“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulit Untuk Menepis Perasaan Itu
Setelah Rinda memberitahunya, Tara memasuki ruang kerja CEO dengan langkah yang terasa berat. Dala hatinya, ia sudah bisa menebak bahwa Alan bukan memanggilnya karena urusan pekerjaan, pasti semua berkaitan dengan kejadian di tangga darurat tadi.
Suasana sunyi yang menekan langsung terasa begitu pintu di belakang Tara kembali tertutup rapat.
Dari kejauhan, ia bisa melihat Alan yang duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah tegas. Pria itu menatap dirinya dengan tatapan tajam.
“Duduk,” perintah Alan seolah tak memberi ruang untuk penolakan.
Tara menarik kursi di hadapan Alan, namun gadis itu tak segera menempatkan dirinya di sana. Ia berdiri beberapa detik menenangkan diri, mengatur napasnya yang terasa berat.
“Apa aku harus membantumu duduk?” tanya pria itu kemudian
Tara menggeleng cepat, ia pun buru-buru duduk di kursi itu.
Keheningan mengisi ruangan luas itu sejenak. Alan masih menatap Tara dengan mata elangnya, sementara Tara memilih menundukkan kepala, bersiap enghadapi amarah pria itu selanjutnya.
“Dirga bilang apa padamu?” suara Alan memecah keheningan.
Seketika itu Tara mengangkat pandangannya. Ia pikir suara Alan akan meledak, marah-marah padanya. Tapi yang ia dengar sekarang, pria itu justru berkata dengan suara yang lembut, meski ketegangan masih terasa di dalamnya.
“Tidak ada,” jawab Tara datar. “Pak Dirga hanya terkejut dengan pemindahan saya ke sini.”
“Benarkah?” Alan menatapnya seolah tak percaya begitu saja.
Tara mengangguk, dan suasana kembali hening.
Alan masih menatap Tara tanpa berbicara apapun. Ia lalu menghela napas dan menyandakan punggungnya ke kursi dengan kedua tangan bersedekap di depan dada.
“Seperti apa hubunganmu dengan Dirga?”
Tara menaikkan sebelah alisnya. “Maksud, Bapak?”
Alan tak langsung menjawab. Beberapa saat kemudian ia kembali menegakkan punggungnya, kini lengannya ia lipat di atas meja. “Aku peringatkan padamu Tara, statusmu masih sah sebagai istriku, meskipun hanya secara agama. Jadi kamu jangan sembarangan berdekatan dengan pria lain, termasuk Dirga.”
Tara terdiam beberapa detik, terkejut dengan pernyataan itu. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Alan masih terikat dalam sebuah pernikahan. Tapi, mendengar penyataan pria itu barusan membuatnya merasa terjebak dala aturan yang tidak jelas.
“Bapak ini lucu,” ujarnya diiringi senyum miring yang terkesan sedikit mengejek. “Kemarin Bapak bilang akan melepaskan saya setelah saya menemukan pria yang tepat. Tapi sekarang Bapak mengatakan saya tidak boleh sembarangan dekat dengan pria lain. Maksud Pak Alan apa sebenarnya? Kapan saya bisa menemukan pria yang tepat bagi saya jika Pak Alan menghalangi saya melakukan penjajakan.”
“Kau...” Alan menggeram kesal, berani sekali Tara mendebatnya seperti itu. “Asal kamu tahu, aku sedang berusaha melindungimu, Tara. Kamu bahkan tidak tahu sedang berada di dunia seperti apa sekarang.”
“Bapak tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya bisa jaga diri,” Balas Tara berani. “Yang perlu Pak Alan lakukan sekarang adalah melepaskan saya, sebelum ada orang lain yang mengetahui seperti apa status kita sebenarnya.”
Alan mengepalkan tangannya di atas meja, “Kau berani mengancamku, Tara?!” serunya jengkel.
“Saya tidak mengancam, Pak. Saya hanya memberi saran,” jawab Tara sama sekali tidak merasa gentar dengan tekanan dari Alan.
“Saranmu tidak aku terima,” tolak Alan cepat dan tegas.
Tara mendengus keras, tak kalah jengkel dengan Alan. “Lalu bapak maunya apa?”
Alan mendongak, tatapannya pada Tara kian menajam. “Kamu tanya mauku? Mauku masih sama, Tara. Kau tetap berstatus jadi istriku sampai aku sendiri bisa menemukan pria yang cocok untukmu.”
“Apa?!” Tara tampak sekali terkejut mendengar ucapan itu.
“Ya. Aku yang akan memilihkan pria itu untukmu,” jawab Alan tanpa ragu, seolah itu adalah keputusan final yang tidak bisa dibantah.
