Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tujuh
Khanza dan Dipta sama-sama berdiri dari duduknya. Pria itu pamit pulang, karena berencana akan bicara dengan mamanya. Dia mau mengatakan jika telah memiliki wanita yang dicintai dan itu bukan Vania.
"Aku pulang dulu. Aku juga mau bicara dengan mama. Kamu jangan banyak pikiran. Hanya satu yang boleh kamu pikirkan, itu adalah kesehatan kamu dan Mika. Selain itu, biar aku yang mikir," ucap Dipta.
"Mas, bagaimana jika mamanya kamu tak merestui juga hubungan kita?" tanya Khanza.
"Aku akan meyakinkan mama, jika hanya kamu wanita yang aku cintai. Bukan yang lain," ucap Dipta.
"Bagaimana jika Mamanya Mas tetap tak bisa menerima kehadiranku dan Mika?" tanya Khanza.
"Aku akan berusaha dengan segala cara untuk meyakinkan mama kalau kamu wanita yang baik dan pantas untukku," ucap Dipta.
Khanza hanya tersenyum menanggapi ucapan pria itu, karena dia tak yakin jika Dipta bisa membujuk mamanya untuk dapat menerima kehadiran dirinya dan sang putra.
Dipta lalu pamit. Dia mengecup dengan lembut pucuk kepala Khanza. Setelah itu mengacak rambutnya.
"Aku pamit. Sekali lagi aku katakan, jangan pikirkan ucapan mamaku tadi. Aku tak akan bisa dipengaruhi. Aku akan tetap mencintaimu walau banyak yang menentang nantinya," ucap Dipta.
Khanza tersenyum lembut, merasa bahagia dengan kata-kata Dipta. "Aku juga mencintaimu, Mas. Aku percaya pada kamu," kata Khanza. Khanza sengaja membalas dengan ucapan itu agar Dipta tak sedih. Padahal dalam hatinya tak yakin akan berhasil dengan apa yang pria itu lakukan.
Dipta memandang Khanza sejenak, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan. Khanza memandangnya dengan mata yang penuh kasih sayang, merasa bahagia dengan kehadiran Dipta dalam hidupnya. Setelah Dipta pergi, Khanza merasa sedikit lebih tenang, tapi pikirannya masih melayang pada Vania dan ucapan Mama Lily sebelumnya.
Khanza lalu masuk ke rumah dan berjalan menuju kamar Vania. Mengetuknya pelan dengan memanggil namanya.
"Mbak Vania, boleh aku masuk?" panggil Khanza, mengetuk pintu kamar Vania dengan pelan. Dia tak mau nanti jadi pusat perhatian bagi bidan-bidan yang bekerja dengan dokter kandungan itu.
Setelah beberapa saat, pintu terbuka dan Vania muncul dengan mata yang sedikit merah. "Ada apa, Khanza?" tanya Vania, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
"Mbak, apa aku boleh masuk? Aku ingin berbicara dengan Mbak tentang sesuatu," kata Khanza.
"Apakah penting, Khanza?" tanya Vania.
Pertanyaan Vania itu membuat Khanza heran. Selama ini, wanita itu tak pernah bertanya, apa keperluannya mengetuk pintu. Tapi, hari ini semua tampak berbeda.
"Penting juga menurutku. Tapi kalau Mbak emang tak mau di ganggu nanti saja kita bicara," ucap Khanza.
Vania memandang Khanza dengan rasa penasaran, "Apa yang ingin kamu bicarakan, Khanza?"
"Apa aku boleh masuk, Mbak. Karena aku tak mau ada yang mendengar," jawab Khanza.
"Kalau begitu masuklah ...," ucap Vania akhirnya.
Vania membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Khanza masuk. Mereka lalu memilih duduk di tepi ranjang.
Khanza mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai percakapan. "Aku ingin tahu tentang Mbak Vania. Tapi sebelumnya aku minta maaf jika pertanyaanku membuat Mbak agak canggung dan tak nyaman. Apakah benar Mbak memiliki perasaan, lebih dari sekedar teman dengan mas Dipta?" Vania jadi terkejut, matanya melebar tak percaya dengan pertanyaan Khanza.
Vania mencoba mengalihkan perhatian, tapi Khanza tetap memandangnya dengan raut wajah yang mengandung banyak pertanyaan. "Mbak Vania, aku tahu ada sesuatu yang Mbak sembunyikan. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Khanza dengan nada yang lembut tapi tegas. Vania merasa terpojok, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Khanza.
