalam hitungan detik, ia memutar ulang rekaman terakhir yang menunjukkan Samantha keluar dari ruangannya. Jam 19:12. Ia terlihat santai, seperti biasa, mengenakan coat krem dan tas kerja di bahu. Tidak terlihat tergesa.
Lalu cuplikan berlanjut, kamera lorong, lift, dan akhirnya parkiran.
Dan di situlah... sesuatu membuat Nathaniel menegang.
Di rekaman kamera parkir, Samantha berjalan menuju mobilnya. Lalu... video terhenti beberapa detik. Glitch. Seolah sengaja diacak. Tapi saat gambar kembali pulih, mobilnya masih di tempat. Namun tidak terlihat Samantha lagi.
Nathaniel mengeraskan rahangnya.
"Seseorang telah menghapus bagian penting dari rekaman..."
Ia segera menekan tombol panggil cepat. "Elric & akses sistem keamanan kantor, kode prioritas hitam. Aku ingin tahu siapa yang terakhir menyentuh server utama hari ini. Dan aktifkan kembali pelacak kendaraan di sistem keamanan.”
"Baik, Tuan Graves," sahut suara di seberang.
Nathaniel menutup tablet dan mengambil mantel hitamnya. Saat ia melewati kaca jendela besar yang menghadap kota, matanya menyipit. Ada sesuatu yang salah, sangat salah, dan seseorang sedang bermain terlalu jauh dalam arena yang tidak mereka pahami.
"Samantha..." gumamnya, suaranya pelan namun sarat dengan ancaman. "Jika ada yang menyakitimu, aku akan membakar seluruh kota untuk mengambilmu kembali."
Langkahnya cepat dan tegas saat ia meninggalkan ruangan, malam itu langit kota tampak lebih kelam. Dan bagi seseorang di luar sana, badai tengah bersiap datang.
...****************...
Udara di ruangan itu dingin dan lembap. Bau besi tua, debu, dan sesuatu yang amis menggantung di udara, menusuk hingga ke tenggorokan. Samantha terbangun dalam keadaan setengah sadar. Kepalanya berat, denyut nyeri berdenyut di pelipisnya, entah karena pukulan atau efek zat yang dihirupnya sebelumnya.
Matanya terbuka perlahan, namun pandangannya buram. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia benar-benar sadar bahwa tangan dan kakinya terikat kuat dengan tali kasar. Mulutnya dilakban, dan kulit di sekitar pergelangan tangannya terasa perih karena bergesekan saat ia mencoba melawan.
Ruangan itu tampak seperti pabrik tua yang sudah lama ditinggalkan, temboknya berlumut, lampu neon berkedip lemah di langit-langit beton. Tidak ada jendela, hanya satu pintu logam di ujung ruangan. Dinginnya lantai meresap hingga ke tulangnya, dan rasa takut perlahan mulai menyelinap.
Namun, Samantha bukan wanita lemah yang mudah hancur.
Meski napasnya tersengal karena panik, ia mencoba mengendalikan pikirannya. Tenang. Jangan panik. Ingat detail. Apa yang terjadi sebelumnya? Ia mengingat lift. Parkiran. Mobilnya. Lalu... seseorang dari kursi belakang. Sebelum semuanya gelap.
Tiba-tiba pintu logam itu berderit, membuka perlahan. Sosok bertubuh tinggi masuk, mengenakan jaket gelap dan masker setengah wajah. Langkahnya berat, mengintimidasi. Di belakangnya, samar-samar terdengar suara seorang wanita, lembut, namun menyimpan racun.
"Akhirnya dia bangun," kata suara itu. Dan saat sosok wanita itu masuk, cahaya lampu yang redup menyorot wajahnya.
Clara.
Dengan senyum miring di bibir merah darahnya, ia berjongkok di hadapan Samantha.
"Kau pasti bertanya-tanya... kenapa aku melakukan ini," ucapnya pelan, hampir manis. "Tapi sebenarnya, kau sudah tahu jawabannya, kan? Karena kau... selalu menang."
Clara menyentuh dagu Samantha, menarik wajahnya agar saling menatap.
"Tapi tidak malam ini."
Samantha menatapnya balik, matanya menyala marah meski tubuhnya tak berdaya. Ia tidak akan memberikan Clara kepuasan melihat ketakutan di wajahnya.
Clara berdiri, menoleh pada pria bertopeng di sampingnya, Axton. “Buat dia merasa... cukup hancur, tapi jangan rusak wajahnya dulu. Aku masih ingin mempermalukannya di depan semua orang nanti.”
Namun dalam diam, Samantha tidak menyerah. Ia tahu akan ada celah. Dan bila kesempatan itu datang... ia akan melawan.
Dengan seluruh nyawa yang ia punya.