“Tidak bisa, saya tidak mau.” Tara bersikeras, darahnya seperti mendidihh mendengar keputusan sepihak Alan. Bapak tidak boleh...”
“Ini bukan penawaran, Tara,” potong Alan cepat dengan nada tajam. “Ini keputusanku.”
“Pak, saya...!” Tara hampir tak bisa menahan amarahnya. Ia ingin sekali berteriak memaki-maki Alan sekeras-kerasnya. Tapi sekuat tenaga ia berusaha menahannya. Ia tahu jika emosinya meledak, itu hanya akan memperburuk keadaan.
“Pilihanmu hanya satu,” lanjut Alan dengan tatapan yang lebih tegas. “Menurut padaku.”
Tara tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dari kursinya dengan gerakan kasar. Matanya menyala penuh kemarahan. “Saya tidak perduli apa yang Bapak pikirkan. Saya berhak memilih jalan hidup saya sendiri!“ ucapnya tegas dan penuh keyakinan.
“Dan kau juga akan tahu kalau aku tidak akan tinggal diam jika kau terus membangkang,” balas Alan tanpa ragu.
Tara memilih tak menanggapi lagi. Ia berbalik dan melangkah cepat menuju pintu. Sementara Alan mengikuti setiap gerakan Tara dengan ekspresi tak terbaca.
“Aku tidak ijinkan kamu pulang dengan Dirga lagi mulai hari ini, Tara. Ingat itu.”
Tara sempat menghentikan langkahnya lagi, hanya beberapa detik, dan ia tidak menoleh sedikitpun pada Alan ataupun menanggapi ucapannya.
Ia lalu melanjutkan langkahnya dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. Di sisi lain, Alan masih duduk sembari menatap kepergiannya. Wajahnya dipenuhi ekspresi yang sulit dibaca.
Ia tahu betul, apa yang dilakukannya, apa yang diputuskannya barusan hanya akan semakin memperumit keadaan. Ia juga sadar bahwa dirinya sedang mempertaruhkan keutuhan rumah tangganya dengan Lira, wanita yang selama ini menjadi satu-satunya di hatinya.
Tapi, ada sesuatu yang tak bisa ia ingkari. Sesuatu yang lebih mengganggu dari sekedar keraguan.
Keberadaan Tara, dengan segala yang ada di diri gadis itu, kini justru mampu meruntuhkan tembok yang selama ini ia bangun untuk melindungi dirinya dari perasaan yang tak diinginkan.
Tara, gadis itu, entah sejak kapan telah berhasil menyusup ke dalam sisi terdalam hatinya. Ia tak tahu pasti sejak kapan perasaan seperti ini mulai tumbuh. Mungkin saja itu terjadi sejak awal pertemuan mereka, tetapi saat itu ia berhasil menolaknya dengan tegas, meyakinkan diri bahwa cintanya pada Lira adalah pelindung yang cukup kuat untuk menjaga dirinya dari godaan.
Harusnya perasaan ini tidak muncul, bukan? Harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sekali lagi, menjaga semua batasan. Rumah tangganya dengan Lira, itu yang seharusnya ia prioritaskan.
Tapi, semakin lama justru semakin sulit bagi Alan untuk menepis perasaan itu, perasaan yang mengganggu dan bertumbuh diam-diam tanpa ia sadari.
Alan menatap kosong ke arah pintu ruangannya yang telah tertutup rapat. Perasaannya bergejolak. Apa yang seharusnya ia lakukan sekarang? Dan apa yang sebenarnya ia inginkan?
*
Tara sedang sibuk di meja kerjanya memeriksa laporan yang barusaja ia revisi ketika Rinda menghampirinya.
“Tara, kamu diminta ke ruangan Pak Alan sekarang, bawa revisi laporannya,” ujar wanita itu datar.
Tara tertegun sejenak. Jujur ia masih malas sekali bertemu dengan Alan, khawatir akan menyulut emosinya lagi seperti tadi pagi.
“Ra...” panggil Rinda sekali lagi, “Jangan melamun, Pak Alan bisa ngamuk ntar.”
Tara buru-buru mengangguk. Setelah menyimpan laporan itu ke dalam flashdisk, Tarapun bergegas ke ruangan CEO.
Tok. Tok. Tok.
“Masuk.”
Begitu pintu ruangan terbuka, Tara bisa melihat Alan yang sedang duduk di mejanya sambil menatap layar laptop di hadapan pria itu. Suasana terasa mencekam bagi Tara.
Dengan langkah hati-hati Tara menghampiri meja pria itu, menyodorkan flashdisk yang dibawanya.
