NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:245
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tombol Restore dan Detik Nol

Cahaya itu menyilaukan, seperti menatap matahari langsung.

Elara merasa tubuhnya seringan kapas, tapi dadanya sesak bukan main. Saat cahaya biru dan emas itu meledak dari titik kontak antara tuts piano dan dada Sarah, Elara merasa seolah-olah jiwanya ditarik keluar, dikocok, lalu dipaksa masuk kembali ke badannya dengan kasar.

[MERGE COMPLETE]

Suara sistem bergema datar.

Cahaya meredup.

Elara terengah-engah, masih dalam posisi memeluk Sarah. Dia mundur selangkah, takut melihat apa yang terjadi. Apakah Sarah sudah kembali? Atau dia malah menciptakan monster baru?

Sarah berdiri diam. Kepalanya tertunduk. Kabel-kabel tajam di jarinya menyusut kembali, berubah menjadi jari-jari manusia biasa dengan kuteks yang sudah terkelupas.

Perlahan, Sarah mengangkat wajahnya.

Mata biru Screen of Death itu sudah hilang. Berganti dengan mata cokelat gelap yang familiar, mata yang selalu menatap sinis kalau Bobi ngelawak garing.

Tapi ada yang beda. Di kedalaman pupil mata Sarah, masih ada sisa-sisa aliran kode biner hijau yang mengalir samar, seperti matrix.

"Sar?" panggil Elara ragu.

Sarah berkedip. Dia menatap tangannya sendiri, lalu menatap Elara.

"Anjir, El..." suara Sarah serak, tapi itu suaranya sendiri. "Gue barusan mimpi jadi Windows 98 yang lagi hang. Kepala gue pusing banget."

Elara langsung memeluk Sarah erat-erat, nggak peduli bahunya perih kena goresan tadi. "Lo balik! Lo balik!"

"Aduh, sakit, El. Tulang gue remuk kayaknya," keluh Sarah, tapi dia membalas pelukan itu.

Di belakang mereka, Adrian meraung murka. Rencananya berantakan. Wadah barunya sudah 'diformat' ulang oleh Elara.

"SIA-SIA!"

Adrian menendang Rian yang masih terbaring di bawah kakinya. Rian terpelanting, berguling-guling di tumpukan sampah elektronik.

Adrian bangkit, tubuh raksasanya memancarkan aura glitch yang makin parah. Langit Desktop di atas mereka mulai runtuh. Potongan-potongan langit putih berjatuhan seperti pecahan kaca raksasa, memperlihatkan kegelapan hampa di baliknya.

[SYSTEM SHUTDOWN IN: 00:30]

Angka hitung mundur di langit berubah warna jadi merah darah.

"Yan! Bangun!" teriak Bobi yang baru sampai di puncak gunung. Dia ngos-ngosan parah, palu BANNED-nya diseret di tanah. "Dunia mau kiamat, Woy! Kita harus cabut!"

Rian batuk tinta emas. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya goyah.

"Pintunya..." Rian menunjuk ke udara kosong di atas kawah gunung sampah. "Kita butuh pintu keluar. Gue harus bikin shortcut."

Rian mengangkat tangan emasnya, mencoba menggambar pintu di udara. Tapi tintanya putus-putus. Energinya habis gara-gara dihajar Adrian tadi.

"Gue... gue nggak kuat bikin render-nya," desis Rian frustrasi.

Adrian tertawa melihat keputusasaan mereka. Dia tidak menyerang lagi. Dia hanya berdiri diam, membiarkan waktu menghabisi mereka.

"Habiskan saja waktunya," ejek Adrian. "Saat angka itu nol, kita semua akan terhapus. Aku tidak keberatan mati, asalkan kalian ikut bersamaku."

"Dasar toxic!" maki Bobi. Dia mencoba melempar palunya ke arah Adrian, tapi palu itu malah lagging di udara, berhenti sebentar, lalu jatuh lemas. "Yah, nge-lag!"

00:20

Lantai di bawah kaki mereka mulai transparan. Mereka bisa melihat kode-kode penyusun realitas di bawahnya. Kaki Elara mulai tembus pandang.