Vania menarik napas dalam. Dia lalu meraih tangan Khanza.
"Khanza, aku tak ada menyembunyikan apa pun. Mengenai perasaanku, kamu tak perlu kuatir. Aku tak ada perasaan lain, kecuali hanya rasa persahabatan. Jika memang aku menginginkan Dipta, aku tak akan membiarkan kamu tetap tinggal di sini. Apakah kamu masih meragukan keikhlasan aku?" tanya Vania sambil tersenyum.
"Mbak, jika memang Mbak mencintai Mas Dipta, aku ikhlas mengalah. Mbak lebih pantas buat Mas Dipta," ucap Khanza.
"Khanza, anggap saja aku memang mencintai Dipta, apa kamu pikir dengan kamu mengalah, Dipta akan jadi mencintaiku? Aku rasa dia justru makin membenciku karena menjadi penghalang cinta kalian."
"Mbak, sudah sangat baik denganku. Tak tau diri jika aku merebut seseorang yang kamu cintai, Mbak," ucap Khanza lagi.
Vania Kembali tersenyum. Dia menarik napas, tampaknya sedikit kesulitan dalam mengucapkan sesuatu. Hingga beberapa saat mereka saling terdiam.
"Khanza, jika kamu memang menyayangi aku seperti kakak kandungmu, berjanjilah kamu akan bahagia. Kamu juga berhak bahagia. Aku akan sangat senang jika kamu dan Dipta terus berhubungan hingga sampai ke pelaminan. Aku orang pertama yang akan berbahagia," ucap Vania.
Khanza merasa sangat terharu mendengar kata-kata Vania, merasa sangat tersentuh oleh kebaikan dan kepedulian Vania. "Mbak, kamu memang orang yang sangat baik. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu," kata Khanza, merasa sedikit sedih karena Vania sepertinya telah melepaskan perasaannya pada Dipta.
Vania tersenyum lembut, "Tidak perlu membalas, Khanza. Aku hanya ingin kamu bahagia. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan, dan aku percaya Dipta adalah orang yang tepat untukmu."
Khanza memandang Vania dengan mata yang berkaca-kaca, merasa sangat berterima kasih atas dukungan Vania. "Terima kasih, Mbak. Aku akan selalu menyayangimu seperti kakak kandungku sendiri," kata Khanza, memeluk Vania dengan erat. Vania membalas pelukan Khanza, merasa sedikit lega karena Khanza tidak mengetahui perasaannya yang sebenarnya.
Setelah itu Khanza pamit keluar. Takut putranya terbangun dan menangis..
"Mbak, aku pamit. Sekali lagi, terima kasih atas semua kebaikanmu, Mbak. Aku hanya bisa mendoakan kamu selalu bahagia."
"Terima kasih, Khanza."
Khanza lalu berjalan meninggalkan kamar Vania. Setelah wanita itu menghilang, dia menutup pintu dan langsung terduduk di lantai.
"Tuhan ... aku lelah. Ingin rasanya aku lari sejauh mungkin, teriak di sebuah tempat yang mungkin tidak ada satupun dari mereka yang tau. Menangis di bawah derasnya hujan, melepaskan semua beban di diri ini. Begitu sempurna cara engkau mendewasakan aku, tapi kenapa harus aku Tuhan? Sampai kapan aku harus belajar tegar di balik rasa sedih ini? Begitu berat skenario yang Engkau buat. Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini," ucap Vania sambil terisak.
Vania menangis tersedu-sedu, melepaskan semua beban dan kesedihan yang telah lama dipendamnya. Air matanya mengalir deras, seolah-olah semua rasa sakit dan kelelahan yang telah menumpuk selama ini akhirnya bisa dikeluarkan. Dia merasa seperti sedang berada di tengah badai, tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini.
Dalam tangisannya, Vania memohon kepada Tuhan untuk membantunya, untuk memberikan kekuatan dan pengharapan di tengah keputusasaan ini. Dia merasa seperti sedang berjalan di jalan yang gelap, tidak tahu apa yang ada di depan atau bagaimana cara untuk mencapai ujungnya.
Tangisan Vania adalah ekspresi dari semua rasa sakit dan kelelahan yang telah dipendamnya, dan dia berharap bahwa dengan melepaskan semua beban ini, dia bisa menemukan sedikit kekuatan untuk melanjutkan hidupnya.
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍
tapi kali ini dia berada di tempat yang tepat.
tanpa ada konflik dalam hubungan orang...
semoga kamu betah ya Khanza...
hadapi rintangan dengan senyuman...