“Kenapa lama sekali? Aku sudah menunggunya sejak tadi,” ujar pria itu sambil menerima flashdisk. Ia menatap Tara sejenak sebelum matanya kembali ke layar.
“Saya...”
“Masih marah padaku?” potong Alan dengan nada sedikit tajam.
Tara terdiam sejenak, ia sempat menatap Alan beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng pelan. Bahkan kata-katanya seolah tak bisa keluar dari tenggorokan. “Tidak,” jawabnya lirih.
Alan masih tetap terpaku pada laptop namun sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk seringaian kecil. Entah itu karena jawaban Tara ataukan karena tampilan laporan yang sedang dibacanya.
“Kemarilah,” ucapnya sembari mengkode Tara agar mendekat padanya dengan tangan.
Tara yang bahkan belum dipersilakan duduk mendekat perlahan dengan langkah kaku.
Di sisi lain, Alan sendiri juga berusaha mati-matian untuk tidak memperhatikan, meskipun ia merasakan debaran kecil di dadanya ketika Tara melangkah lebih dekat padanya. Tanpa sadar ia sedikit menegakkan tubuhnya, merasa sedikit gelisah meski mencoba menyembunyikan.
“Ini masih banyak kesalahan. Coba lihat bagian ini,” ujarnya sambil menunjuk ke layar begitu Tara berdiri di samping kursinya.
Saat gadis itu sedikit membungkuk untuk memeriksa sendiri hasil kerjanya, desiran aneh di dada Alan semakin menjadi. Ia sampai menelan ludah beberapa kali.
“Kenapa tidak lebih teliti?” lanjutnya dingin, meskipun ada ketegangan tersembunyi dibalik nada bicaranya.
Tara menelan ludah, menyadari kesalahannya.
“Revisi bagian ini sekarang juga,” titah Alan tanpa basa-basi.
“D_di sini?” tanya gadis itu memastikan.
“Ya. Untuk apa kamu harus bolak-balik ke ruanganmu? Ini hanya revisi kecil. Tidak efisien kalau harus berjalan ke sana ke mari. Laporan ini akan dipakai meeting siang ini.” jawab Alan dengan nada lebih tegas.
Tara menelan ludah sebelum mengangguk kecil. Ia merasa agak canggug, namun tentu saja tak bisa menolak karena itu perintah atasan.
Dan saat itulan Alan beranjak dari kursinya. “Duduklah,” ujarnya sembari melonggarkan dasi.
Tara spontan menoleh, menatap pria itu tak percaya. Dia... disuruh duduk di kursi CEO? Yang benar saja.
“Kenapa bengong? Cepat selesaikan!” kata Alan menatapnya tajam.
“S_saya...”
“Duduk!” perintah Alan tegas.
Tara yang tidak punya pilihan akhirnya menurut. Dengan perasaan gugup yang membuncah, ia pun duduk di kursi pria itu.
Dengan tangan sedikit gemetar Tara mulai merevisi bagian yang tadi ditunjukkan Alan, mencoba berkonsentrasi penuh pada layar meskipun harus ia akui hatinya berdebar tak beraturan.
Sementara Alan berdiri di samping kursi, memperhatikan dengan cermat. Sesekali ia menunjuk bagian lain dari laporan yang dirasa kurang tepat, dan mengomeli hasil kerja Tara yang menurutnya berantakan.
“Yang ini juga,” kata pria itu menunjuk bagian lainnya.
Tara yang mendengar hanya bisa diam, merasa kesal pada dirinya sendiri karena kesalahan yang ia lakukan. Sesekali ia menggaruk sisi kepalanya yang sebenarnya tak gatal, berusaha menenangkan diri di tengah tekanan yang semakin besar.
Dan pada saat itu, terdengar pintu ruangan diketuk dari luar. Keduanya menoleh ke arah pintu hampir bersamaan. Tara yang semakin gugup hendak beranjak dari kursi yang didudukinya, namun niatnya terhenti saat Alan menekan bahunya dengan lembut.
“Tetap di situ,” ujarnya Alan dengan nada rendah tapi tegas.
Tara menelan ludah, merasa semakin gugup, tetapi ia tidak berani menanggapi. Ia memilih untuk tetap diam di kursi itu, matanya kembali tertuju pada layar laptop, meski pikiran dan hatinya kacau balau.
Tak lama berselang pintu ruangan terbuka perlahan. Rico masuk dengan membawa map dan tablet di tangan. Pria itu sempat kaget, bahkan membeku melihat Tara yang duduk di singgasana milik Alan yang biasanya tak siapapun diijinkan untuk menyentuhnya.