"Kita bakal ilang, Sar!" Elara panik, memegang tangan Sarah.

Sarah menatap tangan Rian yang gagal menggambar pintu. Lalu, dia menatap telapak tangannya sendiri. Dia merasakan sisa-sisa kekuatan admin yang ditanamkan Adrian tadi.

"Minggir," kata Sarah tiba-tiba. Dia maju mendekati Rian.

"Sar?"

"Gue masih inget cheat code-nya," kata Sarah dingin. Matanya kembali bersinar biru terang sesaat.

Sarah mengangkat kedua tangannya. Bukan menggambar pintu, dia melakukan gerakan mengetik di udara dengan kecepatan kilat, seolah ada keyboard gaib di depannya.

"Execute command: System Restore," gumam Sarah.

Di depan mereka, tumpukan sampah elektronik tiba-tiba bergetar. Monitor-monitor bekas menyala serentak. Kabel-kabel bergerak menyatu, merajut diri menjadi sebuah bingkai pintu yang bercahaya hijau.

Di tengah bingkai itu, ada tombol melayang bertuliskan: [RESTORE TO PREVIOUS VERSION].

"Gokil!" seru Bobi. "Sarah jadi hacker!"

00:10

"Lari ke tombol itu! Tekan bareng-bareng!" perintah Rian.

Mereka berempat lari sekencang-kencangnya menuju gerbang cahaya itu.

Adrian sadar dia kalah langkah.

"JANGAN HARAP!"

Adrian melelehkan tubuh raksasanya menjadi ombak tinta hitam, menerjang ke depan untuk memotong jalan mereka. Ombak itu tinggi dan mematikan, siap menelan mereka sebelum mereka sampai ke tombol.

"Lompat!" teriak Rian.

Rian, Elara, Sarah, dan Bobi melompat bersamaan ke arah tombol itu.

Di belakang mereka, ombak Adrian sudah menyentuh tumit sepatu Bobi.

00:03

Tangan mereka berempat, tangan emas Rian, tangan luka Elara, tangan biru Sarah, dan tangan gemetar Bobi, menekan tombol [RESTORE] itu bersamaan.

00:01

KLIK.

Dunia meledak menjadi putih.

Suara raungan Adrian terdengar menjauh, seperti kaset yang diputar mundur dengan cepat, mengecil, lalu hilang.

Sensasinya seperti ditarik paksa dari dalam air.

"Hah!"

Elara terbangun dengan sentakan keras, paru-parunya menghirup udara rakus.

Dia duduk tegak.

Hal pertama yang dia rasakan adalah bau karbol dan obat-obatan. Suara bip... bip... bip... monitor detak jantung terdengar teratur di sebelah kirinya.

Elara mengerjapkan mata. Cahaya lampu neon putih di langit-langit membuatnya silau.

"Elara?"

Suara itu lembut. Nyata.

Elara menoleh. Di samping tempat tidurnya, seorang perawat muda sedang mengganti cairan infus. Wajah perawat itu kaget melihat Elara bangun mendadak.

"Jangan banyak gerak dulu, Mbak. Infusnya bisa copot."

Elara melihat sekeliling dengan liar. Dia ada di bangsal rumah sakit. Di kasur sebelah kanan, Sarah sedang tidur pulas dengan penyangga leher. Di kasur seberang, Bobi mendengkur dengan kaki digips dan dada diperban.

Dan di kasur paling ujung dekat jendela... Rian.

Rian terbaring diam. Ada selang oksigen di hidungnya. Kepalanya diperban. Tapi monitor di sebelahnya menunjukkan garis grafik hijau yang naik turun stabil.

Hidup. Mereka semua hidup.

Elara meraba telapak tangan kirinya. Ada perban tebal di sana. Bekas tusukan pulpen.

"Mbak... ini tanggal berapa?" tanya Elara parau pada perawat itu.

"Tanggal 28 Desember, Mbak," jawab perawat itu ramah. "Kalian sudah dua hari tidak sadarkan diri sejak ditemukan polisi di pinggir jalan tol. Katanya mobil kalian kecelakaan tunggal dan meledak di jurang, tapi ajaibnya kalian terlempar keluar sebelum mobilnya jatuh."

