"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"
Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."
Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.
Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.
Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.
NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!
Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Martin dan Vanessa di Pan Lova
Pan Lova sore itu cukup ramai. Musik akustik mengalun pelan dari speaker di sudut kafe, dan aroma kopi bercampur rempah-rempah memenuhi ruangan. Di tengah keramaian itu, Martin Winter sedang duduk gelisah di dekat jendela, menunggu seseorang.
Tak lama kemudian, pintu kaca terbuka dan seorang perempuan berambut panjang dengan cardigan abu-abu masuk sambil menoleh kanan-kiri. Ia mengenakan blus hijau tua, celana satin hitam, dan sepatu sneakers putih. Begitu melihat Martin, senyumnya langsung merekah.
“Martin!” sapa Vanessa sambil melambai.
Martin berdiri cepat, lalu menarik kursi untuknya. “Sorry ya, tadi tempatnya agak penuh. Dapetnya di sini.”
“Bagus, kok. Cozy,” ujar Vanessa sambil duduk. Ia meletakkan tas tangannya di pangkuan, lalu tersenyum lagi.
"Ngana sering ke sini, yah?” tanya Martin mengambil buku menu yang diberikan oleh pelayan kafe.
Vanessa mengangguk. “Perusahaan aku, Elf Designator, yang merancang desain lantai duanya."
"Oh," balas Martin setelah sebelumnya menyebutkan pesanannya. "kalo aku tak salah ingat, ada sepupu kerja di bagian manajemennya. Di bagian legal."
"Siapa?"
"Kezia Celine."
"Edodoe... itu sepupu ngana? Waktu itu, aku ketemu dia."
"Sempit sekali."
"Apanya yang sempit?"
"Dunia ini begitu sempit, maksud aku."
Baru saja Martin hendak menjelaskan lebih jauh, seseorang lewat tak jauh dari mereka dengan nampan berisi dua minuman. Vanessa menoleh dan matanya membulat sedikit.
“Eh, bukannya itu Kezia?” bisiknya.
Martin menoleh, lalu nyengir. “Eh iya... Eh! Celine!”
Kezia menoleh kaget mendengar nama kecil masa kecilnya dipanggil keras-keras. Saat melihat Martin, ia mendesah, tapi tetap tersenyum. Ia berjalan ke arah mereka.
“Martin… ngana panggil-panggil nama kecil buat apa?” tanya Kezia sambil meletakkan nampan di meja kosong sebelah.
Martin bangkit berdiri, sedikit salah tingkah. “Kenalin, ini... teman aku. Vanessa namanya. Yang waktu itu cerita ke ngana. Ini Kezia, sepupu jauhnya torang.”
Vanessa mengangguk sopan. “Halo, Kezia. Saya Vanessa.”
Kezia menjabat tangan Vanessa sambil tersenyum ramah. “Eh, halo, Vanessa. Panggil jo Zia kalau mo lebih akrab.”
Mereka semua duduk. Martin tampak agak gelisah, terutama saat Kezia menyenderkan tubuhnya santai ke sandaran kursi dan menatap Vanessa dari ujung kaki sampai kepala.
Lalu, dalam Bahasa Menado yang halus tapi tegas, Kezia berkata, “Eh, Vanessa...”
“Iya?” sahut Vanessa, ikut berbicara dalam dialek yang sama, walau nadanya masih agak canggung.
“Ngana yakin mo deng Martin?”
Vanessa terdiam sejenak. Lalu, dengan nada yang lembut, ia menjawab, “Kita so pikir baik-baik. Martin baik orangnya.”
Kezia mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Martin. “Cuma mo bilang. Dia belum ada kerjaan tetap. Masih hidup dari uangnya kakakku."
Martin langsung cemberut. “Eh, Celine, jangan begitu juga, dong. Ngana kira kita seng ada usaha? Kan baru bulan kemarin kita kasi apply empat tempat. Biasa orang tunggu panggilan lama.”
Kezia tertawa kecil. “Sabar, Martin. Seng marah. Kita cuma bilang fakta. Biar Vanessa tau dari awal.”
Vanessa menatap Martin sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kita sudah tau. Martin juga sudah cerita. Kita terima dia begitu.”
Kezia mengangkat alis. “Sungguh?”
“Iya. Selama dia jujur dan berusaha, apa lagi yang mo kita cari?”
Martin tersenyum kecil, hatinya terasa hangat, tapi juga masih agak was-was. Kezia memang terkenal blak-blakan, dan biasanya bukan cuma berhenti di satu pertanyaan saja.
“Vanessa sudah lama di Elf Designator?” tanya Kezia kemudian.
“Sudah tiga tahunan,” jawab Vanessa pelan.
“Itu benar-benar hasil kerjaan desain ngana, kan?”
“Sketsa awal dari aku. Sisanya, teman-teman yang finishing.”
Martin ikut menyahut, mencoba mencairkan suasana. “Vanessa ini suka banget buku. Bahkan dia punya rak buku di mobil.”
Kezia tertawa. “Rak buku di mobil? Wah, parah! Ini orang benar-benar bibliophile.”
“Seng parah, Celine. Cuma beda,” sanggah Vanessa pelan.
“Bagus kalau begitu,” kata Kezia, mulai melunak. “Martin itu memang anak baik. Cuma kadang lambat panas. Jadi harus selalu diingatin. Kadang dia terlalu percaya sama orang, jadi gampang diputar otaknya.”
“Celine...” protes Martin lirih.
Vanessa tersenyum tenang. “Kita juga begitu kadang. Jadi mungkin cocok.”
Kezia menatap mereka berdua sejenak, lalu menghela napas. “Yasudah, kalau begitu. Tapi kalau nanti Martin bikin masalah, ngana datang jo ke sini. Kita kasi sikat dia.”
Martin tertawa geli, sedangkan Vanessa hanya tersenyum malu-malu.
“Eh, tapi betul, yah. Ngana dua cocok. Saling menenangkan.”
Kezia berdiri sambil mengambil nampan kosong. “Ngana dua mo pesan tambahan? Kue panada masih ada. Atau, klappertaart?"
Martin mengangguk. “Boleh klappertaart.”
“Kasih diskon sepupu, dong,” canda Vanessa.
Kezia menyeringai. “Untuk Vanessa, boleh. Untuk Martin? Hmm, nanti pikir-pikir dulu. Sudah tinggal gratis, dikasih upah sama kakakku."
Setelah Kezia berlalu, Martin menghela napas panjang. Vanessa tertawa kecil.
“Kamu tegang banget, Martin.”
“Iya, soalnya Celine itu kayak kakak perempuan yang suka jaga-jaga banget. Dia tuh suka sok tahu tapi sebenarnya sayang.”
Vanessa memandang Martin sejenak. “Dia cuma pengin kamu baik-baik aja.”
Martin mengangguk. “Iya. Aku juga tahu. Tapi tetap saja, malu kan.”
Vanessa menggenggam tangan Martin di atas meja. “Tapi dari dia, aku jadi makin yakin. Kamu anak baik.”
Martin tersipu.
Di sudut Pan Lova yang hangat itu, dua hati yang masih mencari kepastian saling berpaut sedikit lebih erat, diiringi tawa lepas, bahasa daerah, dan kopi yang belum habis di cangkir.