Elara lemas. Dia menyandarkan punggungnya ke bantal.

Dua hari.

Berarti petualangan di dunia kertas, lembah sampah, dan desktop itu... apakah itu cuma mimpi koma? Halusinasi massal?

Tapi Elara ingat jelas rasa sakitnya. Dia ingat bau tinta Rian. Dia ingat mata biru Sarah.

Perawat itu selesai mengganti infus dan keluar ruangan.

Elara menatap teman-temannya yang masih tidur. Mereka terlihat damai. Terlalu damai.

Elara mencoba turun dari kasur. Kakinya lemas, tapi bisa menopang berat badannya. Dia menyeret tiang infusnya, berjalan pelan mendekati kasur Rian.

Dia harus memastikan.

Elara berdiri di samping Rian. Wajah cowok itu pucat, tapi bersih. Nggak ada tinta hitam di bibirnya. Tangan kanannya adalah tangan manusia biasa, bukan tangan emas.

Elara menghela napas lega. Dia mengulurkan tangan, menyentuh jari Rian. Hangat.

"Kita berhasil, Yan," bisik Elara. "Kita beneran pulang."

Elara hendak menarik tangannya kembali, tapi tiba-tiba jari Rian bergerak. Menggenggam jari Elara lemah.

Mata Rian terbuka perlahan.

Cokelat. Matanya cokelat jernih. Mata Rian yang asli.

"El..." bisik Rian, suaranya serak banget.

"Gue di sini, Yan. Kita di rumah sakit. Kita slamet." Elara tersenyum sambil menangis haru.

Rian menatap Elara lurus-lurus. Tidak ada senyum di wajahnya. Ekspresinya justru... bingung. Dan takut.

"El..." Rian menelan ludah susah payah. "Kenapa... kenapa di atas kepala lo ada tulisan?"

Senyum Elara membeku. "Hah? Tulisan apa? Lo masih pusing obat bius kali."

Rian menggeleng lemah. Matanya fokus ke area udara kosong di atas kepala Elara.

"Ada tulisan melayang..." bisik Rian. "Warnanya ijo. Tulisannya..."

Rian menyipitkan mata, membaca teks yang cuma bisa dilihat olehnya.

"...[Character: Elara. Status: Protagonist. HP: 45%]."

Darah Elara berdesir dingin.

Elara menoleh cepat ke arah cermin wastafel yang ada di sudut ruangan.

Dia melihat pantulan dirinya. Wajahnya pucat, rambutnya kusut. Normal.

Tapi kemudian, dia melihat ke arah pintu bangsal.

Di sana, menempel di pintu kaca, ada sebuah stiker kecil yang mungkin luput dari perhatian orang biasa.

Stiker itu berbentuk logo penerbit buku.

Dan di bawah logo itu, tertulis:

"DRAFT 2 - FINAL REVISION"

Elara mundur ketakutan.

Ini bukan dunia nyata.

Mereka cuma di-restore ke Draf Kedua. Versi revisi di mana mereka selamat dari kecelakaan, tapi masih di dalam buku.

Dan tiba-tiba, pintu bangsal terbuka.

Seorang dokter masuk. Dokter itu memakai masker bedah dan kacamata tebal. Dia membawa clipboard.

Dokter itu berjalan mendekati kasur Rian, menatap Elara dengan mata yang menyipit di balik kacamata.

"Selamat pagi," sapa dokter itu. Suaranya familiar. Sangat familiar.

Itu suara Pak Haryo.

Itu suara Adrian.

Dokter itu menurunkan sedikit maskernya, memperlihatkan seringai lebar yang penuh gigi runcing seperti mata pena.

"Bagaimana bab barunya?" tanya Dokter Adrian. "Saya baru saja menambahkan plot twist: Amnesia."

Dia menyuntikkan sesuatu ke selang infus Rian.

Mata Rian melotot, lalu kosong. Genggaman tangannya di jari Elara terlepas. Dia menatap Elara seolah menatap orang asing.

"Maaf..." kata.......

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!